Mongabay.co.id

DAS Terjaga = Konservasi Tanah dan Air Terwujud?

Sungai Utik dengan pepohonan hijau mengapitnya begitu dijaga oleh masyarakat Dayak Iban. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

 

 

 

Guna menjaga keberlangsungan lingkungan hidup dan ekosistem, penting melakukan konservasi tanah dan air. Meskipun begitu, usaha konservasi tanah dan air hadapi banyak tantangan, seperti deforestasi, dan degradasi lahan terus terjadi, sampai kesimpangsiuran regulasi.

Helmy Basalamah, Plt. Dirjen BPDAS dan Rehabilitasi Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan, Indonesia memiliki payung hukum cukup dalam upaya konservasi air dan tanah.

Dia sebutkan, UU Nomor 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, Peraturan Pemerintah Nomor 37/2012 tentang Pengelolaan DAS. Juga Peraturan Pemerintah Nomor 26/2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.

“Jika dilihat pada konteks perencanaan dan pengendalian, akan berbasis pada DAS (daerah aliran sungai). Bergantung pada vitur alaminya. Yang paling tepat ada DAS itu,” katanya dalam webinar daring beberapa waktu lalu.

Secara eksplisit maupun implisit, katanya, mandat konservasi air dan tanah melekat pada DAS. Alasannya, DAS dinilai sebagai unit paling representatif dalam penyelenggaraan perlindungan dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan. Karena itu, konteks konservasi tanah dan air, pada dasarnya meningkatkan kapasitas dan daya dukung DAS.

Pada PP/32 Tahun 2012 tentang Pengelolaan DAS antara lain menyebutkan, DAS merupakan suatu wilayah daratan sebagai satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai. Ia berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air dari curah hujan ke danau atau ini ke laut secara alami.

Dari definisi itu, katanya, dapat dipahami tak satu pun jengkal tanah keluar dari zona wilayah DAS. Karena itu, kondisi DAS, dipastikan berdampak di daerah hulu hingga pesisir.

Sisi bentang alam, katanya, DAS satu bentuk intervensi spasial dalam mewujudkan konservasi tanah dan air. Jadi, segala intervensi terkait upaya konservasi tanah dan air, harus memilili makna meningkatkan daya dukung DAS. Karena setiap karakter yang melekat pada hulu DAS, katanya, akan mempengaruhi dan berdampak pada kawasan hilir hingga pesisir.

“DAS dan wilayah pesisir merupakan satu kesatuan utuh. Ada keterkaitan antara sumberdaya di hulu dengan hilir hingga pesisir,” kata Helmy, seraya contohkan, kondisi hulu rusak, akan terjadi banjir di hilir.

Dengan melihat cakupan spasial intervensi konservasi tanah dan air, katanya, pengelolaan DAS haruslah terintegrasi. Mulai dari hulu, hilir, hingga pesisir yang merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Tentu, katanya, dengan model perlakuan disesuaikan kondisi masing-masing.

 

Baca juga: Pentingnya Rekayasa Biofisik DAS di Sumatera Barat

Daerah aliran sungai yang gundul untuk jadi kebun. Foto Taufik Wijaya

 

Pada wilayah hulu, sudah banyak model teknologi diterapkan mendukung konservasi. Misal, penerapan terasiring pada sistem pertanian di hulu dengan tingkat kecuraman tinggi atau agroforestri pada wilayah dimungkinkan.

“Problemnya bagaimana penerapan teknologi secara tepat di masing-masing wilayah tadi.”

Menurut Helmy, mengacu Pasal 12 UU 37/2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, konservasi itu meliputi upaya perlindungan, pemulihan, peningkatan dan atau pemeliharaan fungsi tanah dan lahan. Sasarannya, bukan hanya kawasan lindung juga kawasan budidaya termasuk gambut, sabana hingga pesisir.

Pada konteks lahan budidaya itulah, katanya, perlu intervensi penggunaan teknologi tepat guna. Dengan konservasi tanah dan air ini, katanya, bisa memberi nilai manfaat kepada masyarakat, seperti tanam porang pada garis-garis batas terasiring di lahan-lahan pertanian di hulu atau rehabilitasi mangrove di pesisir.

Tak jauh beda disampaikan Edi Purwanto, Direktur Tropenbos Indonesia. Selain teknologi, katanya, langkah lain bisa dengan pemilihan bibit tanaman memberi nilai lebih kepada masyarakat. Dengan begitu, petani makin bersemangat melakukan konservasi tanah dan air.

Sayangnya, kata Edi, berbagai upaya konservasi air dan tanah belum dianggap bagian dari pengurangan emisi karbon.

Harry Santoso, Dewan Pakar Forum DAS Nasional mengatakan, konservasi tanah dan air meliputi seluruh jengkal lahan di Indonesia, tak terkecuali seperti tertuang dalam PP Nomor 37/2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Dalam aturan itu, katanya, jelas tak ada satu pun jengkal tanah atau daratan di Indonesia di luar zona DAS.

Pemerintah, katanya, berencana membuat klasifikasi lahan DAS dalam beberapa kategori dari prima, kritis dan rusak baik di kawasan lindung maupun budidaya. Harapannya, upaya penyelenggara konservasi lebih maksimal.

Harry bilang, sebenarnya UU Konservasi Tanah dan Air detail mengatur bagaimana pelaksanaan konservasi tanah dan air. Contoh, upaya peningkatan atau pemulihan lahan, setidaknya ada tiga metode yakni, secara agronomi, vegetatif dan sipil teknik.

 

Kerusakan hutan di hulu DAS, bisa menyebabkan bencana sampai ke hilir. Foto: Save Kinipan

 

Metode agronomi dengan pemberian mulsa, pengaturan pola tanam, pengayaan tanaman, pengolahan tanah konservasi, penanaman mengikuti pola kontur, pemupukan hingga pemberian amelioran. Metode vegetatif dengan memperbanyak tanaman konservasi tanah dan air. Lalu, metode sipil teknik dengan membuat bangunan konservasi tanah dan air.

“Masalahnya, UU Konservasi Tanah dan Air sudah ada tetapi sampai sekarang PP-nya belum dibuat. Saya juga tidak tahu sudah sampai mana, sayang sekali. Barangkali ini yang perlu didorong hingga bisa maksimal,” kata Harry.

Dia juga menjelaskan soal mengidentifikasi kondisi DAS sakit atau sehat. Mengutip hasil kajian Prof Imin dan Sutrisno, Harry menyebutkan, ada beberapa variabel untuk mengevaluasi kesehatan DAS.

Pertama, dari sisi karakteristik dengan melihat kondisi alam DAS seperti apa mulai morfomteri, geometri, hidrologi, hingga jenis tanah dan penggunaan. Masing-masing DAS, katanya, memiliki karakteristik berbeda-beda tergantung unsur penyusunnya.

Kedua, tata air meliputi neraca curah hujan di wilayah setempat termasuk run off, sedimen terangkut sampai erosi.

Ketiga, penerapan teras bangku. Pada 2004, Paimin dan Sukrisno penelitian di sub DAS Barek (5.370 hektar) dan DAS Konto (5.725 hektar) — merupakan bagian DAS Brantas. Pada sub DAS Kronto, masih terdapat hutan lindung dan hutan produksi cukup luas. Di sub DAS Barek, sebagian kawasan perkebunan dan tegalan.

Pada DAS Kronto, teras bangku hampir sepenuhnya diterapkan pada lahan-lahan tegalan dan sawah. Di DAS Barek, hanya sebagian area tegalan.

Hasil penelitian dari perhitungan setahun memperlihatkan, teknis konservasi tanah dan air pada DAS Kronto mampu menurunkan laju limpasan air 44, 4% dengan tingkat erosi 29, 5-89,5 ton per hektar.

Pada DAS Barek, laju limpasan mampu ditahan 61% dengan erosi 22,1-66,5 ton per hektar.

Harry bilang, kendati luas sub DAS hampir sama, daya limpasan di kedua sub DAS sangat dipengaruhi karakteristik dan intervensi manusia.

Sub DAS Kronto, katanya, memiliki karakteristik tanah berupa litosol dan kuga mediteran. Di sub DAS Barek, lebih didominasi litosol dan tanah kapur. Yang membuat limpasan sub DAS Barek, adalah kondisi lebih landai dan sub DAS Kronto lebih terjal.

Edi mengingatkan, satu problem mendasar pengelolaan DAS selama ini adalah ego sektoral masing-masing lembaga. Kondisi ini menyebabkan, DAS tak pernah jadi bahan pertimbangan terkait perubahan tata ruang dan lahan. Dia berharap, ke depan koordinasi multipihak bisa lebih maksimal.

 

 

 

******

Foto utama: Hutan terjaga dari segala kerusakan, jadi satu indikator DAS sehat,  sekaligus bisa mewujudkan konservasi tanah dan air . Foto: Rhett Butler/ Mongabay

Exit mobile version