- Para peneliti mengusulkan untuk menambahkan dua subspesies baru ke dalam empat subspesies yang sudah ada di spesies burung pelanduk sulawesi [Pellorneum celebense].
- Tim peneliti mengidentifikasi subspesies baru berdasarkan perbedaan DNA, ukuran tubuh, dan rekaman ‘lagu’ dari puluhan siulan.
- Selain implikasi taksonomi, penelitian ini juga menyoroti fenomena evolusi yang terjadi secara cepat, karena perbedaan genetik pelanduk terjadi hanya dalam puluhan ribu tahun, bukan jutaan.
- Namun, tanah kaya nikel yang diyakini telah menciptakan keanekaragaman burung di Sulawesi menghadapi ancaman yang dapat mempercepat kematiannya, seperti ancaman perusahaan pertambangan yang mengincar habitat mereka untuk diekstraksi sumber daya alamnya.
Anda dapat mendengarkan “siulan” burung pelanduk sulawesi [Pellorneum celebense] dengan mudah. Namun, untuk menemukan keberadaannya jauh lebih sulit: burung pemalu dan mungil ini, merupakan endemik hutan di Pulau Sulawesi. Mereka menghabiskan waktunya berkeliaran di lantai hutan, bulu cokelatnya memungkinkan untuk berbaur diam-diam dan menyatu dengan lingkungan sekitarnya.
Burung pelanduk yang berpenampilan sederhana ini merupakan tantangan bagi para pengamat burung untuk diteliti: ahli taksonomi telah lama mengalami kesulitan membedakan satu spesies dengan lainnya, yang biasa ditemukan di Sulawesi dan pulau-pulau terdekatnya, menjadi subspesies berbeda berdasarkan isyarat visualnya.
Pelanduk sulawesi masuk dalam Suku Pellornidae yaitu jenis burung yang lebih banyak beraktivitas di tanah. Saat ini pelanduk sulawesi terbagi 4 subspesies, yaitu Pellorneum celebense celebense dengan persebaran di Sulawesi Utara; Pellorneum celebense rufofuscum dengan persebaran di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara termasuk Pulau Butung; Pellorneum celebense finschi dengan distribusi di Sulawesi barat daya; dan Pellorneum celebense togianense yang berada di Pulau Togian, Sulawesi Utara.
Para peneliti dari Trinity College, Dublin, risetnya diterbitkan di Zoologischer Anzeiger pada 8 Juli 2021, mengurutkan DNA dan melakukan pengukuran hasil rekaman siulan puluhan burung pelanduk dari Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau dengan jembatan darat di sekitarnya seperti Kabaena, Muna, Buton, dan Wawonii.
Tim menemukan, secara taksonomi, menetapkan semua populasi pelanduk dari Sulawesi Tengah dan Tenggara, serta pulau-pulau jembatan darat, ke dalam satu subspesies P. c. rufofuscum. Subspesies itu sendiri meliputi empat garis keturunan yang berkembang secara independen. Dua dari garis keturunan ini, dari Sulawesi Tenggara dan Kabaena, bahkan secara genetik cukup berbeda untuk diklasifikasikan sebagai subspesies terpisah, tulis mereka.
Puluhan ribu tahun lalu, ketika pulau-pulau jembatan darat Sulawesi pertama kali dipisahkan dari daratan, mereka membawa serta populasi P. c. rufofuscum. Gaya hidup burung di dataran [tanah] dan keengganan untuk menyeberangi air memperkuat isolasi geografis mereka, dan populasi pun berkembang secara mandiri.
“Terkadang, evolusi dapat terjadi pada skala waktu dan ruang yang jauh lebih kecil, bisa lebih sulit dideteksi hanya dengan melihat penampilan visual burung tersebut,” kata penulis utama Fionn Marcaigh. “Hal itu terutama berlaku untuk burung pelanduk. Ini tidak seperti mereka, satu warna di satu tempat dan warna berbeda di tempat lain. Semuanya berwarna cokelat kusam.”
Ketimbang mengandalkan perbedaan visual untuk membedakan subspesies pelanduk baru, para peneliti mengumpulkan dan menganalisis data genetik, morfologi dan akustik, mencari pola yang secara konsisten tercermin dalam ketiganya.
Menurut analisis mereka, burung pelanduk dari Sulawesi Tenggara, Buton, dan Muna secara genetik dan akustik berbeda dari populasi P. c. rufofuscum Sulawesi Tengah. “Dengan demikian kami merekomendasikan bahwa subspesies [P. C. improbatum] akan dikembalikan untuk pelanduk dari Sulawesi Tenggara, Buton dan Muna,” tulis mereka.
Tim peneliti juga mengusulkan subspesies baru, P. c. kabaena, untuk diakui karena “Ada perbedaan genetik, akustik, dan morfologis populasi Kabaena dari Sulawesi Tenggara, Buton, dan Muna.”
Selain revisi taksonomi, penelitian ini menyoroti fenomena evolusi cepat. Para peneliti menemukan perbedaan genetik dalam subspesies P. c. rufofuscum, naik hingga sebanyak sepertiga keragaman antara spesies pelanduk sulawesi dan spesies lain, yang berkerabat jauh dan berpisah jutaan tahun lalu.
“Pulau-pulau itu baru terpisah selama puluhan ribu tahun, jadi untuk mendapatkan sepertiga evolusi dalam waktu sesingkat itu sangat mengejutkan,” kata Marcaigh.
Terlepas dari faktor perilaku, menurut penelitian tersebut, evolusi cepat pelanduk bisa menjadi hasil dari geologi pulau yang unik. “Pulau-pulau dengan populasi paling berbeda adalah yang terbuat dari jenis batuan tertentu. Batuan ultrabasa ini mengandung mineral seperti nikel, yang masuk ke tanah dan mengubah tanaman yang dapat tumbuh, yang harus disesuaikan dengan burung,” kata Ó Marcaigh.
Tanah kaya mineral di Kabaena dan Wawonii tidak hanya mempercepat evolusi. Mereka juga mempercepat laju ekstraksi sumber daya, dengan sejumlah perusahaan berbondong-bondong menambang nikel di titik-titik dengan keanekaragaman hayati ini.
Meskipun pelanduk sulawesi secara keseluruhan “cukup umum dan mudah beradaptasi” dan dinilai sebagai spesies yang paling tidak diperhatikan dalam Daftar Merah IUCN, namun ekstraksi sumber daya alam dapat terbukti menjadi bencana bagi populasi pelanduk berbeda yang terkonsentrasi di pulau-pulau ini, kata Marcaigh.
Populasi langka satwa yang kurang dapat diakses dan kharismatik, seperti serangga, amfibi, reptil dan banyak lagi – produk dari tanah yang kaya mineral di pulau itu – juga dapat menghilang, bahkan sebelum para ilmuwan berhasil mendapatkan catatan yang tepat, katanya.
“Semakin kita mempelajari keanekaragaman hayati, semakin kita menyadari bahwa di luar sana, ada spesies dan pulau-pulau yang belum pernah diteliti dengan cermat dan hasilnya berubah menjadi penuh kejutan,” kata Marcaigh. “[Tapi] waktu hampir habis untuk keanekaragaman hayati pulau-pulau itu, bahkan sebelum kita menangkap gambaran lengkapnya atau memahami bagaimana evolusinya.”
Tulisan asli dapat dibaca pada tautan ini: In Indonesia, an unassuming brown bird is proof of turbo-charged evolution. Artikel diterjemahkan oleh Akita Verselita