Mongabay.co.id

Upaya Jawa Timur Wujudkan Transisi Energi ke Sumber Terbarukan

 

 

 

 

Para pekerja gunakan bermacam peralatan, mereka tampak sibuk untuk menyelesaikan pembangunan pembangkit listrik tenaga minihidro (PLTM) Kanzi I di Purwodadi, Pasuruan, Jawa Timur.

Target penyelesaian proyek dengan sumber air dari aliran Sungai Kali Welang–tepat di air terjun Baung itu, tahun depan. Harapannya, PLTM yang bakal menghasilkan listrik 2,5 Megawatt (MW) itu bisa terdistribusi kepada pelanggan.

“Target kami, 2022 sudah commissioning operasional date (COD)” kata Adi Prayitno, Direktur PLN UID Jawa Timur, beberapa waktu lalu.

Kapasitas listrik segitu, katanya, cukup menerangi 2.000-3.000 rumah berkapasitas 900 Kva.

Di Jawa Timur, setidaknya ada tiga PLTM dibangun PLN. Dua PLTM lain adalah PLTM Bayu di Banyuwangi dengan kapasitas 3,6 MW dan PLTM Sumberarum kapasitas 3 MW.

Adi bilang, pembangunan PLTM ini sejalan dengan rencana pemerintah meningkatkan bauran energi terbarukan. Terlebih, PLN telah menegaskan tidak lagi membangun pembangkit berbahan fosil pada 2025.

 

Baca juga: Berkah Sumber Air di Malang, dari Pariwisata, sampai Pasok Listrik ke PLN

Proses pengerjaan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga mini hidro di Jawa Timur. Foto: A. Asnawi/ Mongabay Indonesia

 

Tingkatkan bauran energi

Oni Setiawan, Kepala Bidang Energi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jawa Timur mengatakan, pemerintah terus berupaya meningkatkan bauran energi di Jatim. Langkah ini guna mengurangi penggunaan energi fosil, sekaligus bagian dari nationally determined contributions (NDC) Indonesia dalam menekan emisi karbon.

Dari sisi kebijakan, komitmen itu dengan membentuk Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6/2019 soal bauran energi di Jatim. Ada juga Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED).

Pada regulasi itu, bauran energi sektor energi terbarukan ditargetkan 17,09% pada 2025 dan 19,56 pada 2050. Kendati sampai 2020, bauran energi terbarukan di Jatim baru 3,28%.

Sejalan dengan target itu, penggunaan energi fosil seperti batubara dan minyak bumi diproyeksikan turun. Dari 58% pada 2020 jadi 44,7% pada 2025 dan 21,7% pada 2050.

“Karena kebetulan, kita (Jatim) memiliki potensi cukup besar. Mulai dari air, angin, hingga panas bumi,” katanya.

Oni bilang, potensi energi terbarukan untuk sektor ketenagalistrikan di Jatim mencapai 25.242 MW dengan dominasi tenaga surya dan angin sebesar 10.335 MW dan 7.907 MW. Dari potensi itu, baru dimanfaatkan 320,59 MW, setara 3,28%.

Guna mendorong peningkatan bauran energi terbarukan, ESDM siapkan sejumlah proyek. Sampai 2025, puluhan pembangkit listrik ramah lingkungan dibangun dengan kapasitas 4.190 MW. Ia terdiri dari PLTM, panas bumi hingga PLT sampah.

“Iitu tidak hanya oleh pemerintah melalui APBN atau APBD. Juga PLN dan swasta,” katanya.

Guna lebih masif, mereka juga memberikan insentif kepada daerah-daerah yang memiliki inovasi terkait praktik atau kebijakan penggunaan energi terbarukan.

Menurut dia, data memperlihatkan tahun ini saja, sejumlah proyek pembangkit energi terbarukan berhasil dibangun di Jatim, antara lain, 13,65 MW untuk PLTSa/PLTBm, 20,83 MW untuk PLTM, dan 0,95 MW untuk PLTS.

Bukan hanya PLTS dan PLTM, katanya, saat ini mereka juga merencanakan pembagunan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di sejumlah tempat di Jawa Timur seperti Trenggalek,Tulungagung, Blitar, Malang, Lumajang, Jember. Kemudian, di Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sumenep, Sampang, dan Pamekasan.

Khusus di Banyuwangi, rencana pembangunan PLTB sudah tahap studi kelayakan oleh PLN. Harapannya, proyek ini mampu menghasilkan listrik 50 Megawatt dan bisa beroperasi pada 2023.

 

Baca juga: Pesona Boonpring Andeman, Dari Ekowisata, Pusat Penelitian Bambu sampai Sumber Listrik

PLTU batubara. HIngga kini, Indonesia masih andalkan energi batubara. Foto: Della Syahni/ Mongabay Indonesia.

 

Ketahanan energi, upaya serius?

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan, ada banyak alasan pemerintah harus lebih ambisius mendorong transisi energi dari fosil ke terbarukan. “Yang paling utama bagian dari pengurangan emisi karbon,” katanya.

Dia bilang, emisi karbon yang tak terkendali jadikan suhu global rata-rata meningkat 1,1°C sejak masa pra industri yang memicu perubahan iklim. Untuk mengendalikan dampak krisis iklim itu, negara-negara di dunia dituntut menahan peningkatan suhu global di bawah 1,5°C.

Salah satu cara, katanya, mewujudkan sumber energi ramah lingkungan. IESR, katanya, telah melakukan kajian terhadap peluang Indonesia untuk mewujudkan energi nol emisi.

Pada peta jalan publikasi tahun lalu itu, peluang Indonesia mewujudkan itu bisa lebih cepat dibanding skenario pemerintah. “Sebelum 2050, kita sudah bisa. Catatannya, pemerintah harus konsisten.”

Fabby bilang, sumber daya terbarukan lokal, khusus energi surya, cukup memenuhi permintaan energi di dalam negeri. Skenario Kebijakan Terbaik (BPS) oleh IESR menunjukkan, dekarbonisasi sistem energi Indonesia secara menyeluruh pada 2050 layak secara teknis dan ekonomis.

Tren pasar energi terbarukan dalam bauran energi primer terus mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan, Fabby memperkirakan, bisa mencapai 80% pada 2040 dan 100% pada 2050. Khusus listrik, berdasar kajian IESR, bisa lima tahun lebih cepat.

Menurut dia, Indonesia memiliki potensi sumber energi matahari cukup besar. Bila itu dikombinasikan dengan baterai, dan sumber energi terbarukan lain, kegiatan pembangkit listrik benar-benar bersih dari karbon.

Bersama Lappeeneanta University of Technologi (LUT) Finlandia dan Agora Enwegiewende, Jerman, IESR membuat simulasi komposisi sumber energi pembangkit listrik tanpa emisi itu. Ia meliputi 88% dari PV Surya, tenaga air 6%, panas bumi 5%, dan sumber energi terbarukan lain 1%.

Kendati demikian, katanya, target pengurangan emisi pada 2050 tidak cukup hanya dari sektor listrik juga sektor lain, seperti transportasi dan industri.

Mau tidak mau, katanya, dua sektor ini juga harus mempercepat upaya untuk meninggalkan energi fosil dan beralih ke sumber lebih ramah.

Fabby bilang, hasil permodelan IESR, sistem energi masa depan yang aman dan andal sangat mungkin menggunakan penyimpanan dan elektroliser dalam jumlah besar. Ini bermaksud untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan di sektor transportasi dan industri.

Elektrifikasi, katanya, akan jadi kunci mobilitas masyarakat Indonesia ke depan. Perhitungan IESR, pada 2050, kendaraan listrik diperkirakan mencapai 90%.

Meski begitu, bahan bakar nabati akan tetap memainkan peranan penting. Biofuel masih akan berperan di sub-sektor yang jauh lebih sulit untuk teraliri listrik, seperti pelayaran dan penerbangan.

Selain itu, katanya, hitung-hitungan IESR, hingga 205, kendaraan listrik diperkirakan belum sebanding dengan kendaraan berbahan fosil yang ada saat ini. Apalagi, target peralihan kendaraan listrik yang dipatok pemerintah cukup rendah.

Pemerintah, katanya, hanya manargetkan 2 juta kendaraan listrik R4 dan 13 juta R2 pada 2030. Padahal, saat ini, kendaraan bermotor mencapai sekitar 16 juta untuk roda empat dan 150 juta untuk roda dua.

“Ini mau tidak mau bahan bakar cair masih diperlukan karena kendaraan listrik yang ada belum akan mampu mensubtitusi jumlah kendaraan saat ini. Dalam konteks ini, liquid fuel masih diperlukan karena belum sepenuhnya beralih ke kendaraan listrik.”

Pertanyaannya, darimana pemerintah akan memenuhi liquid fuel itu? Sebabkalau minyak jadi rujukan, itu kontraproduktif dengan usaha mengurangi emisi karbon. Cadangan minyak tersedia juga sangat terbatas.

Bahkan, berdasar beberapa kajian yang Fabby peroleh, cadangan minyak hanya cukup untuk 15 tahun ke depan. “Maka, menaikkan produksi minyak pun, pada konteks hari ini sudah nggak relevan. Karena cadangan terus turun, permintaan terus naik.”

Dengan begitu, kalau memang berkomitmen dekarbonisasi energi sekaligus mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM), kata Fabby, pemerintah harus lebih serius mendorong kendaraan listrik dan terus mengembangkan bahan bakar cair non fosil.

Indonesia, katanya, memiliki banyak potensi bahan bakar nabati yang bersumber dari non sawit. Dia sebutkan, selulosis etanol. “Indonesia kaya akan tumbuh-tumbuhan yang bisa diekstrak menjadi bahan bakar nabati,” kata Fabby.

Dengan skenario itu, Indonesia akan mampu mewujudkan ketahanan energi sekaligus mengurangi gas rumah kaca. Dari sisi keuangan negara, juga lebih efisien karena tak perlu lagi mengimpor minyak.

Beberapa skenario yang dia tawarkan sangat bergantung pada komitmen pemerintah. Alih-alih menggenjot penggunaan energi terbarukan, yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah dia nilai kurang ambisius dalam dekarbonasi energi.

Dalam 10 tahun terakhir, kata Fabby, tren bauran energi terbarukan justru mengalami penurunan bila dibandingkan periode 10 tahun sebelumnya. “Artinya, lebih banyak energi fosil ketimbang energi terbarukan.”

Padahal, katanya, bicara penurunan gas rumah kaca (GRK), mau tidak mau, konsumsi energi fosil harus turun atau bahkan nol.

 

*****

Foto utama: Energi surya, salah satu sumber energi terbarukan dengan pasokan melimpah di Indonesia

Exit mobile version