Mongabay.co.id

Denisovan, DNA Manusia Purba Pertama Ditemukan di Kawasan Wallacea

 

 

 

Temuan baru. Denisovan, DNA manusia purba pertama ditemukan Kawasan Wallacea.  DNA ini terungkap berkat temuan kerangka tak utuh, di Teras Leang Paningnge, Kawasan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan pada 2015 di kedalaman 190 cm.

Adalah Bèssè, seorang perempuan yang diperkirakan meninggal rentang usia antara 17-18 tahun dengan rangka tertekuk berbaring, orientasi utara-selatan. Pada 2018, kerangka tak utuh itu diangkat dengan penuh kehati-hatian.

Setelah melewati proses penelitian, terungkaplah,  kalau ini merupakan temuan DNA manusia purba pertama di Kawasan Wallacea, khusus Sulawesi Selatan.

“Rasanya penuh semangat. Selama ini, pengangkatan rangka sangat jarang. Apalagi waktu itu kami sudah perkiraan usia 7.000 tahun lalu, karena asosiasi temuan alat batunya,” kata Basran Burhan, arkeolog yang terlibat dalam penelitian ini. Dia kandidat doktor untuk Geoarkeologi di Griffith University Australia.

Baginya, temuan rangka di Paningnge seperti mengisi sekrup atau celah masa lalu yang kosong. Ketika ekstrak DNA itu didapat, dan menampilkan beragam genetik, ini membuat Basran makin bergairah.

 

Bagian kepala (tengkorak) Besse di Leang Paningnge. Foto: Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

 

 

Dalam ekstrak itu ditemukan DNA manusia yang berasosiasi dengan budaya Hoabinian pada penggalian Laos dan Malaysia, yang berkembang pada 40.000-4.000 tahun lalu. Juga terdapat DNA Onge, suku pemburu pengumpul di Kepulauan Andaman, yang ada hingga kini.

“Jadi, manusia Paningnge ini berada di tengah. Dia memiliki DNA manusia pra-modern hingga manusia modern,” katanya.

Dalam beberapa publikasi Denisovan dianggap sebagai nenek moyang leluhur miterius manusia saat ini. Mereka berkembang di wilayah Siberia–saat ini Rusia –dan menyebar. Kerabat dekatnya dari pohon genetik adalah manusia Neanderthal yang berkembang di wilayah Eropa.

“Jika demikian, maka kemungkinan, percampuran atau pertemuan orang-orang ini berada di Kawasan Wallacea. Jika bicara pola migrasi manusia hingga ke Sahul (Papua dan Australia waktu masih satu daratan), pasti akan melewati Kawasan Wallacea dan Sulawesi jadi salah satu pulau terbesar dalam lingkupnya.”

 

Leang Paningnge. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Sejak 1950, ketika para arkeolog intens menelisik keberadaan gua-gua prasejarah dengan ratusan lukisan, tak pernah ditemukan rangka manusia pendukungnya. Rentang usia lukisan di Kawasan Maros-Pangkep yaitu 45.500-18.000 tahun lalu.

Periode lukisan dinding inilah yang memunculkan hipotesa bagi para arkolog. Karena babakan periode kebudayaan di Sulawesi Selatan, memunculkan masyarakat Toala–antara 8.500-1.500 tahun lalu, yang hingga saat ini belum ditemukan lukisan.

Kemudian, lukisan melompati dari periode Toala lalu muncul kembali pada periode Austronesia pada 4.000 tahun lalu. Ia memiliki tinggalan lukisan antara 1.600-1.400 tahun lalu, dengan ciri lukisan berwarna hitam.

Untuk temuan rangka Bèssè yang diketahui sebagai masyarakat Toala, terawetkan sejak 7.300–7.200 tahun lalu ini mulai memberi gambaran kecil. Apakah mungkin nenek moyangnya yang membuat lukisan dinding itu?

Mari melihat pelan-pelan temuan DNA di Kawasan Asia Tenggara dengan iklim tropis ini. Sebelum Bèssè, informasi genetik mengenai moyang misterius ini hanya dua kerangka dari Pha Faen di Laos, antara 7.939 – 7.751 tahun lalu. Gua Cha di Malaysia pada 4.400–4.200 tahun lalu.

 

Batu tempat temuan Denisovan, DNA manusia purba pertama kali yang ditemukan di Kawasan Wallacea, tepatnya di di teras Leang Paningnge, Kawasan Mallawa, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Foto: Universitas Hasanuddin Makassar

 

 

DNA ini diekstraksi dari tulang padat di belakang bagian telinga tengkorak, disebut petrous –tulang yang dalam bahasa latin disebut “berbatu.” Tulang keras ini yang memungkinkan dia bertahan. Terlebih, wilayah temuan dari tempat beriklim tropis yang panas dan lembab.

Sampel tulang itu dikirim ke Institut Max Planck, Jerman. Meskipun sebagian besar ekstraksi DNA terdegradasi dan dan sebagian besar tak dapat dipulihkan, sekitar 2% dapat diselamatkan.

Meski rendah, namun informasi itu cukup untuk menyelidiki nenek moyang manusia Sulawesi. Bèssè, juga berbagi susunan genetiknya dengan orang-orang asli Australia dan Papua, saat ini.

Saat ini, di Sulawesi,  sebagian besar memiliki kerabat langsung genetik dari era Neolitik, dimana mereka datang sekitar 4.000 tahun lalu. Mereka lakukan perjalanan panjang dari Tiongkok menuju Taiwan, lalu masuk di punggung Pulau Sulawesi–saat ini wilayah Kalumpang Sulawesi Barat.

Di Sulawesi Selatan, dalam pembabakan periode kebudayaan, para arkeolog menggunakan terminologi untuk masa prasejarah sebagai Toala. Budaya Toalean ini bercirikan dengan mata panah bergerigi (Maros point).

Selain itu, mikrolit dari alat batu. Kemudian, masyarakat pendatang adalah penutur Austronesia, yang sudah mengenal pertanian dan domestikasi hewan.

Basran mengatakan, menemukan rangka manusia di Kawasan Karst Maros-Pangkep sesuatu yang menakjubkan. Pada 2018, dia yang mengangkat kerangka itu.

 

Sebelum lima batu yang menindih rangka Besse, diangkat. Foto: Departemen Arkeologi Universitas Hasanuddin Makassar

 

Rumah purba yang rentan

Leang Paningnge atau dalam bahasa Bugis berarti kelelawar (panning) adalah gua dengan dua mulut besar. Secara adminitrasi gua ini berada di Desa Batu Pute, Kecamatan Mallawa, Maros.

Paningnge adalah gua raksasa, plafonnya berada di ketinggian dengan udara sejuk. Di depannya, ada tebing karst juga berderet cerukan gua. Di punggungan bukit ada tiga penginapan baru yang menjadi cikal bakal wisata.

Di punggung Leang Paningnge, adalah jalan utama penghubung desa antara Batu Pute menuju Wanua Waru. Kalau truk melintas, getaran terasa hingga dalam gua.

Gua ini juga tak terawat. Ada ratusan tulisan di dinding gua, baik dari arang, atau spidol oleh para pengunjung. Beberapa waktu lalu, gua ini dalam kampanye politik akan jadi lokasi wisata air. Dinas Pariwisata Maros, bahkan sudah menginisiasi model wisata guanya.

Irwan, warga lokal juga menjadi juru pelihara melalui BPCB Sulawesi Selatan, mengatakan, sebelum ada penelitian di gua, tempat itu jadi tempat anak-anak muda sebagai bersantai.

Pada awal 2000-an, badan gua yang besar disulap menjadi lapangan bulu tangkis, menggunakan penerangan lampu petromaks.

Secara umum, perlakuan situs bagi masyarakat awam adalah gua yang memiliki lukisan dinding. Leang Paningnge adalah gua yang tak memiliki lukisan, namun ada kotak keilmuan dalam lantai guanya.

Sedimen yang terendapkan dalam lingkungan Gua Paningnge tidak memiliki banyak perubahaan suhu secara ekstrem dan ini membantu proses preservasi DNA dengan baik.

Pada 22 Agustus 2021, ketika saya, Basran dan Fardi–arkeolog yang juga terlibat dalam penelitian–mengunjungi Paningnge, gua itu begitu nyaman. Sekitar 40 meter sebelah selatan, terdapat sungai yang saban waktu mengalir. Aliran sungai itu juga satu sistem hidrologi dari perut Paningnge.

Paningnge adalah rumah nyaman. “Betul sekali. Saya sepakat dengan itu. Sekarang saja rasanya kita betah berlama-lama di gua ini. Ada air yang dekat dan guanya tidak pengab,” kata Fardi.

Saya juga terperangah di lantai mulut gua, ratusan artefak batu tersebar. Tak susah menemukan mikrolit, alat serpih, mata panah, hingga lancipan tulang. Yang mengagumkan lagi, tersingkapnya tulang rahang manusia di permukaan.

Rahang itu, masih menampilkan gigi depan geraham yang masih menempel. Ketika Fardi, mencoba mengorek dengan kayu kecil, dan membuka sedikit selubung tanah tampilan rahang makin jelas.

“Ini tulang manusia,” katanya.

Irwan, hampir saban waktu menjadi penjaga Gua Paningnge dan selalu menyapu lantai gua itu, juga keheranan. “Saya nda tahu kalau itu tulang. Ini baru saya lihat juga.”

Tulang itu, dibiarkan saja, dilindungi dengan batuan di sekelilingnya agar hujan dari mulut gua tak menggerusnya.

 

Pemandangan di dalam Leang Paningnge. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 


 

 

Exit mobile version