Mongabay.co.id

Taman Nasional Lorentz, Situs Warisan Dunia yang Terancam Proyek Jalan Trans Papua

 

 

Taman Nasional Lorentz adalah kawasan lindung terbesar di Asia Tenggara yang unik. UNESCO [United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization], Badan Khusus PBB yang menangani masalah pendidikan, ilmu pengetahuan, dan juga kebudayaan menjadikannya sebagai situs warisan dunia, yang harus dilindungi.

UNESCO bahkan menyebut taman nasional ini, sebagai satu-satunya kawasan lindung di dunia yang menggabungkan transek utuh dan berkelanjutan dari lapisan salju ke lingkungan laut tropis. Termasuk juga, lahan basah dataran rendah yang luas.

“Ini adalah satu dari tiga wilayah tropis di dunia yang memiliki gletser dan mosaik sistem daratan, dari puncak gunung yang tertutup salju hingga lahan basah dataran rendah yang luas dan daerah pesisir,” demikian tertulis dalam laman UNESCO.

Baca: The Last Glacier, Runtuhnya Salju Abadi Papua

 

Salju abadi di wilayah Cartenz. Foto: Dok. Taman Nasional Lorentz/KLHK

 

Kawasan Taman Nasional Lorentz terletak di bagian tengah-selatan Papua. Luasnya berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 4645 /Menhut-VII/KUH/2014 sekitar 2.348.683,31 hektar. Letaknya di 10 kabupaten yaitu Mimika, Paniai, Intan Jaya, Puncak, Puncak Jaya, Lanny Jaya, Jayawijaya, Yahukimo, Nduga, dan Kabupaten Asmat.

Dari lama Kementerian KLHK tersebut dijelaskan, kawasan ini membentang pada gletser khatulistiwa di jajaran pegunungan tinggi di Asia Tenggara melalui spektrum lengkap ekosistem, mulai ekosistem pesisir pantai sampai Pegunungan Alpin.

Kawasan ini merupakan keterwakilan gradasi ekosistem dengan ketinggian antara 0 – 4.884 mdpl dengan puncak tertinggi Cartenz dan salju abadinya. Pada sisi utara Taman Nasional Lorentz, terbentang jajaran pegunungan tinggi di Pulau Papua yang menjadikan kawasan ini memiliki kekayaan alam unik dan langka di dunia.

“Letak dan keunikan bentangan alam inilah yang menjadikan Taman Nasional Lorentz sebagai kawasan konservasi dengan ekosistem terlengkap di Indonesia. Bahkan, di Asia Tenggara dan dikenal sebagai benteng terakhir yang memiliki hutan belantara.”

Taman Nasional Lorentz memiliki ekosistem luar biasa. Di dalamnya terdapat 34 jenis vegetasi dan 29 sistem lahan yang telah diidentifikasi, serta 123 spesies mamalia yang telah tercatat. Selain itu, hutannya menjadi habitat berbagai spesies burung langka [45 spesies] dan endemis [9 spesies].

Taman nasional ini juga memiliki keragaman budaya, dihuni tujuh suku yang menerapkan pola hidup tradisional turun-temurun. Suku Amungme [Damal], Dani Barat, Dani Lembah Baliem, Moni dan Nduga, menempati wilayah dataran tinggi, sedangkan di dataran rendah terdapat suku Asmat, Kamoro dan Sempan.

Baca: Kajian Sebut Jalan Trans Papua Makin Gerus Hutan Papua

 

Taman Nasional Lorentz ditetapkan UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia. Foto: Dok. Taman Nasional Lorentz/KLHK

 

Ancaman Proyek Jalan Trans Papua

Taman Nasional Lorentz kini menjadi sorotan UNESCO dan dunia. Hal ini disebabkan adanya proyek infrastruktur yang dibuat untuk membangun Jalan Trans Papua rute Wamena-Habema-Kenyam, yang dikhwatirkan akan berdampak pada habitat dan perlindungan alamnya.

Dalam situs KLHK, disebutkan bahwa Jalan Trans Papua khususnya ruas Wamena-Habema-Kenyam total panjangnya 284,3 km, dan yang melintasi kawasan Taman Nasional Lorentz yang berstatus “Situs Alam Warisan Dunia” sepanjang 178,327 km. Akibat proyek infrastruktur tersebut, UNESCO mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan detail pembangunan dan peninjauan berbagai proyek yang dituangkan dalam keputusan Komite Warisan Dunia.

Baca juga: Jalan Trans Papua Hampir Semua Terhubung, Dampak bagi Orang Papua dan Lingkungan?

 

Burung cantik ini hidup di Taman Nasional Lorentz. Foto: Dok. Taman Nasional Lorentz/KLHK

 

Beberapa poin desakan UNESCO kepada Indonesia adalah menyerahkan rincian tindakan mitigasi yang telah dilakukan dan yang direncanakan untuk jalan Habema-Kenyam ke Pusat Warisan Dunia dan menutup jalan untuk kepentingan umum sampai langkah-langkah mitigasi dilaksanakan sepenuhnya.

Berikutnya, memberikan klarifikasi kepada Pusat Warisan Dunia tentang Jalan Raya Trans-Papua dan potensi dampaknya terhadap Nilai Universal Luar Biasa [Outstanding Universal Value/OUV] properti, terutama integritasnya, termasuk peta terperinci, salinan lingkungan penilaian dampak [Amdal] serta langkah-langkah mitigasi yang diperkirakan, sebagai suatu hal prioritas dan sebelum pekerjaan lebih lanjut dilakukan.

Selain itu, UNESCO juga menulis hasil penelitian yang menunjukkan ada kemungkinan serangan kumbang penggerek kayu yang menyebabkan pohon Nothofagus terinfeksi. Beberapa kasus kebakaran hutan selama musim kemarau, juga menyebabkan sejumlah tumbuhan terbakar.

Namun, untuk kasus kebakaran hutan ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Dalam buku Ekologi Papua [2012], disebutkan bahwa salah satu bencana alam yang terpenting bagi keanekaragaman hayati di Papua terjadi selama El Nino tahun 1997-1998. Ketika itu, musim kemarau berkepanjangan menimpa dataran tinggi bagian tengah dan diperburuk oleh kebakaran yang merusak hutan seluas 1.000.000 hektar dan 6.000 hektar hutan di kawasan Taman Nasional Lorentz hangus dalam kejadian tersebut.

 

Jalan Trans Papua di jalur Wamena-Habema. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK, Wiratno, seperti dilansir dari CNN Indonesia, mengatakan bahwa belum ada bukti-bukti kematian pohon Nothofagus akibat dampak pembangunan jalan.

Wiratno menyebut, pembangunan jalan di Taman Nasional Lorentz juga tidak menyalahi aturan. Ia menjelaskan pembangunan di kawasan konservasi diperbolehkan melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. P.85/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Kerjasama Penyelenggaraan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

“Pembangunan di kawasan konservasi baru mengkhawatirkan jika menyebabkan perambahan. Namun ini tidak terjadi di kasus Taman Nasional Lorentz. Kalau pembangunan di sekitar kawasan konservasi atau jalan-jalan banyak sekali di kawasan konservasi,” tuturnya.

 

Kondisi glacier di sekitar Puncak Jaya yang direkam melalui citra satelit pada 5 Desember 2017. Foto: NASA

 

Sejarah Taman Nasional Lorentz bermula setelah ekspedisi yang dipimpin Hendrikus Albertus Lorentz, seorang penjelajah Belanda yang mengunjungi daerah tersebut pada tahun 1909, sekaligus menjadi cikal bakal nama kawasan ini. Berikutnya, tahun 1919, wilayah ini ditetapkan sebagai Monumen Alam Lorentz pada masa Pemerintahan Belanda dan merupakan pengakuan resmi yang pertama kali tercatat dalam sejarah Taman Nasional Lorentz. Tahun 1970, wilayah ini direkomendasikan sebagai jaringan kawasan Irian yang dilindungi oleh pakar-pakar dari Dirjen Kehutanan RI, IUGN, FAO dan WWF.

Kemudian tahun 1997, Taman Nasional Lorentz ditetapkan secara resmi dengan luas 2.505.600 hektar, sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 154/Kpts-II/1997 tanggal 19 Maret 1997 yang memasukan tambahan bagian timur dan laut di sebelah Selatan.

Lalu di tahun 1999, taman nasional ini didaftarkan sebagai Warisan Alam Dunia dengan mengeluarkan areal sekitar 150.000 hektar dari kawasan yang memiliki izin eksplorasi minyak dan gas yang dimiliki oleh Conoco. Lorentz ditetapkan secara resmi sebagai Situs Warisan Dunia [World Heritage Site] berdasarkan Surat WHG/74/409.1/NI/CS tanggal 12 Desember 1999 dengan luas 2.350.000 hektar.

 

 

Exit mobile version