Mongabay.co.id

Apa Kabar Monitoring dan Evaluasi Program Terumbu Karang ICRG?

 

Program padat karya Indonesia Coral Reef Garden (ICRG) dinilai perlu monitoring dan evaluasi secara komprehensif untuk menilai efektivitas rehabilitasinya. Proyek yang melibatkan lebih dari 10 ribu orang ini disebut melampaui target jumlah struktur dan areal cakupan di pesisir Bali utara dan selatan pada 2020 lalu.

Inilah salah satu hal yang muncul di webinar oleh Bali Reef Rehabilitation Network yang mengangkat topik praktik-praktik restorasi, Jumat (20/08/2021). Dihelat Coral Triangle Center (CTC), Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, dan BPSPL Denpasar.

ICRG dibuat pemerintah pusat sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) di masa pandemi di Bali. Bagaimana monitoring dan evaluasinya?

Rahmadi Prasetya, Dosen Prodi Biologi Universitas Dhyana Pura yang terlibat di ICRG ini memaparkan sejumlah capaian proyek ini. Jumlah pekerja yang terlibat 10.171 orang, dengan jumlah struktur 95.768 buah, dari anggaran Rp100 miliar.

ICRG dibuat di tiga kabupaten dan kota yakni Denpasar, Badung, dan Buleleng. Luas area yang ditutupi struktur baru ini 74,30 hektar dari target 50 hektar. Total capaian jumlah substrat yang dibuat sebanyak 95.768 dengan beragam desain.

ICRG di Kota Denpasar ada di dua lokasi, terdiri dari Sanur sebanyak 13.116 substrat, direncanakan menutup 8 ha tapi meluas jadi 13,8 ha. Di Serangan, 10.985 substrat di 6 ha, yang meluas jadi 9,4 ha.

Di Badung juga ada di dua lokasi yakni Nusa Dua 40.686 substrat untuk area 25 ha, meluas jadi 34,2 ha. Berikutnya Pantai Pandawa 17.495 ditargetkan 7 ha, menjadi 9,5 ha.

Sedangkan di Bali utara, Kabupaten Buleleng dilaksanakan di sejumlah desa, membuat 13.486 substrat dengan target 4 ha, menjadi 7,4 ha.

“Ini program pemulihan ekonomi akibat pandemi. Perlu monitoring dan evaluasi (monev) agar lebih berdaya guna,” katanya. Tak ada satupun bentuk yang dinilai tepat untuk semua lokasi. Metode restorasi juga tidak bisa disamakan karena sangat terkait tujuannya. Misalnya alasan ekologis, sosial ekonomi, dan karena peristiwa atau kasus seperti penyakit.

baca : Restorasi Karang Dampak Pandemi Dimulai di Lima Perairan di Bali

 

Penurunan struktur terumbu karang program ICRG di Desa Les, Buleleng, Bali, dilakukan dengan cara berbeda sesuai strategi desa, misalnya menarik rakit berisi struktur dengan tali tambang pada Desember 2020. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Rahmadi mengatakan idealnya restorasi tanpa intervensi manusia atau strategi pasif, biar alam yang mengembalikan tapi akan berlangsung sangat lama. Karena itu diperlukan intervensi dengan program rehabilitasi. Ada tiga teknik menurut ecological engineering, yakni transplantasi, elektrodeposisi, dan taman koral.

Tiap teknik memiliki kekurangan dan kelebihan. Misalnya elektrodeposisi, sangat cepat menaikkan ketahanan hidup, tapi kekurangannya tidak bekerja pada sejumlah spesies.

Terkait biaya, menurutnya penghitungan tak hanya terkait pembuatan substrat karang tapi banyak aspek lain untuk membiayai restorasi. Misal ia mencontohkan sebuah peristiwa kerusakan karang oleh kapal di sekitar 12 meter persegi, nilainya bisa ratusan juta. Menurutnya perlu ada webinar terkait pengalaman kegagalan juga agar tidak terjadi di tempat lain.

Untuk monitoring ICRG menurutnya banyak pihak yang bisa terlibat karena ICRG menyediakan banyak topik yang bisa diriset. “Sedang didiskusikan. Perawatan kunci adalah restorasi, kita tidak ingin ICRG jadi proyek gagal,” sebut Rahmadi.

Sementara itu Beginer Subhan, Dosen Prodi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Institut Perikanan Bogor dan Kepala Laboratorium Selam Ilmiah IPB ini juga memulai pembahasannya dengan pengalaman kegagalan. Diperlihatkan hamparan substrat beton yang sudah ditransplantasi koral tidak mampu hidup. Hanya jadi hamparan beton di bawah laut.

Dari hasil pemetaannya, metode rehabilitasi terumbu karang di Indonesia yang sudah dilakukan sekitar 8 model yakni transplantasi karang, artifisial, biorock, reefball, ecoreef, rockpile, MARS, bioreeftek, dan artifisial patch reef (APR). “Makin banyak dikembangkan metode baru,” katanya.

baca juga : Memulihkan Ekonomi Nasional dari Ekosistem Terumbu Karang

 

Metode rehabilitasi terumbu karang yang dilakukan di Indonesia. Sumber : Beginer Subhan

 

Sejumlah hal yang menentukan metode itu adalah tujuan, lokasi, infrastruktur, dan sumberdaya manusia. Beberapa tujuan tersebut di antaranya atraksi wisata, koleksi, gabungan, dan kampanye. Namun ada sejumlah kendala yang sudah terpetakan di antaranya sedimentasi, kemiringan, kecepatan arus, dan infrastruktur. Salah satu faktor penting dari infrastruktur adalah kesediaan kebun bibit untuk bahan transplantasi.

“Dari pengalaman, untuk jangka panjang, tantangan lingkungannya seperti pemutihan dan sosial,” lanjut Subhan. Aksi tanggap darurat untuk kasus terumbu yang syok karena perubahan suhu sejauh ini belum terorganisir.

Upaya memantau pemutihan karang dilakukan salah satunya jika ada peringatan dari lembaga pemantauan cuaca dan kebijakan Amerika Serikat (The National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA), maka pihaknya baru mencatat dan mengumpulkan informasi. “Aksi belum ada, misal areanya harus ditutup sementara atau lainnya. Harusnya ada panduan tanggap darurat seperti smart monitoring,” sebutnya.

Sedangkan Ryannyka Dwi dari Yayasan LINI membagi pengalamannya melakukan monitoring ICRG di Buleleng. PEN ICRG ini ada di tujuh titik di antaranya Kaliasem, Tukadmungga, Les, dan Baktiseraga.

Tujuannya mengatasi dampak pandemi dengan mengajak warga membuat struktur. Struktur terbanyak yang dibuat di Buleleng adalah rotibuaya dan fishdome yang sudah dikembangkan LINI selama 13 tahun. Ada juga patung dan pipa besi.

Struktur ini menyediakan substrat bagi karang untuk tumbuh. Dari pemantauan, Pocilopora tumbuh alami setelah 6 bulan. Karang pioner alami muncul dari Acropora dan Pocilopora.

Rotibuaya menyediakan rumah ikan dan mencari ikan. Setelah tertanamnya struktur mulai menarik penyu untuk tinggal. “Sebelumnya sudah ada struktur tapi sulit menemukan penyu, kadang 1-2 kali dalam beberapa bulan. Karena ditumbuhi sponge dan soft coral, kini selalu menemukan penyu 2-3 ekor tiap menyelam,” kisahnya.

LINI membuat reef monitoring programme karena sudah ada kelompok pegiat lingkungan pesisir sebelum ICRG. Misalnya membuat citizen reef monitoring, warga melaporkan hal sederhana yang dilihat saat menyelam misal kematian karang, rekrutmen, indikator spesies, dan lainnya. Warga melaporkan di grup facebook disertai foto di petak-petak ICRG.

perlu dibaca : Pemulihan Terumbu Karang di Tengah Pandemi COVID-19

 

Transplantasi terumbu karang roti buaya setelah 13 tahun. Foto : Yayasan LINI

 

Aneka model dan strategi restorasi

Pippa Mansell dari Mars Sustainable Solutions yang mengembangkan struktur “reef star” seperti jaring laba-laba dari besi ini menyebutkan akan terus melanjutkan programnya di Indonesia. Salah satu area terluas yang mengimplementasikan desain ini. Saat ini sudah ada 13 site di empat negara.

Pariama Hutasoit dari Nusa Dua Reef Foundation (NDRF) adalah salah satu yang menerima dan mengelola pengaplikasian Mars ini. Selama 2016-2021, Mars “reef star” yang diturunkan sebanyak 5.913 dengan 73 ribu fragmen karang yang ditransplantasikan. Metode lain yang pernah dicoba adalah media campuran seperti patung, hexadome 229 unit, table dan rope 6 unit, dan program ICRG 750 patung Garuda Nusantara, Kecak, dan lainnya di perairan Nusa Penida dan Tanjung Benoa.

Terakhir, Pariama membagi pengalamannya menggunakan metode paku beton dan Eka dempul dengan 162 fragmen di Nusa Dua. Idenya berasal dari penyelam bernama Eka dari Tejakula, Buleleng, ia menggunakan semen langsung ditransplantasikan di karang mati.

Terkait monev ICRG, Pariama menyebut sudah ada survei monitoring ekologi dengan peneliti LIPI menindaklanjuti ICRG pada 2020 lalu. Sedang dilakukan pada Mei dan Agustus, dan tiap 3 bulan monitoring ekologi menganalisis 5 indikator.

NDRF didirikan pada 2010 oleh stakeholder pariwisata, seperti mantan direksi di BTDC (sekarang ITDC) untuk pemulihan terumbu karang setelah konferensi lingkungan global IPCC di Nusa Penida. “Banyak tekanan lingkungan karena sangat padat karena tempat wisata sampai Tanjung Benoa,” katanya.

Pun demikian, walau berlokasi di perairan resor berbintang nan mewah di Nusa Dua, menurutnya tak mudah meyakinkan kerjasama seperti tur edukasi. Capaian restorasi sejauh ini disebutkan sudah terpasang 7000 m2 ukuran struktur di luasan 8 hektar. Masyarakat lokal mulai terlibat termasuk turis untuk pembelajaran monitoring dan perawatan rutin. “Tantangan berat mengurangi antropogenik aktivitas manusia. Baru sebatas instal, perlu kebijakan pemerintah,” katanya.

Strategi lain adalah bekerja dengan operator pariwisata dan menghadapi perubahan iklim. Terutama menjaga karang yang hidup dulu. Pariama juga berharap memiliki ex-situ coral nursery untuk penelitian dan ketahanan iklim.

baca juga : Ribuan Struktur Karang ICRG Mulai Dipasang tetapi Terkendala Cuaca Buruk

 

Ilustrasi. Seorang penyelam sedang mengamati terumbu karang buatan yang ditanam di perairan Nusa Dua, Bali. Terumbu karang buatan ditanam sebagai usaha restorasi kawasan perairan Nusa Dua yang rusak karena penambangan terumbu karang. Foto : Nusa Dua Reef Foundation (NDRF)

 

Teknik restorasi karang lainnya diceritakan Nyoman Januarsa, Koordinator Program Biorock Indonesia. Ini adalah teknologi akresi mineral, menggunakan listrik tegangan rendah. Lokasinya di Kabupaten Buleleng (Pejarakan dan Pemuteran) dan Nusa Penida seluas 4 hektar melibatkan 500 warga pesisir.

Pencapaiannya sejauh ini disebutkan sudah support system, dukungan desa adat, dan pengusaha. Strateginya memberikan beasiswa ke 30 penerima untuk belajar dan terlibat ke model ini. Mereka dilibatkan di program restorasi, serta membuat reef community dengan kelas-kelas webinar.

Bram Bredore dari Bali Hai Cruise juga menginstal Mars di Nusa Lembongan pada Oktober 2017 seluas 400 m2 dengan 400 reef star.

Salah satu peserta webinar, Lumban N.L. Toruan dari Kupang, NTT berharap tiap lembaga atau usaha membagi pengalamannya secara detail saat melakukan restorasi karang.

“Menurut saya perlu dokumentasi video, baik tahapan sekaligus penjelasannya dari tiap metode restorasi pada setiap lembaga pelaku restorasi sehingga banyak pembelajaran yang bisa diperoleh masyarakat terutama di daerah-daerah yang jauh, susah pendanaan, apalagi kalau harus menerbangkan pakar/trainer ke lokasi, namun memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki ekosistem karangnya,” harapnya.

Sejumlah link video pun dibagikan misalnya pengalaman LINI  dan Beginner Subhan.

baca juga : Pentingnya Memilih Substrat dan Terumbu yang Tepat untuk Taman Laut Indonesia

 

contoh dukungan pemerintah untuk program terumbu karang ICRG. Foto : BPSPL Denpasar/Permana Yudiarso

 

I Made Sudarsana, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali yang membuka webinar ini mengatakan sebagian tutupan karang di Bali dalam kondisi sedang sampai buruk. Lainnya sedang sampai baik.

Permana Yudiarso, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar, bagian dari Dirjen Pengelolaan Ruang Laut KKP yang mewilayahi Jatim, Bali, NTB, dan NTT menambahkan, di Bali kini ada dua kawasan konservasi perairan (KKP), Nusa Penida dan KKP Maritim Teluk Benoa. Akan menyusul dua lagi, saat ini proses penetapan yakni KKP Karangasem dan Buleleng.

“Tidak semua terumbu karang dalam kondisi bagus, beberapa aktivitas merusak masih seperti spearfisihing, menggunakan racun, dan pencemaran karena aktivitas darat. Harus data dan temuan real time untuk merumuskan kebijakan,” katanya. Kerusakan karena pemutihan akibat perubahan suhu di permukaan laut, misal Tejakula, Singaraja. Sedimentasi menyebabkan penyakit karang seperti bulu seribu yang bisa merusak jika terlalu masif.

Ia mengajak terus mencari solusi karena perairan Bali utara dan selatan sangat dinamis, dilintasi arus lalu lintas Indonesia (Arlindo). Selain itu perlu basis data yang terintegrasi tentang kondisi karang, keanekaragaman, sebaran, dan pemanfaatan atau ancamannya.

 

 

Exit mobile version