Mongabay.co.id

Ketika Sawit Masuk Pulau Seram [1]

Foto dari udara yang memperlihatkan pabrik pengolahan sawit tak jauh dari Sungai Saliha. Foto: Christ Belseran

 

 

 

 

Air sungai di Dusun Siliha, berbusa warna putih dan coklat kehitaman. Ikan pun banyak mengambang, mati, pada Februari lalu. Warga Dusun Siliha, Desa Maneo, Kecamatan Seram Utara Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, geger, terlebih ada yang alami sakit perut dan gatal-gatal setelah makan ikan dari sana. Mereka menduga, air sungai dan pesisir pantai Siliha tercemar pembuangan limbah pabrik perusahaan sawit, PT. Nusa Ina Group.

“Ikan mendadak mati, kami temukan 17 Februari 2021 pukul 11.00 siang. Peristiwa itu membuat warga seng (tidak) mau beraktivitas mencari ikan di pesisir pantai Dusun Siliha, karena takut dengan cairan di sekitar muara sungai dan pesisir pantai,” kata Juliath Itihuny, pemuda Dusun Siliha, April lalu.

Dia bilang, bersama keluarga alami gatal-gatal dan sakit perut setelah pakai air dan makan ikan dari situ.

Juliath cerita, sekeluarga makan ikan dari pesisir Pantai Siliha. Pada, 16 Februari, dia menjala ikan di pesisir Pantai Siliha. “Ikan saya bawa pulang, mungkin sekitar jam 12.00 siang, dimasak. Kami makan siang. Setelah istirahat setengah jam, kami sekeluarga perut sakit semua, mual, dan gatal-gatal,” katanya.

Tak hanya Juliath dan keluarga, belasan warga di Siliha juga mengalami hal serupa seperti gatal-gatal dan sakit perut. “Bapak Babinsa dan keluarga juga mengalami gatal-gatal. Anak-anak disini juga terjangkit.”

Keesokan harinya, dia langsung ke pesisir Pantai Siliha. Di sana, dia temukan permukaan air laut berubah berbusa dan kecoklatan. Penasaran dengan sumber cairan itu, Juliath mendatangi muara Sungai Siliha dan menemukan cairan warna sama dengan yang berada di pesisir pantai.

“Airnya berubah seperti air sabun, putih kecoklatan.”

Dia melihat warna air berubah dan ikan mati. “Saya masih sempat lihat ikan seperti mabuk. Putar-putar dan langsung mati di permukaan air. Saat itu, saya langsung mengabadikan video dan juga foto,” katanya.

Sepulang dari lokasi, Juliath langsung menemui warga dan menceritakan peristiwa itu. Warga Dusun Siliha geger. Mereka langsung mengunjungi muara sungai dan pesisir pantai.

Mereka lapor kepada kepada kepala dusun. Juliath pun langsung mengunggah peristiwa itu ke media sosial, dan mendapat tanggapan dari warga net. Rekaman video ini diteruskan ribuan kali oleh hingga mendapat respon pemerintah.

“Karena kesal, saya langsung unggah pada Facebook saya, dan diteruskan oleh kerabat saya dan mendapat respons positif dari masyarakat. Mungkin kalau tidak diunggah perusahaan acuh-tahu.”

 

Baca juga: Masyarakat Adat Sabuai Pulihkan Hutan lewat Sasi

Ikan mati terapung di Sungai Siliha, diduga dampak limbah dari pabrik sawit yang berada tak jauh dari situ. Foto: dokumen warga

 

Perusahaan mencoba menutup muara sungai dengan tanah.

“Jadi, sekitar tanggal 20 [Februari], saya melihat alat berat perusahaan mengangkat material tanah untuk menutup batas muara sungai ke laut. Mungkin takut saat air pasang dan masuk lagi ke sungai hingga air laut bisa ikut tercemar,” katanya.

Selain warga, petugas Polsek Wahai juga mendatangi lokasi untuk ambil sampel dan mendokumentasikan kejadian itu.

“Dari berbagai instansi datang, baik polisi, Dinas Perikanan, Dinas Lngkungan Hidup, tapi kami belum tahu hasil dari sampel yang mereka ambil,” katanya.

Pabrik perusahaan dekat dengan sungai dan pemukiman. Limbah pabrik sawit bisa langsung mencemari sungai hingga laut.

“Dari lokasi pabrik ke muara sungai itu sekitar 500 meter. Sungai Siliha, air berasal dari gunung ke muara. Memang muara Siliha itu berdekatan langsung dengan pabrik akhirnya mereka sudah tutup dan menggali lagi turun ke pantai ini.”

Juliath bilang, perusahaan berusaha menghilangkan jejak ikan-ikan mati di sungai maupun pesisir pantai dengan mengangkat dan menguburnya. Perusahaan bayar dua pemuda desa untuk angkat ikan mati dan membuangnya.

Radias Boiratan, salah satu yang bantu angkat ikan mati membenarkan diminta perusahaan mengangkat dan menguburkan ikan-ikan mati itu. “Iya betul, kami hanya tahu diperintahkan diangkat dan kuburkan. Biaya Rp100.000 per orang. Saya bersama seorang teman,” katanya.

Alhidayat Wajo, HRD Nusaina Group, membenarkan peristiwa pada Februari lalu itu. Dia bilang, telah menemui warga Dusun Siliha yang memposting persitiwa itu.

“Kami sudah bertemu saudara Juliath Itihuni 18 Maret 2021 di rumah. Beliau menyampaikan kalau benar saat awal sebelum memposting foto dugaan pencemaran lingkungan akibat limbah setelah keluarga mengalami sakit perut, namun mereka tidak ke dokter atau rumah sakit, hanya meminum obat mual-mual yang pernah diberikan seorang bidan,” katanya, seraya bilang, mereka belum memastikan apakah sakit perut karena limbah atau bukan.

Berkaitan informasi masyarakat Dusun Siliha, mengalami gatal-gatal karena limbah, kata Wajo, perusahaan telah mengkonfirmasi ke puskesmas Desa Pasahari. Dari sana, tak ada laporan ada pasien dari Dusun Siliha dengan keluhan gatal-gatal.

Untuk ikan mati, dia berdalih lantaran ikan dari laut terjebak dan masuk air tawar dalam waktu lama.

 

Baca juga: Setelah Kehadiran Sawit di Gane, Begini Nasib Warga dan Lingkungan

 

Juliath Itihuny, memperlihatkan sungai yang tercemar. Foto: Christ Belseran

 

Laporkan pencemaran

Pasca peristiwa itu, warga Dusun Siliha memberikan kuasa kepada Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku (LKLM), organisasi lingkungan di Maluku, untuk melaporkan ke Polda Maluku.

Setelah mendapat kuasa dari masyarakat Siliha, LKLM melaporkan Nusa Ina di Reskrimsus Polda Maluku terkait dugaan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di wilayah petuanan Dusun Siliha, Negeri Maneo, Kecamatan Kobi, Maluku Tengah. Dugaan, ada pembuangan limbah pengolahan sawit.

Pelaporan Nusa Ina dilakukan Sekertaris LKLM, Yohanes didampingi Ketua Divisi Investigasi Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku, Calin Lepuy, 8 Maret lalu.

Calin Lepuy, Ketua Tim LKLM, Callin kepada media mengatakan, dari data lapangan terdapat sejumlah biota laut mati, air laut pesisir Siliha menjadi hitam, bahkan sejumlah warga alami gatal-gatal dan sakit perut saat mengkonsumsi ikan.

Ironisnya, kata Lepuy, pengakuan dari masyarakat Siliha, pembuangan limbah Nusa Ina sudah sering dilakukan namun mereka enggan melaporkan dan memilih diam.

Fakta-fakta ini membuktikan, katanya, Nusa Ina jelas menabrak dan melanggar kententuan UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan PP Nomor 101/2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Beracun. Juga, Pasal 74 UU Nomor 40/2007 tentang Perseroan Terbatas dan Peraturan Pemerintah Nomor 47/2012 tentang Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas.

“Tujuan LKLM mempidanakan Nusa Ina tepat di Hari World Woman Day, 8 Maret 2021 ini untuk mengingatkan dan memberi sinyal kuat bahwa terdapat banyak sekali kaum perempuan yang sedang terpapar limbah buangan Nusa Ina,” katanya.

Meski perusahaan telah memiliki persyaratan pengoperasian salah satu analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), namun di lapangan, membuang limbah ke sungai dan laut.

LKLM juga membawa sampel air dari Sungai Siliha, yang diduga tercemar limbah Nusa Ina. Sampel dibawa dan uji ke Laboratorium Kesehatan Maluku, Karang Panjang Ambon.

Alhasil, dari hasil uji laboratorium kesehatan itu, air mengandung bahan berbahaya dan di atas ambang batas.

Kondisi ini menunjukkan, terjadi pembuangan limbah bahan berbahaya beracun (B3) pada ruang hidup yang mengancam masyarakat dan ekosistem sekitar.

“Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku laporkan pidana lingkungan ke Polda Maluku.” Proses kasus ini terus berlanjut.

 

Lembaga Kalesang Lingkungan Maluku (LKLM), organisasi lingkungan di Maluku, untuk melaporkan ke Polda Maluku. Foto: Christ Belseran

 

Marlatu Leleury, Wakil Bupati Maluku Tengah, mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup telah meninjau lokasi bersama dengan dinas terkait lainn serta telah penelitian.

“Tim langusung turun dan memeriksa lokasi. Isu lokasi terkontaminasi hingga menimbulkan bau dan lain-lain. Setelah saluran air itu dibereskan tidak terjadi lagi. Setelah diteliti itu limbah dan masih wajar. Saya kira, mudah-mudahan tidak ada masalah,” katanya.

Atas kejadian itu, pemerintah melakukan koordinasi dan memanggil manajemen perusahaan Nusa Ina agar bisa membantu menangani masalah ini.

Senada dikatakan Dinas Lingkungan Hidup Maluku Tengah, melalui Seksi Perencanaan dan Kajian Dampak Lingkungan, Mevianan Jayaningrum.

“Kita bicara karena ada hasil uji sampel air, ada tiga yang melebihi [ambang batas], yakni klorida, klor bebas, sama kadmium. Air itu cuma genangan, ada intrusi dari air laut. Untuk air temuan kemungkinan bisa karena faktor alam, dan intrusi air laut,” katanya.

Dia bilang, sampel yang diambil di cekungan. “Cekungan itu semacan genangan. Air tidak mengalir. K alau sungai kan ada hulu dan hilir.”

Soal temuan ikan mati, Mevianan berdalih karena ikan tak sesuai habitat. Ikan laut masuk ke sungai.

“Ikan yang mati kecil-kecil, ikan kerong-kerong.”

Air sungai yang berubah warna, katanya, karena sisa bakaran dekat kolam penampungan limbah hingga saat hujan lebat air larut dan masuk ke sungai.

“Airnya warna coklat kemungkinan karena ada tangkos dan sisa-sisa bakaran yang ditaruh di penampungan. Hujan besar, material larut masuk ke air dan menuju ke genangan itu. Maka air warna coklat dan sangat pekat.”

Dugaan sementara, air berubah warna karena kebocoran dari salah satu kolam atau ipal limbah produksi minyak sawit ini.

“Dugaan sementara, kebocoran, setelah diteliti. [Balai] Penegakan Hukum sudah turun ke lokasi, tidak ada kebocoran Ipal [instalasi pembuangan air limbah]. Dari uji sampel dari ipal masih dalam batas yang diperbolehkan.”

Mengenai jarak antara ipal (kolam limbah) dengan Sungai Siliha, katanya, dari pemantauan masih jarak cukup jauh.

Juliath bilang, Dinas Lingkungan Hidup Maluku Tengah baru meninjau ke lokasi setelah dibersihkan perusahaan.

“Mereka itu, Dinas Lingkungan Hidup dan Perikanan datang semua sudah dibersihkan oleh perusahaan. Airnya, sudah tak seperti semula. Ikan-ikan [mati] sudah dibuang. Mereka tidak lagi dapat sampel air awal. Kalau mau tanya itu sama petugas polisi yang datang mengambil data sehari pasca viral di media sosial.”

 

Kebun sawit PT Nusa Ina Group di Pulau Seram. Foto: Christ Belseran

Wajo dalam rilis mengatakan, lokasi Ipal perusahaan bukan menyebabkan pencemaran di Sungai Siliha.

“Lokasi yang viral bukan lokasi ipal Nusa Ina. Lokasi yang viral adalah daerah genangan air yang di sekelilinginya terdapat tanaman mangrove.”

Setelah beredar informasi dugaan pencemaran limbah, Dinas Lingkungan Hidup Maluku Tengah bersama Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum (Gakum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Maluku Papua turun ke lokasi pada 21 Maret. Alhasil, katanya, tidak ditemukan pencemaran.

DPRD pun lakukan uji air di laboratorium. Husen Alkatiri, anggota DPRD Maluku Tengah, mengatakan, DPRD Maluku telah uji laboratorium. Hasilnya, Sungai Siliha diduga tercemar karena mengandung bahan berbahaya.

“Dampak lingkungan kemarin dari Dinas Lingkungan Hidup Maluku Tengah bilang tidak mencemari. Menurut DPRD provinsi, hasil uji laboratorium [mengandung zat] berbahaya.” Dia bilang, perlu kajian bersama antara pemerintah daerah dan DPRD untuk membahas agar ada rasa nyaman kepada masyarakat dan investor.

Ecological Observation And Wetlands Consevation (Ecoton) menyebutkan, dalam berbagai kasus pencemaran limbah sawit memperlihatkan, pengelolaan limbah terlalu sederhana untuk mengurangi bahan organik yang tinggi.

“Pabrik CPO itu bahan organik tinggi, jadi pengelolaan limbah hanya untuk mengurangi. Dari pengalaman saya di Kalimantan, seringkali limbah itu dibuang ilegal. Tujuannya apa? Agar kolam-kolam limbah itu tidak ambrol atau tidak pecah,” kata Riska Darmawanti, peneliti senior Ecoton.

Dia peneliti yang fokus mencari tahu dan meneliti berapa banyak kandungan dioksin dan klorin pada sungai. Penelitiannya, termasuk kasus pembuangan limbah bahan beracun berbahaya (B3) seperti di Jawa Timur dan Kalimantan Barat.

Dari pengalaman, menurut Riska, banyak kebocoran pada kolam-kolam limbah hingga meluber masuk ke sungai. Biasanya, hujan deras hingga kolam sulit menampung limbah.

“Biasa, pembuangan limbah itu saat musim penghujan karena mereka secara kapasitas tidak memadai, sementara pasokan limbah sebegitu besar.”

Begitu juga soal ikan mati, katanya, dari kasus di Kalimantan Barat, karena bahan organik limbah sawit yang mengalir ke sungai tinggi.

“Ikan pasti mati, karena limbah itu tinggi bahan organik. Kalau bahan organik masuk ke sungai, oksigen dalam air akan turun hingga ikan mati,” kata perempuan juga Koordinator Indonesia Water Community of Practice (IndoWaterCop) ini.

Kasus warga terserang gatal-gatal, katanya, dia sering temui di daerah lain karena pencemaran limbah sungai maupun laut. (Bersambung)

 

Marlatu Leleury, Wakil Bupati Maluku Tengah. Foto: Christ Belseran

 

 

*Christ Belseran adalah jurnalis dari jurnalis Titastory. Tulisan ini dapat dukungan dari Mongabay Indonesia.

 

****

Foto utama: Foto dari udara yang memperlihatkan pabrik pengolahan sawit tak jauh dari Sungai Saliha. Foto: Christ Belseran

Exit mobile version