Mongabay.co.id

Harimau Mati di Pasaman, Bagaimana Sinergikan Adat dan Kepentingan Pemeriksaan?

 

 

 

 

Satu harimau Sumatera ditemukan dalam kondisi sakit, dekat Bendungan Sontang, Kanagarian Sontang Cubadak, Kecamatan Padang Gelugur, Pasaman, Sumatera Barat, pada Sabtu (14/9/21). Meskipun sempat mendapatkan perawatan BKSDA Sumatera Utara beberapa jam, harimau tak tertolong.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar mengatakan, pada 14 Agustus itu sekitar pukul 09.00 menerima laporan dari seorang masyarakat soal ada warga melihat harimau sakit dan tertidur di dekat Bendungan Sontang. Orang itu mengirimkan video kondisi harimau masih hidup dengan kondisi lemas.

BKSDA Sumbar pun, katanya, berkoordinasi dengan jajaran Polsek Panti dan Koramil Rao untuk mengamankan harimau sakit ini.

Tim BKSDA meluncur ke lokasi membawa kandang dan mempersiapkan dokter hewan dari Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan (TMSBK) Bukittinggi. Hasil analisa video itu, harimau diduga mengalami dehidrasi berat.

BKSDA Sumbar berkoordinasi dengan Dinas Kehutanan Sumbar selaku Wakil Ketua Tim Koordinasi Penanganan Konflik Satwa di Sumbar untuk mendapatkan tenaga medis dan dukungan.

“Harimau Sumatera sempat mendapatkan perawatan oleh petugas medis dari Puskeswan Dua Koto dengan kondisi suhu badan tinggi, kotoran berwarna hitam. Selanjutnya diberikan tindakan pemberian obat dan vitamin, namun pukul 11.00 WIB dinyatakan mati,” kata Ardi.

 

Baca: Global Tiger Day: Pendekatan Bentang Alam untuk Kehidupan Harimau Sumatera Perlu Dilakukan

 

‘Rebutan’ harimau

Saat bersamaan, massa sudah banyak berkumpul dan meminta harimau dikubur di kampung dengan anggapan satwa ini leluhur mereka.

Upaya negosiasi antara petugas BKSDA Sumbar dibantu polisi dengan Ninik Mamak, untuk membawa harimau ke Padang buat nekropsi berlangsung alot. Masyarakat kekeuh harimau dikuburkan di depan rumah seorang warga selaku Ninik Mamak.

“Secara medis sangatlah berbahaya menguburkan bangkai satwa di sekitar pemukiman kalau ternyata satwa itu membawa penyakit yang bersifat zoonosis (menular dari hewan ke manusia),” katanya.

Harimau pun akhirnya dikuburkan. Guna menghindari pencurian, dilakukan pengecoran di kuburan dan upacara adat selama beberapa hari.

Harimau jantan yang diperkirakan berumur tujuh sampai delapan tahun ini ditemukan sekitar empat kilometer dari hutan lindung yang dikelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Pasaman Raya. Ia membentang membentuk koridor hutan Panti-Batang Gadis.

“Petugas akan ambil data di lapangan baik jejak, kotoran, sumber air, pakan satwa serta memasang kamera pengintai dan sosialisasi penanganan konflik satwa kepada masyarakat. Ini penting dilakukan sebagai bentuk upaya pencegahan konflik di kemudian hari, ” katanya.

Indra Exploitasia, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Ditjen KSDAE, dalam rilis yang diterima Mongabay mengatakan, sangat menghargai kearifan lokal masyarakat, namun mestinya hewan bisa dinekropsi terlebih dahulu.

Dengan ada hasil nekropsi dapat diketahui penyebab kematian harimau.

“Apalagi dalam masa pandemi COVID-19 saat ini, diperlukan kehati-hatian dalam segala tindakan penanganan pasca kematian terutama terhadap bangkai harimau,” katanya.

COVID-19 merupakan penyakit baru dengan pengetahuan medis masih terbatas termasuk soal penyebaran dari manusia ke satwa liar, atau sebaliknya.

“Dengan kasus kematian harimau ini, bisa kita ambil pembelajaran untuk pengambilan tindakan-tindakan terkait sisi medis.”

Wilson Novarino, Dosen Biologi dari Universitas Andalas Padang, mengatakan, kasus ini sudah kali kedua dalam waktu cukup berdekatan di Pasaman dan Pasaman Barat. Untuk itu, mungkin perlu analisis lanjutan tentang kondisi habitat dan populasi harimau pada kedua wilayah serta aktivitas lain yang berlangsung pada wilayah itu.

Mengenai penguburan harimau di tengah kampung, Wilson bilang menandakan masih ada kepercayaan kalau harimau merupakan leluhur.

 

Baca: Catatan Akhir Tahun: Konflik dan Lunturnya Kearifan Masyarakat Terhadap Harimau Sumatera 

Petugas Kepolisian, BKSDA Sumbar, TNI, Ninik Mamak mencoba menenangakan warga. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia.

 

Pada beberapa daerah, ada keyakinan kalau ada harimau dibawa keluar dari daerah mereka, akan bisa mendatangkan hal tidak baik untuk kampung. Kalau ingin membawa keluar kampung mesti ada rangkaian upacara tertentu, sebagai contoh di Batu Busuak Padang, ada upacara mailau.

Dengan kondisi petugas tak bisa mengakses satwa untuk nekropsi, katanya, menunjukkan terkadang upaya hukum positif tak efektif ketika berhadapan dengan masyarakat. “Ini masukan penting bagi SOP (standard operating prosedure) penanggulangan konflik manusia dan satwa liar. Mungkin perlu dikaji lebih seksama apakah kondisi ini perlu menjadi salah satu variabel dalam penangulangan konflik. Ini bisa saja terjadi dengan satwa lain pada daerah lain.”

Nekropsi tentu, katanya, penting dilakukan, baik untuk kebutuhan forensik (mencari tahu penyebab kematian), mengantisipasi potensi suatu penyakit zoonosis menyebar bahkan untuk kebutuhan lebih sederhana buat pendataan genetik dan hereditas satwa. Mestinya, kata Wilson, harimau tetap dilakukan nekropsi walau dikuburkan di lokasi.

Yoan Dinata, Praktisi Konservasi Harimau Sumatera mengatakan, kepercayaan masyarakat lokal sangat dihargai tetapi mesti memberikan kesempatan kepada petugas untuk pemeriksaan lebih lanjut terhadap harimau itu.

Rencana BKSDA untuk pemeriksaan lebih lanjut di sekitar lokasi temuan sudah tepat dan diharapkan memberikan informasi pendukung kemungkinan penyebab harimau sakit.

Ekolog Satwa dan Lanskap, Sunarto mengatakan, pertama-tama perlu dipahami harimau adalah satwa penjelajah jarak jauh. Wilayah jelajah harimau luas hingga ratusan kilometer persegi, bisa lintas kabupaten bahkan provinsi.

Tipe habitat yang dihuni pun bisa sangat beragam. Mereka dapat hidup di hutan rapat hingga semak-semak hutan sekunder; di wilayah tropis yang hangat dan lembab hingga ke wilayah sub-tropis yang dingin dan kering seperti di Rusia. Juga bisa di hutan-hutan mangrove dan rawa gambut seperti di Sumatera bagian timur dan Bangladesh, hingga perbukitan dan pegunungan tinggi seperti di Bukit Barisan juga Himalaya di Bhutan.

“Studi kami di Sumbar, Riau dan Jambi menunjukkan, hutan merupakan habitat utama, namun mereka dapat menggunakan areal perkebunan dan perladangan sebagai habitat tambahan dan jalur lintasan,” kaanya.

Harimau memerlukan populasi satwa mangsa yang cukup dan tempat memadai. “Jadi untuk mengatakan “keluar dari habitat” itu sebenarnya tidak sederhana. Ketika menjelajah, bisa saja terpaksa melintasi lahan yang hutan sudah dibuka. Itu kemungkinan akan dilakukan pada malam hari atau saat tidak banyak manusia beraktivitas.”

Soal penyakit, beberapa macam virus, termasuk SARS-Cov-2 penyebab COVID-19, memang dapat menginfeksi satwa termasuk harimau. Virus dan mikroba patogen/parasit diketahui dapat membuat satwa menjadi seperti jinak atau kehilangan rasa takut terhadap manusia, bahkan terhadap satwa lain yang dalam kondisi biasa sangat dihindari oleh satwa itu.

Parasit toxoplasma, misal, akan membuat tikus yang terinfeksi kehilangan rasa takut pada tempat terbuka yang biasa sangat mereka hindari. Tikus yang terinfeksi bahkan dapat menjadi tertarik pada aroma urin kucing. Akibatnya, kucing dapat memangsa tikus yang seperti itu dan ikut tertular.

Perubahan perilaku seperti itu dapat menguntungkan parasit yang menginfeksi karena membantu penyebarannya.

Hal serupa, katanya, dapat saja terjadi pada manusia yang dapat tertular toksoplasma atau patogen lain.

“Jadi kita perlu sangat berhati-hati. Harimau yang terlihat “keluar dari habitatnya”, bisa jadi karena salah atau kombinasi dari tiga kemungkinan.”

Kemungkinan-kemungkinan itu, katanya, pertama, satwa sedang melintas antar habitat utama, seperti hutan, namun jalur ada yang terfragmentasi atau terhalang areal yang terbuka. Kedua, satwa sedang mengalami masalah seperti disorientasi karena menderita penyakit/infeksi tertentu, sedang belajar menjelajah, atau karena ada individu satwa lain yang lebih dominan. Ketiga, habitat mengalami perubahan mendadak.

Terkait masyarakat melarang bedah bangkai harimau, dia bilang, komunikasi dan dialog saling memahami perlu lebih intensif. Satu sisi, katanya, memang perlu memahami dan memperkokoh adat serta budaya yang dapat membantu pelestarian satwa.

Sisi lain, ilmu dan pengetahuan terkini dapat bersinergi dengan adat dan budaya itu guna memperkuat pengelolaan menuju pemulihan populasi dan kelestarian harimau juga terjaganya keseimbangan ekosistem.

 

Negoisasi Petugas BKSDA Sumbar, TNI, Polri dengan Tokoh Masyarakat terkait rencana nekropsi harimau yang sudah mati. Foto: Vinolia/Mongabay Indonesia.

 

 

Exit mobile version