Mongabay.co.id

Ancaman pada Lingkungan Meningkat karena Kebijakannya Menurun

 

Hukum lingkungan di Indonesia dinilai belum bisa merespon prinsip lingkungan global, misalnya tidak mengorbankan lingkungan demi pembangunan.

Hal ini dibahasa dalam Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Rabu (18/8/2021).

Analisis ancaman lingkungan ini disampaikan Mas Achmad Santoso, pendiri Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), pembina Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ahli hukum lingkungan, dan salah satu pendiri Indonesia Ocean Justice Iniative (IOJI).

Politik hukum lingkungan Indonesia dinilai tak cukup mampu mengatasi bencana ekologi (planetary ecological catastrophy) di era antroposen ini. Biodiversitas makin banyak hilang akibat perubahan halosen jadi antroposen.

Antroposen adalah zaman baru saat ini, di mana para ilmuwan mengatakan bahwa kita telah mengubah bumi secara signifikan melalui aktivitas manusia. Perubahan-perubahan ini termasuk pemanasan global, hilangnya habitat, perubahan komposisi kimia atmosfer, lautan dan tanah, dan kepunahan hewan. Dampaknya luar biasa dan memburuk karena pandangan antroposen ini. Bagaimana hukum lingkungan merespon?

Konsep pembangunan berkelanjutan lahir dari pertemuan lingkungan global Stockholm (1972), Rio (1992), sampai Paris. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa kompromi untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang. “Kuncinya keadilan generasi kini dan belum lahir nanti,” sebut Otta, panggilan akrab Mas Achmad Santoso.

baca : Pidato Presiden Sebut soal Ekonomi Berkelanjutan, Apa Kata Mereka?

 

Kebakaran di hutan Papua, yang sudah berubah jadi konsesi sawit. Foto: dari video Investigasi Greenpeace dan beberapa organisasi lain.

 

Pertumbuhan ekonomi, lingkungan, dan keadilan sosial adalah satu nafas. Semua pertimbangan pembangunan menyangkut ekonomi harus berlandaskan triple bottom tersebut.

Ada lima prinsip pembangunan berkelanjutan yang belum dipenuhi Indonesia, walau instrumennya telah muncul dalam Undang-undang No.32/2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup yang diubah sebagian dalam omnibus law yaitu UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Pertama, keadilan antargenerasi. Walau ekonomi Indonesia sudah tumbuh, tapi apakah memikul tanggung jawab lingkungan yang sama?

Muncul lah prinsip kedua yakni keadilan dalam satu generasi. Ketiga, prinsip pencegahan dini. Ilmu pengetahuan tak selamanya bisa mengikuti perkembangan riil di lapangan termasuk dampak kegiatan. Jika ilmu sering ketinggalan, tidak bisa terbebas dari tanggungjawab misalnya melakukan rehabilitasi. “Walau pengetahuan tidak pasti, bukan berarti negara menunda melakukan langkah signifikan untuk melindungi manusia,” jelasnya.

Keempat, perlindungan keanekaragaman hayati. Daratan dan laut adalah dasar pembangunan ekonomi. Karena daratan banyak terdegradasi, lalu makin banyak program lari ke laut.

Kelima, internalisasi eksternalitas. Artinya dampak lingkungan perlu diinternalisasi dalam setiap kegiatan.

Hukum lingkungan dinilai belum sepenuhnya menerjemahkan prinsip di atas, karena sejumlah hal yakni aspek politik, tata kelola pemerintahan, dan penegakan hukum. Dua hal penting yang kurang dimiliki otoritas adalah kemampuan merumuskan dan kehendak politik.

“Ditambah antroposen, krisis iklim. Kalau pemimpin dan pembantunya tidak paham dengan masalah besar Indonesia maka dari peningkatan investasi dan ekonomi, kita yang harus menanggung akibatnya,” imbuh Otta.

Misal sejumlah banjir bandang yang tidak pernah terjadi sebesar itu sebelumnya di Belgia, China, Thailand, India. “Indonesia akan mengalami giliran, takutnya kita lebih besar lagi menanggungnya,” sebut Otta.

baca juga : Mengapa Lingkungan Hidup Terancam dengan Ada Omnibus Law?

 

Perjalanan politik hukum pembangunan berkelanjutan. Sumber : Mas Achmad Santosa

 

Ia menceritakan kisah Emil Salim yang menelusuri Teluk Jakarta yang kotor bersama Presiden Suharto pada 1978 setelah Konferensi Stockholm. Sungai kotor dan hutan rusak. Bagaimana 30 tahun nanti pada 2008 ketika penduduk bertambah dan eksploitasi alam makin intensif? Demikian refleksi perbincangan keduanya. Setelah itu Emil Salim ditunjuk jadi Menteri Lingkungan Hidup.

Aturan hukum di era antroposen (IUN Declaration of Environmental Rule of Law) menyatakan kebijakan lingkungan tidak boleh regresi atau mundur namun sebaliknya harus progresi. “Negara harus memperkuat hukum dan kebijakan melakukan perlindungan, restorasi. Negara tidak boleh melakukan aksi yang menurunkan daya dukung dan usaha memberikan perlindungan apalagi deregulasi ekonomi,” ingatnya.

Kenyataannya, di Indonesia kebijakan lingkungan melemah. Hal ini nampak dari analisis perjalanan politik hukum pembangunan berkelanjutan.

Undang-undang No.4/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, kemudian UU No.23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Amandemen ke 4 UUD NRI 1945, berikutnya UU No. 32/2009 tentang Pelindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Terakhir, UU No.11/2020 tentang Cipta Kerja. Masalahnya, UU yang diprotes warga dan jaringan masyarakat sipil ini mengubah beberapa pasal penting dalam regulasi sebelumnya. Yaitu ketentuan terkait Amdal, izin lingkungan, peran serta masyarakat, izin pengelolaan limbah B3, izin dumping, pergeseran kebijakan pemberlakuan sanksi dari pidana ke administrasi, penghapusan government officer responsibility, dan lainnya yang dinilai mengorbankan lingkungan demi pembangunan ekonomi.

Lingkungan dinilai penghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Pembangunan dulu baru lingkungan dan HAM. “Ini pemikiran sama sekali tidak benar. Keadilan sosial-keadilan-perlindungan lingkungan harus selaras. Jangan-jangan tak bisa dipulihkan kembali,” ingat Otta.

perlu dibaca : RUU Cipta Kerja Ketok Palu, Lonceng Bahaya bagi Lingkungan Hidup?

 

Presiden Soeharto (kanan) memberi cap pada sampul perangko seri Lingkungan, 10 Juni 1961 di Istana Negara, Jakarta, disaksikan oleh Emil Salim (tiga dari kiri). Foto : dok Soeharto.co

 

Jika dipaparkan ke instrumennya, perjalanan regulasi di atas juga dinilai sebagai kemunduran kebijakan lingkungan. Contohnya, tata ruang, Amdal, UKL UPL, Perizinan, pengawasan kepatuhan, penegakan hukum masuk UU Cipta Kerja atau rezim ekonomi dan investasi. Harusnya sebaliknya.

Kelemahan penegakan hukum ini menurut Otta terjadi karena sejumlah hal. Pertama, kurangnya kemampuan melakukan penegakan hukum yang kreatif termasuk korupsi dan pencucian uang untuk menjerat pelaku intelektual. Ia mencontohkan, saat kepemimpinan KPK masih bagus di masa lalu saja masih ragu memasukkan kerugian lingkungan hidup sebagai kerugian negara.

Kedua, mempromosikan kepatuhan dalam penegakan hukum administrasi belum optimal. Ketiga, kasus state captured di sektor sumberdaya alam berpengaruh ke efektifitas penegakan hukum. Keempat, pelaku fungsional pemimpin perusahaan dapat dituntut berdasarkan UU.

Publik dinilai memiliki peran mempengaruhi politik hukum negara selain wawasan dan komitmen Presiden dalam bentuk tuntutan dan aspirasi publik.

Mengutip survei Litbang Kompas (2020), persepsi publik terutama kalangan milenial muda, kebutuhan terhadap LSM di bidang lingkungan hidup masih tergolong rendah (17-30 tahun) hanya 4%, milenial matang (31-40 tahun) 3,7%, generasi X (41-52 tahun) 2%, dan baby boomers (di atas 52 tahun) 1,6%.

Kebutuhan masyarakat terhadap gerakan pengawasan pemberantasan korupsi cukup besar (milenial muda 26,7%, milenial matang 34,6%, generasi X 20,4%, dan baby boomers 38,9%).

Otta mencatat, gerakan masyarakat di bidang lingkungan hidup masih rendah karena belum menjadi preferensi utama dari kelompok masyarakat. Oleh sebab itu pelibatan kelompok Gen Z dan Gen Mileninal (total 53,81% dari penduduk Indonesia) menjadi penting.

Menurunnya tekanan kebijakan lingkungan ini menurutnya diperburuk dengan penegakan hukum kasus-kasus perusakan lingkungan. Menurutnya penegak hukum dan masyarakat sipil belum memahami korporasi yang melakukan pelanggaran bisa dihukum sampai ke pengendali perusahaannya. “Jangan menyasar pelaku fisik yang tidak punya kemampuan tanggungjawab. Tapi pengendali perusahaannya,” ajaknya.

Agenda ke depan adalah Indonesia perlu memiliki UU Perlindungan Hukum Pejuang HAM termasuk lingkungan hidup. Ia menyontohkan perlunya surat keputusan untuk mengakomodasi instrumen hukum internasional Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (Anti SLAPP) untuk menghindari kriminalisasi warga dan pejuang lingkungan.

baca juga : Menanti Aturan Kuat Perlindungan bagi Pejuang Lingkungan

 

Aksi semen kaki yang dilakukan pegiat lingkungan di Samarinda, Kalimantan Timur sebagai bentuk protes pada karst Kendeng yang terancam tambang semen. Foto: Yovanda

 

Warga berhak dapat bantuan hukum

Pada kesempatan yang sama, I Dewa Gede Palguna, mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) juga menyebut pentingnya pemahaman hak dasar warga negara. Salah satunya bantuan hukum.

Hak atas bantuan hukum bagian dari syarat yang tidak dapat ditiadakan bagi keberadaan negara. Ia berharap hak dasar ini tak sekadar basa basi.

Hak untuk menyatakan pendapat juga adalah hak konstitusi (UUD). Karena fundamental maka kedudukannya mutlak (supreme). Konsekuensinya seluruh cabang kekuasaan negara terikat. Tidak boleh ada UU yang bertentangan dengan konstitusi.

Kalau tidak memuat fitnah, menurutnya bukan kejahatan tapi ekspresi. “Batas penghinaan sangat lentur, ketika berhadapan dengan kasus konkrit tertentu,” ujarnya. Sebagai jalan keluar, penghinaan idealnya masuk jalur perdata. Namun RKUHP masih menganggap pidana. “Kebijakan kita masih tindak pidana asalkan penerapannya kasuistis tidak sembarang digunakan. Penting MK bisa menyidangkan kasus seperti itu tapi masih mimpi saya. Jika masyarakat sipil apatis, maka kondisi negeri tidak sehat,” harap Palguna.

Salah satu negara yang ia sebut paling maksimum dan ideal melindungi hak konstitusional warga negara adalah Jerman.

Hak bantuan hukum telah dijamin baik dalam hukum internasional maupun hukum nasional. Undang-Undang No.16/2011 tentang Bantuan Hukum adalah peluang untuk meningkatkan layanan bantuan hukum bagi mereka yang membutuhkan terutama masyarakat miskin dan termarjinalkan. Layanan bantuan hukum harus dapat diakses oleh seluruh warga Indonesia tanpa memandang latar belakangnya. Termasuk warga yang dikriminalisasi di kasus-kasus sumberdaya alam.

 

Exit mobile version