Mongabay.co.id

Ini Tantangan Pelestarian Biodiversitas di Laut Maluku Setelah Penetapan Kawasan Konservasi

 

Bulan lalu, Provinsi Maluku mendapatkan tambahan empat kawasan konservasi perairan (KKP) yang ditetapkan langsung oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Total, kawasan konservasi perairan yang disahkan luasnya mencapai 267.260,44 hektare.

Keempat kawasan tersebut diklaim memiliki zonasi sesuai fungsinya, yakni zona inti, zona pemanfaatan terbatas, dan zona lain yang untuk rehabilitasi, pelabuhan, sasi, dan wilayah perlindungan laut. Untuk fungsi terakhir, itu digunakan agar masyarakat bisa beraktivitas memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Adanya zonasi dengan fungsi yang beragam, diharapkan bisa mewujudkan tujuan utama untuk menjaga kelestarian laut dan pesisir di wilayah perairan. Di saat yang sama, tujuan tersebut bisa berdampingan dengan aktivitas masyarakat sekitar yang memanfaatkan wilayah perairan sebagai sumber pendapatan ekonomi.

Adapun, empat kawasan konservasi perairan yang ditetapkan di Maluku, adalah Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Kepulauan Lease yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2021.

Kemudian, Kawasan Konservasi di Perairan Pulau Ay dan Pulau Rhun melalui Kepmen KP Nomor 48 Tahun 2021; Kawasan Konservasi di Pulau Buano melalui Kepmen KP Nomor 49 Tahun 2021; dan Kawasan Konservasi di Perairan di Seram Utara dan Seram Utara Barat melalui Kepmen KP Nomor 50 Tahun 2021.

baca : Kerjasama Indonesia-Amerika Serikat: Maluku Utara Punya Tiga Kawasan Konservasi Perairan Baru

 

Salah satu terumbu karang di perairan Pulau Ay dan Rhun, Kepulauan Banda, Maluku. Foto : Evi Ihsan / Coral Triangle Center

 

Ada berbagai pihak yang terlibat dalam penetapan empat kawasan konservasi tersebut. Salah satunya adalah WWF Indonesia. Menurut Head of Marine and Fisheries Program WWF Indonesia Imam Musthofa, ada proses panjang yang harus dilalui terlebih dahulu dengan melibatkan para pihak yang berkepentingan, agar sebuah kawasan konservasi perairan bisa ditetapkan.

Salah satu contohnya, adalah wilayah perairan Seram Utara dan Seram Utara Barat yang memiliki potensi biodiversitas laut (high conservation value) yang paling tinggi di sepanjang pesisir utara pulau Seram. Kawasan tersebut ditetapkan sebagai KKP dengan luas mencapai 106.710,86 ha.

Potensinya meliputi keindahan terumbu karang, sumber perikanan, jalur migrasi marine megafauna, dan jalur migrasi laut migran. Kemudian, ada juga potensi sumber daya alam yang bisa memberi peluang bagi sektor pariwisata.

“Saat ini, pemanfaatan wisata cukup berkembang, dari (mulai) resort hingga homestay. Hanya, seperti umumnya di kawasan lain, situasi (pandemi) COVID-19 masih menyebabkan sektor pariwisata lesu,” kata Imam kepada Mongabay, Rabu (18/8/2021) di Jakarta.

baca juga : Lima Tahun Program USAID SEA Realisasikan 1,6 Juta Hektar Kawasan Konservasi Perairan

 

Seekor penyu di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah, Maluku. Foto : Purwanto / Coral Triangle Center

 

Secara umum, pemilihan kawasan-kawasan perairan menjadi pusat konservasi, terutama di Maluku, adalah karena perairan Maluku merupakan salah satu wilayah yang mempunyai habitat penting seperti terumbu karang, padang lamun, mangrove.

Sampai sekarang, habitat tersebut masih dalam kondisi baik dan merupakan bagian dari kawasan yang mempunyai bio climatical unit (BCU), yaitu indeks untuk mengukur daya lenting ekosistem laut terhadap dampak perubahan iklim.

Menurut Imam Musthofa, perairan Maluku memiliki BCU yang tinggi, sumber penyebaran larva perikanan penting, jalur migrasi marine megafauna yang mencakup mamalia laut, penyu, dan hiu. Kemudian, perairan Maluku juga memiliki potensi pariwisata bahari yang besar.

Di laut Maluku pula, potensi sumber daya perikanan diketahui sangat besar karena ada pengaruh tingginya nutrien dari fenomena pembalikan massa air (upwelling) Laut Banda, yaitu fenomena di mana air laut yang lebih dingin dan bermassa jenis lebih besar bergerak dari dasar laut ke permukaan akibat pergerakan angin di atasnya.

Pergerakan ini umumnya membawa nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan fitoplankton di dekat permukaan laut sehingga memperkaya biomassa di kawasan tersebut. Potensi tersebut menyebar di tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI) 714, 715, dan 718.

Kondisi tersebut, diharapkan ada inisiatif konservasi di kawasan perairan tersebut yang bisa berkontribusi terhadap pelestarian alam. Dengan demikian, jika ada dampak perubahan iklim terjadi di kawasan tersebut, proses pemulihannya bisa berjalan cepat.

“Memberikan peluang perikanan dan pariwisata untuk masyarakatnya, untuk dimanfaatkan secara berkelanjutan,” terang dia.

perlu dibaca : Hari Laut Nasional : Apakah Konservasi Kawasan Perairan Sudah Berjalan Baik di Indonesia?

 

Keindahan biodiersitas bawah laut di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah, Maluku. Foto : Purwanto / Coral Triangle Center

 

Proses Lama dan Pelibatan Stakeholder

Hingga awal 2021, kawasan konservasi perairan di Indonesia Timur yang mencakup Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua barat sudah mencapai luas total 7.243.797 ha atau sekitar 30 persen dari total kawasan konservasi perairan yang ada di Indonesia.

Sementara, untuk keseluruhan di Indonesia, hingga awal 2021 sudah ada sebanyak 231 kawasan konservasi perairan dengan luas total mencapai 24,11 juta ha.

Imam Musthofa memaparkan, dalam membentuk sebuah kawasan konservasi perairan, diperlukan banyak elemen yang harus diwujudkan melalui kerja sama dengan para pihak. Dalam prosesnya, waktu yang dibutuhkan untuk mengembangkan kawasan konservasi perairan bisa berbeda-beda.

Hal itu, karena disesuaikan dengan kondisi masing-masing wilayah perairan, mencakup besaran kawasan, kompleksitas permasalahan, dan juga kondisi dukungan politik dan masyarakatnya. Itu artinya, waktu yang diperlukan cukup bervariasi, bergantung pada kondisi masing-masing perairan.

“Dari pengalaman WWF dalam mendukung Pemerintah (Indonesia) dalam pengembangan kawasan konservasi perairan yang baru hingga mencapai proses penetapan, rerata memakan waktu antara lima hingga sepuluh tahun atau lebih,” jelas dia.

baca juga : Ditetapkan Tiga TMP di Malut, Sumbang Target 20 Juta Hektar Kawasan Konservasi

 

Seekor dugong yang terlihat di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah, Maluku. Foto : Purwanto / Coral Triangle Center

 

Dia mencontohkan, untuk inisiasi awal pengembangan kawasan konservasi perairan di Serut Utara dan Serut Utara Barat (Serutbar), itu sudah dimulai sejak 2011 oleh Pemerintah Kabupaten Maluku Tengah. Saat itu Teluk Sawai yang menjadi bagian dari perairan Serutbar diusulkan menjadi kawasan konservasi perairan untuk pariwisata bahari.

Kemudian, pada 2017 proses inisiasi pengembangan dilanjutkan kembali ke tahapan selanjutnya, hingga akhirnya ditetapkan oleh KKP pada 2021 sebagai kawasan konservasi perairan paling muda di Indonesia. Proses inisiasi dan seluruh tahapannya menjadi penting, karena untuk memastikan kawasan yang ditetapkan mendapat persetujuan dari pemangku kepentingan (stakeholder).

“Khususnya masyarakat yang tinggal di dalam kawasan konservasi perairan yang ditetapkan,” sebut dia.

Adapun, penetapan kawasan konservasi perairan merujuk pada Peraturan Menteri KP Nomor 31 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi, meliputi sejumlah tahapan. Di antaranya adalah usulan inisiatif calon kawasan konservasi, identifikasi dan inventarisasi, pencadangan, dan penetapan.

“Pada tahap identifikasi dan inventarisasi, itu mencakup survei, konsultasi teknis, dan konsultasi publik,” tambah dia.

Imam Musthofa menerangkan, dengan dua pertiga wilayah Indonesia adalah perairan laut, maka sudah tepat jika sebayak 10-30 persen wilayah perairan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Hal itu bisa memberikan dukungan optimal untuk kesehatan ekosistem laut dan pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan.

Lebih khusus, Indonesia sendiri memiliki target luasan kawasan konservasi perairan hingga 32,5 juta ha pada 2030 mendatang. Luasan tersebut setara dengan 10 persen luas perairan Indonesia yang menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk berkontribusi pada target AICHI sesuai dengan poin 14 tujuan pembangunan berkelanjutan (TPB).

“(Target AICHI) yang menargetkan setiap negara (bisa) mengalokasikan setidaknya 10 persen wilayah perairannya sebagai kawasan konservasi,” tutur dia.

baca juga : Dengan Metode OECM, Pemerintah Perbanyak Fungsi Konservasi Perairan Laut Indonesia

 

Seorang penyelam sedang melihat biodersitas terumbu karang yang luar biasa di perairan Kepulauan Lease, Maluku Tengah, Maluku. Foto : Purwanto / Coral Triangle Center

 

Pengelolaan Setelah Penetapan

Terkait penetapan empat kawasan konservasi perairan di Maluku, dia mengungkapkan bahwa pekerjaan rumah sesungguhnya adalah bagaimana mengelola kawasan konservasi setelah penetapan. Dalam melaksanakan pengelolaan, ada tantangan yang harus bisa dilewati oleh pengelola.

Agar pengelolaan bisa berjalan efektif, maka diperlukan kerja sama yang baik antara para pihak yang berkepentingan. Selain itu, seluruh tahapan harus dilakukan dengan konsultasi publik, agar rancangan kawasan konservasi bisa diterima oleh semua pihak.

Menurut dia, pengelolaan yang efektif dirumuskan dengan tiga penilaian indikator utama, yaitu biofisik, sosial ekonomi, dan tata kelola. Indikator biofisik adalah bagaimana kawasan konservasi mampu memelihara sumber daya alam meliputi ekosistem, habitat dan biota yang ada di dalamnya.

Indikator sosial ekonomi adalah bagaimana keberadaan kawasan konservasi ini mampu memberikan manfaat bagi masyarakat setempat secara berkelanjutan dengan memastikan indikator pertama terpenuhi.

Sedangkan indikator ketiga, yaitu bagaimana entitas/lembaga pengelola berikut sumber daya manusia, sarana dan prasarana, regulasi, program kerja, dan pembiayaannya tersedia optimal, serta berkelanjutan untuk mengelola suatu kawasan konservasi.

Secara teknis, cara mengevaluasi efetivitas pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dilakukan saat ini di Indonesia, adalah dengan mengikuti alat penilaian yang disediakan KKP, yaitu evaluasi efektivitas pengelolaan kawasan konservasi (EVIKA).

perlu dibaca : Support LIN, Maluku Harus Cerdas dan Bijak Kelola Kekayaan Lautnya 

 

Deklarasi sasi atau pelarangan penangkapan ikan dan biota laut sementara oleh masyarakat setempat di perairan Maluku. Foto : Yoga Putra / Coral Triangle Center

 

Dalam melaksanakan pengelolaan, masyarakat sekitar harus senantiasa dilibatkan, karena berperan sangat penting. Selain itu, masyarakat hukum adat (MHA) juga berperan sama pentingnya dalam proses pengelolaan kawasan konservasi perairan.

Menurut Imam Musthofa, keberadaan MHA bisa berkontribusi positif terhadap konservasi, karena dengan kearifan lokal yang dimiliki MHA bisa membantu penerapan prinsip-prinsip konservasi. MHA sendiri berdomisili di dalam maupun luar kawasan konservasi perairan.

Khusus di dalam kawasan, Pemerintah sudah menyiapkan regulasi kemitraan dalam Permen KP No.21/2015 tentang Kemitraan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan. Sementara, di luar Kawasan konservasi yang telah ditetapkan, Pemerintah Pusat telah mendorong pengakuan MHA melalui:

  1. Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No.52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
  2. Permen KP No.8/2018 tentang Tata Cara Penetapan Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat dalam Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Dengan adanya keterlibatan masyarakat sekitar, diharapkan kawasan konservasi perairan bisa tetap memberikan kontribusi secara ekonomi. Terutama, berkaitan dengan pemanfaatan perikanan berkelanjutan, budi daya perikanan, pariwisata.

Tentang biodiversitas yang ada di dalam wilayah perairan kawasan konservasi, Imam Musthofa menyebutkan bahwa itu juga menjadi bagian yang mendapatkan perlindungan penuh. Hanya saja, walau menjadi pusat kegiatan konservasi, biodiversitas tidak menjadi otomatis akan meningkat.

“Jika tidak dikelola secara efektif, biodiversitas tidak serta merta menjadi meningkat. Selain itu, perlu pemantauan dan pengawasan ekologi jangka panjang dengan memastikan praktik pemanfaatan berkelanjutan, pengurangan ancaman, dan penegakan aturan,” pungkas dia.

menarik dibaca : Bersih Laut, Cara Kaka Slank, Ridho dan EcoNusa Menata Ekosistem di Maluku

 

Keanekaragaman hayati yang luar biasa berupa terumbu karang dan berbagai ikan di perairan Pulau Buano, Maluku. Foto : Marthen Welly / Coral Triangle Center

 

Pelibatan Masyarakat

Selain WWF Indonesia yang fokus menginisiasi kawasan konservasi perairan di Seram Utara dan Seram Utara Barat, ada juga Coral Triangle Center (CTC) yang terlibat dalam inisiasi pendirian tiga kawasan konservasi lain.

Executive Director Coral Triangle Center (CTC) Rili Djohani yang dihubungi Mongabay pada Kamis (19/8/2021) mengatakan, tidak mudah untuk melakukan inisiasi di pulau-pulau berpenghuni di dalam kawasan yang akan dijadikan pusat kegiatan konservasi perairan.

Tantangan paling utama, adalah bagaimana memberikan pemahaman dengan penuh kesabaran kepada masyarakat dan para tokoh publik. Jika prosesnya tidak bisa dilewati dengan baik, baik dengan waktu singkat ataupun lama, maka pengelolaan kawasan konservasi perairan akan menemui kegagalan.

Itu kenapa, untuk bisa melaksanakan pengelolaan yang baik, diperlukan peta jalan dengan menerapkan sejumlah tujuan. Di antaranya, adalah perencanaan terpadu dengan melibatkan banyak instansi, dan meningkatkan kapasitas lokal dengan memberikan pelatihan kepada para pegawai Pemerintah dan non Pemerintah.

Kemudian, kebijakan dan sarana hukum; dan penataan kembali budi daya perikanan di dalam kawasan konservasi perairan. Terkadang, banyak yang belum paham bahwa budi daya bisa menimbulkan masalah jika dilaksanakan secara berlebihan, seperti halnya budi daya rumput laut.

Tujuan lainnya, adalah bagaimana Pemerintah mengakui kawasan konservasi perairan yang tidak ditetapkan oleh mereka, namun oleh kelompok atau perseorangan. Juga, bagaimana pengelolaan pendanaan bisa berjalan baik, karena ada dana khusus dari Pemerintah.

Terakhir, adalah bagaimana membangun platform komunikasi untuk menjabarkan secara detail tentang kawasan konservasi perairan. Pola komunikasi yang dibangun, bisa dengan membangun jembatan komunikasi yang sederhana, dengan menyesuaikan objek yang akan dituju.

 

Seorang penyelam sedang meneliti biodiversitas terumbu karang di perairan Pulau Buano, Maluku. Foto : Marthen Welly / Coral Triangle Center

 

Terkait inisiasi tiga kawasan konservasi perairan yang dilakukan CTC, Rili Djohani mengakui bahwa prosesnya tidak mudah untuk dilewati. Dari tiga kawasan tersebut, inisiasi di pulau Ay dan Rhun yang masuk dalam wilayah Kecamatan Banda, Kabupaten Maluku Tengah, menjadi paling lama.

Di wilayah tersebut, CTC sudah bekerja sejak 2012 atau sembilan tahun lalu. Sementara, di Kepulauan Lease yang masih masuk Kab Maluku Tengah, dan Pulau Bhuano yang masuk Kab Seram Bagian Barat, proses inisiasi sudah dilakukan sejak 2016.

Detailnya, Rili Djohani memaparkan bahwa kawasan konservasi perairan pulau Ay dan Rhun luasnya mencapai 61.178,53 ha dengan jumlah penduduk di dalamnya mencapai 2.858 jiwa. Kemudian, perairan pulau Bhuano luasnya mencapai 31.886,86 ha dengan jumlah penduduk 10.131 jiwa.

Sementara, perairan Kepulauan Lease luas wilayah kawasan konservasi mencapai 67.484,19 ha dengan jumlah penduduk mencapai 52.550 jiwa. Namun, data tersebut mencakup jumlah penduduk pada 35 desa yang ada di luar kawasan konservasi perairan pulau Bhuano.

Bagi Rili Djohani, penetapan tiga wilayah perairan di Maluku sebagai kawasan konservasi perairan, akan membimbing masyarakat di sekitarnya untuk bisa melalui masa depan yang lebih baik. Terutama, karena Maluku sudah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai Lumbung Ikan Nasional (LIN).

 

Pelatihan menyelam untuk masyarakat di perairan Kepulauan Lease, Maluku. Foto : Coral Triangle Center

 

Exit mobile version