Mongabay.co.id

Ketika Sawit Masuk Pulau Seram [2]

DCIM100MEDIADJI_0173.JPG

 

 

 

 

Dusun Siliha berpenduduk 420 jiwa atau 52 keluarga, dengan mata pencarian warga sebagai petani dan nelayan. Dusun di Desa Maneo, Kecamatan Seram Utara Kobi, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku, ini berdekatan dengan pabrik perkebunan sawit PT Nusa Ina Group (Nusa Ina). Ada enam warga kampung bekerja di pabrik sawit. Sebagian warga juga bekerja sebagai buruh harian lepas di kebun sawit.

Setelah perusahaan sawit masuk, warga harus relokasi kampung. Dusun Siliha ini merupakan lokasi kedua setelah beberapa tahun lalu relokasi untuk pembangunan pabrik sawit. Kini, kampung mereka berada di daerah dataran rendah. Setiap musim penghujan kampung alami banjir. Lokasi lama Dusun Siliha berada di dataran tinggi, dekat pabrik sawit.

Belakangan ikan pun sulit nelayan dapatkan di perairan dekat pantai. Kalau dulu, daerah tangkapan hanya 50 meter. Sekarang, lebih jauh untuk dapat ikan.

Hutan mangrove di sekitar Kampung Siliha dan pesisir pantai juga terbabat untuk jadi pabrik sawit.

“Dulu, itu banyak sekali mangrove, saat perusahaan masuk dan membuat pabrik, pohon-pohon itu dibabat semua.”

Juliath mengatakan, alih fungsi hutan mangrove di Dusun Siliha Negeri Maneo, jadi pabrik sawit sejak 2009. Kondisi ini, katanya, membuat hutan mangrove terus menipis.

“Sebelum perusahaan masuk itu semua hutan mangrove. Di lokasi pabrik pun itu hutan bakau, semua digusur, tinggal sedikit saja empat, lima pohon di muara sungai,” kata Juliath.

Nusa Ina mengatakan, pembangunan pabrik awalnya kawasan hutan produksi konversi (HPK). “Memang ada tanaman mangrove yang ditebang, namun setelah dikeluarkan SK pelepasan kawasan hutan dari awal HPK jadi APL (areal penggunaan lain),”kata Alhidayat Wajo, HRD Nusa Ina.

Jems Abraham, Kepala Pusat Penelitian Wlayah Pesisir, Pulau-pulau Kecil dan Daerah Rerluar, Pusat Studi Lingkungan (PSL) Unpatti Ambon mengatakan, mangrove mempunyai banyak fungsi, pertama, fungsi fisik yakni memberikan perlindungan terhadap garis pantai dan pantai.

Kedua, sisi biologis maupun ekologis, memberikan manfaat sebagai tempat asupan bagi sumber daya yang hidup dan berasosiasi di kawasan mangrove itu. Ketiga, tanaman mangrove mempunyai pengertian sebagai daerah tempat makan dan sebagai tempat memijah atau bertelur.

Keempat, mangrove dari sisi ekonomi memberikan manfaat bagi masyarakat.

 

Baca juga: Ketika Sawit Masuk Pulau Seram [1]

 

James mengatakan, mangrove bernapas melalui pori-pori di akar. Kalau akar tertutup lumpur, minyak, atau polutan lain, mangrove perlahan bisa punah. Siklus hidup juga lambat, mencapai puluhan tahun.

Kedepan, menurut ilmuan perikanan dan ilmu kelautan ini, dalam pengembangan pulau-pulau perlu pendekatan komferensif dan terpadu.

“Semua orang bisa memberikan kontribusi. Pendekatan yang selama ini kurang dikembangkan dengan baik adalah pendekatan komunikasi adaptif yaitu mengakomodasi suara masyarakat sampai ke pemerintah. Adaptif, bagaimana kita mengubah sistem di sekitar hutan mangrove.”

Agus Kastanya, Guru Besar Kehutanan Universitas Pattimura, punya pandangan tentang hutan mangrove. Saat ini, katanya, sebagian besar mangrove berada pada wilayah APL atau wilayah konversi hingga sangat berbahaya bagi lingkungan.

Dia usulkan, secepat mungkin beralih status jadi hutan lindung.

“Yang hanya kita bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu atau jasa-jasa lingkungan tidak boleh lagi kita mengkonversi mangrove ini jadi pembangunan untuk sektor-sektor lain. Ini sangat luar biasa bahaya,” katanya.

Dia melihat, perusahaan terus beroperasi di berbagai tempat dan mudah mengkonversi lahan mangrove.

Agus tak sependapat dengan aturan-aturan yang membolehkan konversi hutan mangrove. Hutan jenis ini, katanya, sebuah ekosistem yang mempunyai daya serap karbon sangat tinggi lebih dari hutan alam biasa.

“Mungkin tujuh sampai 10 kali penyimpanan karbonnya atau daya serap karbon itu lebih tinggi dari hutan alam. Mangrove ini barrier menjaga seluruh pesisir pulau-pulau kecil. Saya yakin, pulau-pulau kecil di pesisir sudah banyak hancur.”

Dia contohkan, sekitar Pulau Ambon, banyak instansi mengkonversi untuk pembangunan pemukiman, dan kantor bahkan, di Teluk Ambon hingga hutan mangrove mengalami kerusakan luar biasa. “Saya kira itu yang harus diperhatikan dalam upaya merevisi tata ruang.”

Untuk kasus mangrove di pesisir pantai, di Desa Maneo, Dusun Siliha itu ditebang sepanjang tiga kilometer. Menurut Agus, sebesar itu cukup luas terlebih untuk pulau-pulau kecil di Maluku termasuk Seram.

Walau Seram ukuran pulau besar tetapi karakter fisik DAS pendek hingga sangat berbahaya kalau mangrove hilang.

Selain mangrove tergerus, pantai yang biasa banyak pengunjung pun sepi. Kotes atau rumah santai ada yang mulai rusak, karena tak terurus. Akhir pekan biasa ramai, sekarang sepi.

Obyek wisata di Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, ini terkenal dengan pasir putih. Pemandangan indah. Sejak peristiwa pencemaran limbah ke laut, para pengunjung enggan datang apalagi untuk mandi di pantai.

Wisata pantai ini mulai buka pada 2017. “Untuk pemasukan dari wisata pantai lebih Rp30 juta–Rp40 juta setiap hari raya atau Natal. Tahun kemarin, pendapatan Rp5 juta. Itu sudah paling besar, tak sama dengan dua tahun sebelumnya saat pertama kali wisata pantai ini buka,” katanya.

Juliath sebagai ketua pemuda khawatir, dampak limbah pabrik sawit ini akan berpengaruh pada ekonomi warga Dusun Siliha.

Setelah sawit masuk, masalah tak hanya muncul di sekitar pabrik, juga di kebun.

 

Dusun Siliha ‘relokasi’ yang berada di dataran rendah, setiap musim penghujan kebanjiran. Dulu dusun mereka di dataran tinggi, dekat lokasi yang sekarang jadi pabrik sawit. Foto: Christ Belseran

 

***

Tanaman sawit setinggi dua meter berjejer rapi di perbukitan Desa Kobi Mukti, Kecamatan Seram Utara Timur Kobi, Kabupaten Maluku Tengah. Ratusan hektar tanaman sawit ini terletak kawasan afdeling IV, lahan milik warga transmigrasi yang bermitra dengan perusahaan PT Nusa Ina Group (Nusa Ina).

Sebagian besar penduduk berasal dari Jawa ini menyerahkan tanah mereka dengan sistem kemitraan. Lainnya, memilih menggarap padi di sawah.

Sukri Temon, warga Desa Mukti menyaksikan lahan sawah yang mulai mengering. Sudah dua bulan terakhir sawah tidak teraliri dengan baik. Saluran irigasi sudah dua bulan rusak karena tertutup material tanah.

Kondisi ini, katanya, berdampak pada sawahnya.

Selain kekurangan air, sawah juga kerap mendapat serangan hama seperti tikus dan ulat daun. Tak sedikit dana mereka keluarkan untuk membeli obat pencegah hama atau pestisida.

Temon bilang, padinya sekarang tak banyak memberikan hasil. Belum lagi, pengeluaran banyak untuk membeli pestisida hama padi.

“Dana tidak sedikit untuk tanam, biaya garap Rp6 juta, tanam saja Rp12 juta untuk bajak satu hektar, belum lagi obat hama. Itu harus ada uang,” katanya.

Sepekan dua kali dia menyemprot padinya agar terhindar dari tikus dan ulat daun.

“Kalau di sini banyak tikus, karena sawit di dekat lereng perbukitan. Kemarin,sepekan yang lalu kita semprot, tapi harus semprot lagi. Ulat, penggulung daun sangat banyak juga,”katanya.

Pada 2020, Temon dan kerabat hanya bisa memanen padi tiga ton, jauh dari hasil panen sebelumnya, biasa yang mencapai 6-7 ton per tahun.

 

Tanaman padi terserang hama ulat. Areal sawah warga berdekatan dengan kebun sawit. Foto: Christ Belseran

 

Temon bersama warga Desa Kobi lain, berharap Pemerintah Maluku Tengah bisa membantu mereka untuk irigasi dan hama tanaman.

Arsyad Lamat, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Hortikultura Maluku Tengah, mengatakan, kehadiran sawit di Maluku Tengah sangat mengganggu produktivitas panen padi terutama sebagai penghasil beras di Kecamatan Seram Timur Seti dan Seram Utara Timur Kobi,.

“Produktivitas sangat menurun dibandingkan 1982-1985, di Seram Utara produksi beras bisa 6-7 ton, sekarang turun, 2-4 ton,” katanya.

Lahan sawit itu, katanya, berdekatan dengan sawah hingga hama di sawit mengganggu tanaman padi terutama tikus.

Untuk masalah irigasi air, karena berdekatan dengan lahan sawah, sawit dipastikan menyerap air banyak.

“Padi ketika musim kemarau itu petani tidak bisa tanam lagi karena gangguan dari sawit itu.”

Lebih parah, katanya, bila musim hujan, persawahan rusak karena banjir.

Banjir yang dari lokasi sawit berujung di lahan sawah. Menurut dia, sungai sekitar sudah tak bisa menampung lagi karena hutan sekitar gundul sudah ditanami sawit.

Dia mengatakan, sawit jangan tanam dekat areal sawah. Saat ini, areal sawah warga, berkeliling perkebunan sawit.

“Petani tidak mau tanam padi di lahan dekat sawit karena rugi terus, akhirnya di lahan sawah cetakan Dinas Tanaman Pangan dan Holkikutura itu sudah tidak tertanami.”

Dia bilang, mereka lakukan berbagai langkah dari pendekatan dengan perusahan sawit maupun Dinas Perkebunan agar tanam sawit tak dekat sawah warga.

 

Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Hortikultura Kabupaten Maluku Tengah, Arsyad Lamat. Foto: Christ Belseran

 

Dengan alasan pemilik lahan sudah berikan izin, Nusa Ina seenaknya menanam sawit dekat sawah dan sungai.

“Mereka beralasan sudah mendapat izin dari tuan tanah padahal lahan yang sudah dicetak pemerintah daerah terutama Kementerian Pertanian, tidak boleh masuk areal itu, tapi mereka tetap masuk,” katanya.

Dinas Pertanian πun terpaksa mengembalikan dana cetak sawah cukup besar ke Kementerian Pertanian, karena tak terserap.

“Pada 2017 sekitar 130 hektar dana dikembalikan ke Kementerian pertanian karena tidak tercetak lagi karena sudah ditanami sawit Nusa Ina. Nilai Rp2 miliar lebih.”

Johan Riry, Guru Besar Ilmu Pertanian Universitas Pattimura Ambon, mengatakan, dampak perkebunan monokultur sawit ini. Risiko tanaman monokultur, katanya, sumber-sumber genetik yang ada di hutan menghilang, pohon-pohon tertentu yang bisa membawa manfaat bagi masyarakat juga hilang karena ditebang berganti sawit.

Pepohonan hilang, satwa pun hilang seperti burung-burung yang biasa ada di tengah-tengah masyarakat menghilang atau makin jauh ke tengah hutan.

Dia khawatir kesuburan fisik dan biologi lahan akan terus mengalami degradasi hingga dalam jangka panjang tanah tak produktif lagi.

“Kalau sudah 30 tahun dikelola dan dikembalikan ke negara atau masyarakat, lahan sudah tidak bisa lagi dimanfaatkan untuk bercocok tanam. Butuh waktu panjang lagi untuk rehabilitasi.”

Menurut ahli pertanian Unpatti ini, ia tidak setuju dengan pemupukan jangka panjang karena dianggap kurang baik.

Dia mendengar kalau perkebunan sawit itu manfaatkan limbah sawit jadi pupuk organik. Namun, katanya, perkebunan sawit ribuan hektar tentu memerlukan ribuan ton pupuk organik. “Ini juga terbatas hingga pupuk kimia itu pasti lebih dominan dibandingkan organik,” katanya.

Sawit, katanya, punya tajuk besar hingga sulit tanaman lain tumbuh di sekitarnya.

“Besarnya bisa 15 meter atau diameter besar hingga tanaman lain tidak bisa tumbuh karena menaungi. Sasarannya, pasti monokultur dan tanaman lain mati hingga tinggal sawit.” (Selesai)

 

Sawit ditanam sampai ke bantaran sungai. Foto: Christ Belseran

 

 

*Christ Belseran adalah jurnalis dari jurnalis Titastory. Tulisan ini dapat dukungan dari Mongabay Indonesia.

*****

Foto utama: Perkebunan sawit perusahaan yang mengelilingi areal persawahan warga di Maluku Tengah. Sejak ada kebun sawit, warga pun mulai alami masalah, dari kekurangan air di lahan pertanian sampai hama menyerang tanaman pagi. Foto:  Foto: Christ Belseran

Exit mobile version