Mongabay.co.id

Bibit Impor vs Lokal, Begini Upaya Kemandirian Petani Benih

 

Ada pemandangan baru di sejumlah desa di area dataran tinggi Bali, Kintamani, Bangli. Makin banyak gerai-gerai petani bibit di pinggir jalan. Mereka menghias gerainya sehingga menarik perhatian warga untuk mengunjungi.

Salah satunya sentra bibit di Desa Sekaan, Kintamani. Kiri kanan jalan terlihat kesibukan petani menyemai bibit di bedeng-bedeng bambu. Tiap kelompok hamparan bibit diisi bungkusan benihnya sehingga mudah diidentifikasi.

Salah satunya Soka Bibit. Pengelolanya adalah anak muda bernama Yande. Ia memasok kebutuhan petani hortikultura di kawasan Bangli. Kebanyakan benih yang disemai adalah hibrida dari luar negeri. Jenis benih yang diimpor di antaranya brokoli dari Jepang dan Korea, dan kubis dari Taiwan.

Sejumlah pekerja ada yang menyiapkan tanah dan kompos sebagai media tanam. Kemudian benih disebarkan satu demi satu di garis-garis tanah. Di sudut lain sudah ada benih yang tumbuh dan siap jual. Bedeng-bedeng bambu ini berbaris rapi. Yande memasang beberapa patung sayur di depan gerainya sehingga terlihat menarik, tak hanya untuk petani juga warga umum.

“Risikonya tidak laku atau bibit sudah terlalu tua sekitar 2 bulanan,” sebutnya. Ia juga heran kenapa sebagian besar benih diimpor, sehingga petani tergantung impor.

Ia menyewa lahan hampir 2 tahun ini untuk usaha pembibitannya. Sebelumnya lahan yang ditempatinya adalah kebun jeruk. Karena adanya peningkatan permintaan saat pandemi, ia membagi sebagian lahan untuk gerai bibit. Yande sudah memiliki pelanggan yakni petani sayur mayur di sekitar Kintamani.

Yande menyadari karena jenisnya hibrida, petani memiliki ketergantungan pada input pertanian kimiawi. Seperti pupuk dan pestisida. Namun saat ini ekosistem pertanian masih mengadalkan pertanian jenis hibrida ini.

baca : NGO: Benih Modifikasi Genetik Tidak Akan Sejahterakan Petani

 

Deretan gerai bibit kini makin banyak di beberapa desa di Kintamani, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Petani benih organik

Membuat benih lokal tak sulit, dengan catatan melakukan perawatan tanaman calon produsen benih. Wayan Suartana adalah petani benih yang juga mendampingi para petani benih yang difasilitasi Yayasan IDEP Selaras Alam di Bali.

Misalnya jika bertani benih minimal area area maka ada dua tanaman yang ditanam. Benih yang ditanam diberikan IDEP untuk memastikan jenis dan kualitasnya. Para petani yang tertarik mendapat pelatihan cara merawat indukan dan cara menangani benihnya sampai pengemasan.

Ada 7 tahapan jadi petani benih. Di antaranya pemeliharan, pembenihan, panen, perendaman, pengeringan, uji coba dan penyimpanan, serta distribusi. Diawali dengan pengolahan lahan dan rehabilitasi tanah.

Perlakuan khusus yang dilakukan adalah jarak tanam lebih lebar, pemangkasan ranting dan buah agar buahnya lebih berkualitas. “Bijinya punya daya tumbuh lebih bagus,” kata Suartana.

Panenpun dilakukan bertahap. Hasilnya dikumpulkan untuk diolah seperti dikeringkan kemudian dikemas. Petani benih organik yang didampinginya ada di Bangli, Pedawa-Buleleng, dan Yehembang-Jembrana.

Mereka memproduksi benih tomat, kalilan, sawi hijau, kemangi, buncis, terong, cabai, dan lainnya. Benih ini akan diujicoba untuk memastikan tingkat keberhasilannya sebelum dibeli IDEP. Namun paling penting para petani benih bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, tidak perlu beli bibit lagi.

Para petani yang didampingi adalah mereka yang berpengalaman bertani sayur. Setelah itu dikenalkan atau disegarkan kembali dengan etika dan prinsip permakultur, sebuah cara kerja yang mendorong keberlanjutan, sirkular, dan selaras alam.

baca juga : Apakah Indonesia Siap Beralih ke Tanaman Bioteknologi?

 

Proses penyemaian benih sayur di gerai petani bibit Kintamani, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Ketergantungan benih dengan harus membeli menurut Suartana karena petani belum tahu jika bisa membenihkan sendiri. Terlebih benih lokal yang sudah terbiasa ditanam akan lebih tahan hama. Sedangkan benih hibrida belum bisa beradaptasi sehingga ketergantungan input kimia.

Penanaman bibit lokal juga mendorong pemanfaatan bahan lokal seperti pupuk kandang, slurry padat dan cair untuk kebun. Sedangkan pengusir hama bisa dengan cara hayati misanya dengan tanaman pengusir hama seperti sereh dan kemangi.

Cara lain adalah tumpang sari atau menanam bunga untuk menarik predator. Selain menjaga kesuburan tanah, juga untuk mengurangi hama dengan kehadiran predator. Misalkan cabe ditambah jahe atau kunyit di sela-selanya.

Terlebih saat ini ada penurunan kualitas ekologi karena penggunaan kimiawi. Capung adalah biota penting karena selain indikator kebersihan air juga bisa memakan wereng. Misalnya di Bali, di lahan sawah, capung berawal dari blauk. Karena kena pestisida, blauk atau larva capung ini mati. Belut pun tak mau hidup. Tikus banyak karena ular sawah menjauh.

Kelebihan benih organik, menurut Suartana adalah bisa ditanam berulang-ulang. Kalau hibrida kemungkinan tidak bisa ditanam berulang-ulang. Saat penanaman pertama, hasilnya bagus. Namun hasil berikut kualitasnya menurun.

Para petani benih ini didorong memanfaatkan biogas dari kotoran hewan agar terintegrasi. Selain menghasilkan daging atau uang, gas dari kotoran dimanfaatkan untuk memasak, sedangkan ampasnya biogas atau slury sebagai pupuk untuk kebun.

Ia mengaku tidak semua petani benih yang didampingi berhasil. Ada yang tidak memiliki motivasi atau sabar melakukan perawatan tanpa input kimia. Alasan lain, penghasilan dari bertani benih tidak menguntungkan.

perlu dibaca : Pertanian Organik, Pertanian Sehat yang Ramah Lingkungan

 

Kombinasi tanaman jeruk dan kubis di salah satu kebun di Kintamani, Bali. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Suartana menunjukkan kesabarannya memilah benih termasuk yang ukurannya sangat kecil. Misalnya kemangi dan daun basil, difilter dengan sabar karena berat tapuknya sama dengan benihnya. Tak mudah diayak untuk memisahkan bijinya.

Benih yang diambil harus sudah tua dari pohon yang sehat. Setelah itu diremas untuk membuka penutup biji. Suartana mengurangi tapuk dengan hati-hati. Ia perlu menggunakan sendok kecil untuk memisahkan butir-butir putiknya. Sedangkan tomat, cabe, dan kacang-kacangan jauh lebih mudah karena bijinya mudah disisihkan.

Salah satu petani yang berhasil mengurangi ketergantungan benih adalah kelompok Bukit Mesari di Bedugul, Tabanan.

Wayan Jarmin, petani kelompok tani Bukit Mesari di Bedugul menyadari ancaman kerusakan lingkungan dan krisis air yang mengancam sumber penghasilannya.

Di dua petak kebunnya, ia mempraktikkan cara bertani ekologis. Cara praktik pertanian yang rendah input kimia, produksi pupuk dan benih sendiri, serta konservasi air dengan memanfaatkan air hujan.

Kelompoknya membuat kompos padat, cair, dan pestisida alami. Jarmin juga mencoba pertanian organik dengan membuat greenhouse seluas satu are berisi tomat, selada, bit, dan hortikultura lain tanpa input kimia. Greenhouse dipakai sebagai siasat proteksi dari hama dan pengurangan air.

Bedugul sebagai kawasan penyangga dan produsen hortikultura menghadapi sejumlah tantangan seperti air bersih, alih fungsi lahan hijau jadi akomodasi pariwisata, dan menurunnya keberagaman biodiversitas.

 

Exit mobile version