Mongabay.co.id

Mencari Formula Tepat untuk Tata Kelola Perikanan Demersal

 

Penerapan ekonomi biru menjadi prinsip penting yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia saat ini. Prinsip tersebut akan menjadi landasan pengelolaan sumber daya perikanan tangkap di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Dalam melaksanakan prinsip ekonomi biru, akan terjadi penerapan efisiensi sumber daya alam (SDA) dan bukan sebaliknya, dilakukan eksploitasi SDA yang bisa mengancam ekosistem laut. Kemudian, akan terjadi keseimbangan nilai ekonomi dan sosial, bukan semata fokus pada keuntungan saja.

Melalui penerapan prinsip ekonomi biru, Direktur Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (DJPT KKP) Muhammad Zaini menyebutkan bahwa segala aktivitas akan berjalan dengan prinsip ramah lingkungan dan berkelanjutan, serta menghindari kerusakan ekologi.

Pentingnya melaksanakan prinsip ekonomi biru, karena itu bisa menjaga aspek utama yang ada dalam praktik perikanan tangkap yang mencakup biologi, lingkungan, ekonomi, dan sosial. Untuk biologi saja, semua pihak harus bisa sama-sama menjaga sumber daya ikan (SDI) bisa terus ada untuk keberlanjutan produktivitasnya.

“Dengan memperhatikan aspek utama, maka lingkungan juga akan fokus untuk bisa dijaga. Itu bisa meminimalkan dampak penangkapan ikan terhadap lingkungan dan SDI, termasuk untuk spesies non target dan spesies yang dilindung,” ungkap dia dalam webinar nasional tentang tata kelola perikanan berkelanjutan, Selasa (25/8/2021).

Kemudian, melalui aspek ekonomi, laut bisa menghasilkan keuntungan ekonomi yang optimal bagi pelaku usaha dan masyarakat, dan juga menghasilkan penerimaan yang optimal dan berkelanjutan bagi negara.

Terakhir, dengan memperhatikan aspek sosial, maka itu akan mewujudkan peluang kerja/mata pencaharian bagi nelayan dan masyarakat, menjaga harmoni antar pemangku kepentingan, serta mendukung pertahanan dan keamanan negara.

Jika itu bisa diwujudkan, maka proses berikutnya yang akan terjadi adalah terciptanya model bisnis yang ideal dan efisien, dengan fokus pada penangkapan ikan yang ramah lingkungan, pengembangan pelabuhan perikanan berwawasan lingkungan (eco port), dan pengolahan limbah.

Menurut Muhammad Zaini, dengan menerapkan prinsip ekonomi biru yang dilandasi aspek utama perikanan tangkap, maka itu bisa mendorong terwujudnya aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan dengan terukur dan berkelanjutan.

Penangkapan terukur sendiri tidak lain adalah optimalisasi pemanfaatan SDI secara terukur dari hulu sampai dengan hilir sesuai daya dukungnya. Dalam melaksanakan kebijakan penangkapan terukur dan berkelanjutan, WPPNRI bisa menjadi basis pengelolaan.

Dengan melaksanakan penangkapan terukur, maka angka produksi akan terukur dan itu berarti ketahanan pangan akan terwujud; terukurnya nilai produksi dan efek pengganda (multiplier effect), yang berarti itu akan mewujudkan ketahanan ekonomi.

Kemudian, penangkapan terukur juga akan memicu terjadinya batasan penangkapan yang terukur, dan itu artinya kegiatan tersebut sudah mewujudkan ketahanan ekosistem di laut. Terakhir, penangkapan terukur akan mewujudkan peningkatan pendapatan nelayan, yang berarti akan mewujudkan ketahanan sosial ekonomi nelayan.

Dalam melaksanakan kebijakan penangkapan terukur berbasis WPPNRI, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh para pihak terkait. Di antaranya adalah jumlah tangkapan per tahun; jumlah kapal yang beroperasi; alat penangkapan ikan (API); pendaratan hasil tangkapan; pelabuhan; anak buah kapal (ABK); dan suplai ke pasar domestik.

Jika persyaratan tersebut bisa dipenuhi, maka selanjutnya aktivitas penangkapan ikan bisa dilaksanakan secara terukur dan berkelanjutan di WPPNRI yang berkaitan. Karenanya, untuk mendukung kebijakan tersebut, ada rencana implementasi konsep penangkapan ikan terukur di WPPNRI.

baca : Seberapa Banyak Potensi Stok Ikan di Perairan Selat Malaka?

 

Hasil tangkapan ikan di pasar Aceh. Hingga saat ini sebagian nelayan masih menggunakan perhitungan keuneunong meski sudah ada alat bantu kompas dan GPS. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Zona Penangkapan

Muhamamd Zaini memaparkan, konsep tersebut terbagi ke dalam tiga zona, yaitu zona penangkapan ikan terukur untuk industri yang direncanakan bisa dilaksanakan di WPPNRI 711 yang meliputi perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara.

Kemudian, bisa juga dilaksanakan di WPPNRI 572 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda; dan WPPNRI 573 yang meliputi perairan Samudera Hindia sebelah Selatan Jawa hingga sebelah Selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat.

Lalu, ada juga WPPNRI 716 yang meliputi perairan Laut Sulawesi dan sebelah Utara Pulau Halmahera; dan WPPNRI 717 yang meliputi perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik. Sementara, untuk zona wilayah terbatas dan lokasi pembibitan (nursery ground) itu ada di WPPNRI 714 yang meliputi perairan Teluk Tolo dan Laut Banda.

“Di wilayah ini, ada pembatasan aturan, yaitu nelayan tradisional yang bisa menangkap ikan di kisaran antara satu hingga 12 mil. Juga, kapal ikan yang digunakan maksimal berukuran sepuluh GT (gros ton),” terang dia.

Sementara, untuk zona ketiga adalah zona bebas untuk nelayan lokal dan berlaku di WPPNRI 571 yang meliputi perairan Selat Malaka dan Laut Andaman; WPPNRI 712 yang meliputi perairan Laut Jawa; serta WPPNRI 713 yang meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali.

Di antara komoditas yang dipersiapkan untuk bisa mengikuti kebijakan penangkapan ikan dengan terukur, adalah perikanan kakap dan kerapu (snapper and grouper). Untuk itu, harus ada strategi pemanenan (harvest strategy/HS) untuk perikanan tersebut.

Di dalam strategi tersebut, mencakup penerapan regulasi melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 jo. UU No.11/2021 tentang Cipta Kerja Pasal 1 ayat (7); amanat penyusunan rencana pengelolaan perikanan (RPP) yang tertuang dalam UU No.11/2021 Pasal 7 Ayat (1) huruf a; dan terakhir adalah penyusunan dokumen HS perikanan kakap dan kerapu.

Menurut Muhammad Zaini, penyusunan dokumen HS Kakap dan Kerapu akan menjadi pendukung operasional untuk implementasi RPP Kakap dan Kerapu. Dokumen tersebut di dalamnya harus mencakup petunjuk teknis yang detail dan disusun langsung oleh KKP.

Adapun, HS adalah komponen penting dari kerangka pengelolaan perikanan yang lebih luas di dalam RPP; berfungsi sebagai pelengkap operasional bagi sebuah RPP; dan menjadi basis dari siklus pengelolaan yang adaptif.

“(Juga) menyediakan pendekatan yang formal dan konsisten bagi proses pengambilan keputusan pengelolaan,” sebut dia.

Lebih rinci, strategi pengelolaan kakap dan kerapu yang terukur dan berkelanjutan dijelaskan Muhammad Zaini. Menurut dia, implementasi penangkapan ikan terukur harus dilakukan mulai dari penetapan alokasi/kuota tangkapan, rencana pengelolaan, hingga pelaksanaan.

Kemudian, harus ada perbaikan data, monitoring dan pelaporan, termasuk di dalamnya adalah penguatan sistem satu data KKP, penguatan implementasi log book penangkapan ikan dan observer, serta implementasi timbangan dalam jaringan (online) di pelabuhan perikanan.

Strategi berikutnya adalah bagaimana mendorong konservasi bagi habitat yang sedang kritis bisa dilakukan; melaksanakan inisiasi program mengisi kembali (restocking) ikan kakap dan kerapu; dan meningkatkan partisipasi para pemangku kepentingan yang ada.

Selain itu, ada juga strategi peningkatan kepatuhan, kepedulian, dan komitmen pelaku usaha untuk pengelolaan kakap dan kerapu yang terukur dan berkelanjutan. Itu diwujudkan dengan tidak menangkap ikan kakap dan kerapu yang ukurannya tidak layak diperdagangkan, mengurangi tangkapan tidak sengaja (by catch) hiu yang dilindungi, dan yang lainnya.

“(Juga) dukungan pemberdayaan nelayan seperti asuransi nelayan, fasilitasi permodalan, dan kelembagaan usaha,” tegas dia.

Perlunya strategi melaksanakan penangkapan ikan kakap dan kerapu secara terukur dan berkelanjutan, tidak lain karena perikanan tersebut sudah terbukti memberikan lapangan pekerjaan dan ketahanan pangan. Hal tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif Asosiasi Demersal Indonesia M. Mukhlis Kamal.

Dari data yang dirilis Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2021, dia menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara pemasok kerapu terbesar di dunia dengan prosentase mencapai 30 persen. Dalam setahun, Indonesia mampu memproduksi kerapu hingga 115.805 ton.

Pada 2018 contohnya, kinerja ekspor Indonesia berhasil mencapai nilai USD41,4 juta, dengan produksi nasional sebesar 180.755,70 ton, serta dengan kenaikan rerata 11,4 persen per tahun selama periode 2010-2018.

“Selain itu, jumlah spesies kakap dan kerapu juga terbanyak di dunia. Bahkan, Indonesia berkontribusi sekitar 45 persen pasokan ikan kakap yang diperdagangkan di dunia,” ungkap dia.

Rinciannya, SDI kakap dan kerapu menyebar di seluruh WPPNRI, dengan sentra produksi kakap ada di WPNRI 712 yang meliputi perairan Laut Jawa; dan WPPNRI 718 yang meliputi perairan Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur.

Sementara, untuk sentra produksi kerapu ada di WPPNRI 713 yang meliputi perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali; dan WPPNRI 715 yang meliputi perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau.

“Produksi kakap dan kerapu tersebut dilakukan dengan menggunakan API rawai dasar dan pancing ulur,” jelas dia.

perlu dibaca : Memanfaatkan Laut, Berarti Menjaga Laut Tetap Berkelanjutan

 

Ikan seperti jenis kerapu hasil tangkapan nelayan di Teluk Saleh, Kabupaten Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat, pada awal Agustus 2017. Potensi Perikanan di NTB sangat besar, terutama ikan karang. Tetapi kondisinya ikan makin sedikit, tangkapan ikan berkurang dan habitat rusak karena praktek perikanan yang merusak. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

 

Tantangan Pengelolaan

Meski berkontribusi penting bagi perekonomian Indonesia, pengelolaan perikanan kakap dan kerapu masih menghadapi tantangan sampai saat ini. Di antaranya, adalah bagaimana mewujudkan akurasi data yang bermanfaat bagi pengelolaan berbasis WPPNRI dan perikanan yang presisi.

Akurasi data yang dimaksud adalah tentang parameter yang jelas, instrumen kuat, dan intervensi manajemen, yang didapatkan dari data tangkapan, registrasi kapal, API, by catch, regulasi yang berlaku, dan hal lainnya.

Tantangan lainnya adalah yang bersifat natural dari SDI kakap dan kerapu, misalnya pertumbuhan yang lambat, ketergantungan kepada habitat karang yang ancamannya dari waktu ke waktu semakin tinggi, serta budaya konsumen yang terus berubah.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Riset dan Sumber daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM KP) KKP Kusdiantoro pada kesempatan yang sama menjelaskan bahwa sumber daya ikan demersal adalah salah satu sumber daya ikan yang mempunyai nilai ekonomi, utamanya adalah kakap dan kerapu.

Kemudian, armada perikanan demersal hingga saat ini didominasi oleh nelayan skala kecil yang pendataan produksinya perlu diperluas pada titik-titik di lokasi pendaratan yang berada di luar pelabuhan perikanan.

Adapun, pendataan total hasil tangkapan dilakukan di sentra-sentra pendaratan ikan, dengan membuat deskripsi armada dan API, operasional penangkapan, dan aspek biologi yang dilakukan untuk mengetahui status stok ikan demersal.

“Kerangka pengelolaan sumber daya perikanan demersal secara berkelanjutan dilakukan melalui penyediaan data dan informasi ilmiah. Karenanya, pengumpulan data perlu dilakukan melalui penguatan jejaring pendataan dengan berbagai pemangku kepentingan,” papar dia.

Cara yang dilakukan oleh BRSDM KP selama ini untuk memenuhi semua kebutuhan di atas, adalah dengan menerapkan sistem elektronik berbasis pendaratan ikan (e-BRPL) yang berfungsi sebagai salah satu cara pengumpulan data untuk keperluan pengkajian stok ikan.

Di sisi lain, Kusdiantoro mengingatkan kepada semua pihak bahwa pengumpulan data hasil tangkapan ikan demersal, khususnya kakap dan kerapu, tidak hanya harus dilakukan oleh Pemerintah saja. Namun juga, diperlukan keterlibatan para pihak lainnya melalui mekanisme pengumpulan data secara bersama-sama/berkolaborasi dan bersinergi.

“Sehingga refresentatif data yang diperoleh lebih baik,” tegas dia.

Selain itu, diperlukan juga pemantauan pendaratan yang efektif pada aspek operasional penangkapan, dengan tujuan untuk menjaga keberlanjutan beberapa jenis ikan kerapu dan kakap. Proses tersebut juga harus melibatkan para pihak terkait agar bisa mewujudkan aktivitas perikanan yang berkelanjutan.

 

Exit mobile version