Mongabay.co.id

Menjaga Benteng Terakhir Maluku dengan Tata Kelola Perikanan Berbasis Adat

 

Maluku merupakan provinsi di Indonesia yang masih memegang kuat kearifan lokal dan pranata adat yang dipakai untuk melindungi hutan dan laut. Seperti sasi atau pelarangan, yang hingga kini masih terjaga, terkemas rapi dan turun temurun.

Di Maluku sendiri, sasi diartikan sebagai sebuah hukum pelarangan yang fungsinya membatasi masyarakat agar tidak mengambil sumber daya laut dan hutan secara sembarangan. Karena bagi masyarakat adat Maluku, laut dan hutan merupakan wilayah primer yang harus dijaga keasriannya.

Pendapat sebagian kalangan, laut dan hutan di Timur Indonesia, khusus Papua, Maluku dan Maluku Utara, adalah Benteng Terakhir. Karena itu, khalayak adat di wilayah Seribu Pulau (julukan Maluku) ini terus merawatnya. Tentu dengan mempertegas norma-norma atau hukum adat mereka.

Oleh karena itu Forum Kahedupa Toundani (FORKANI) Sulawesi Tenggara dan Baileo Maluku mendatangi sejumlah negeri adat di Provinsi Maluku melakukan Anjangsana Mitra untuk menggali dan memperkuat sumber pengetahuan terkait tata kelola perikanan berbasis adat, pada 2021 lalu.

Sejumlah negeri adat yang didatangi yakni, Haruku, Ameth dan Akoon, Kabupaten Maluku Tengah. Di sana, Anjangsana, FORKANI dan Baileo Maluku bertatap muka dengan tua-tua adat maupun perangkat negeri, seperti Saniri, Kepala Soa, dan Raja (Pimpinan Negeri).

 

Belajar bersama

Jeferson Tasi, Program Manager Baileo Maluku mengatakan, kegiatan Anjangsana mitra ini sangat penting untuk membantu pemahaman dan pengenalan lebih jauh tentang konteks lokal serta realitas sosial. Jadi ini adalah proses belajar dari pengalaman, bertukar pikiran antar masyarakat, organisasi dan komunitas berbeda.

“Jaringan kemitraan yang dibangun ini menjadi satu hal penting dan strategis ke depan dalam konteks pembelajaran bersama terkait isu-isu yang dikerjakan oleh masing-msing mitra dengan tujuan yang sama,” ujar dia.

baca : Ini Tantangan Pelestarian Biodiversitas di Laut Maluku Setelah Penetapan Kawasan Konservasi

 

– Anjangsana Mitra, FORKANI dan Baileo Maluku, tatap muka bersama perangkat adat Negeri Akoon, Kecamatan Nusa Laut, Maluku Tengah, di Baileo (Rumah Adat), Kamis (24/6/2021). Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay

 

Sisi lain, Mursiaty, Forkani Wakatobi mengatakan, kunjungan mereka ke Maluku, khususnya Negeri (Desa) Haruku dan bertemu dengan Kewang (Penjaga laut dan darat), guna mengetahui sejauh mana peran masyarakat adat dalam melindungi hutan dan lautnya.

“Kami juga berbagi cerita tentang bagaimana masyarakat adat di Haruku menjalankan sasi ikan lompa. Jadi kami bertatap muka dengan raja-raja dan saniri. Kami ingin melihat bagaimana sasi itu bertahan dari tahun ke tahun dan diwarisi oleh orang tua ke generasi muda,” ujarnya.

Sementara di Negeri Akoon dan Nusa Laut, katanya, mereka juga berbagi pengalaman dengan raja-raja dan saniri tentang bagaimana mereka mendapat dukungan pemerintah daerah dalam menjalankan hukum adatnya, serta bagaimana masyarakat adat itu patuh terhadap aturan adat mereka.

Dia mengaku, ihwal paling berkesan dari kegiatan Anjangsana Mitra adalah kekuatan masyarakat adat di setiap tempat yang disinggahi.

“Setiap tempat yang disinggahi, kami bertanya jika bisa memilih, apakah hidup dalam undang-undang Negara atau adat istiadat? Mereka menjawab, lebih baik adat istiadat. Karena kami bisa mengatur sumber daya alam dan mengambil keputusan dalam negeri sendiri secara adat dan kekeluargaan,” katanya.

Sementara Laode Saidin, Peserta Wakatobi, salut dengan Pemerintah Daerah di Maluku. Sisi lain dia juga mengaku terkesan, pasalnya dengan Peraturan Kepala Desa saja, warga sudah taat terhadap segala aturan adat, yang dibuat untuk melindungi laut dan hutan mereka.

Kegiatan yang diikuti ini dinilai sangat bermanfaat bagi masyarakat adat Barata Kahidupa. Dimana, masyarakatnya sangat antusias dan mau menerapkan sistem adat untuk mengatur berbagai kegiatan, baik di pembangunan maupun sosial kemasyarakatan.

“Yang paling berkesan dan membuat saya salut adalah pemerintah daerah. Dimana dengan hanya keputusan raja saja, sudah bisa membuat Perda,” katanya.

baca juga : Bentuk Kewang Muda, Misi EcoNusa Bentengi Hutan dan Laut Maluku

 

– Anjangsana Mitra, FORKANI dan Baileo Maluku, berdiskusi bersama Kepala Kewang dan Pemangku Adat Negeri Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Selasa (22/6/2021). Foto: Nurdin Tubaka/ Mongabay

 

La Beloro, Tua Adat Wakatobi mengatakan, secara kebijakan, di Barata Kahidupa, ada bentuk pengakuan pemerintah melalui Peraturan Gubernur. Namun pengakuan tersebut belum jalan sesuai keinginan masyarakat hukum adat di sana. Misalnya, penerapan aturan-aturan adat dalam pengelolaan sumber daya alam, baik di darat maupun laut.

“Daerah kami juga seperti di Maluku. Dimana wilayah adat itu adalah darat dan laut. Jadi di sana seperti itu, kalau di Maluku kan sudah sangat nyata berjalan dengan pendekatan system negeri,” ujarnya.

Sementara di Wakatobi, katanya, kadang satu wilayah adat itu lebih dari satu desa. Sehingga itu, kelembagaan adat di sana perlu diperkuat lagi dalam membangun eksistensi aturan adat di wliayah adat masing-masing.

Dia mengaku, di Wakatobi juga punya bentuk larangan atau sasi, tapi sistem itu namanya Namonosara. Namonosara ini adalah sebuah laguna (buka-tutup) yang diperuntukkan bagi kebutuhan-kebutuhan adat. Namun sekian tahun ini tidak diterapkan lagi, sehingga masyarakat di sana mencoba lewat pendekatan program, mereplikasi bersama adat di isu perikanan gurita.

Menurutnya, dari semua proses di Maluku yang sangat berkesan adalah pewarisan nilai-nilai adat, karena tidak saja dimiliki oleh pemangaku adat, tapi juga generasi yang lebih muda. Sehingga hampir setiap elemen masyarakat itu paham bahwa aktivitas mereka itu tunduk dan patuh pada aturan adat.

“Saya kira inilah yang menjadi kekuatan besar bagi masyarakat Maluku. Yang kedua karena wilayah adatnya adalah komunitas kecil dan menjadi otonom, sehingga masing-masing negeri bisa menerapkan adat bagi masyarakatnya. Nah konteks ini berbeda dengan kita di Wakatobi yang daerahnya sangat luas,” ungkapnya.

“Saya kira kedaulatan rakyat dalam mengelola dan menghidupi kehidupan mereka itu benar-benar berjalan di sini (Maluku),” katanya.

baca juga : Berani Sukses Kelola Gurita Seperti Nelayan Wakatobi

 

Ilustrasi, Masyarakat adat Darawa, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, melakukan pengelolaan wilayah tangkap gurita dengan model buka tutup kawasan sementara selama tiga bulan. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Menyinggung regulasi pemerintah ihwal peraturan kementerian, dia menyebut, di Wakatobi itu ada Kawasan Taman Nasional yang dikelola oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Namun kementerian ini tidak saja mengurus hutan, mereka juga mengurus laut, sehingga bagi masyarakat di sana tidak berhubungan. Mestinya, diserahkan ke Kementerian Kelautan dan Perikanan.

“Menurut saya, jika konservasi yang didorong oleh Negara tanpa melihat sejauh mana kedaulatan masyarakat adat atau masyarakat lokal dalam mengisi model pengelolaan, maka tidak akan pernah berjalan baik,” katanya.

 

Gurita Jadi Tangkapan Unggulan

Saat ini Pemerintah Negeri Akoon, Kecamatan Nusa Laut, Kabupaten Maluku Tengah, berencana menjadikan gurita (Octopus cyanea) sebagai salah satu hasil laut unggulan di daerah mereka. Terkait rencana ini, pemerintah negeri setempat kini telah merintis peraturan negerinya (Perneg).

Melkianus Wattimena, Ketua Saniri Akoon mengatakan, ada beberapa hasil laut yang menjadi unggulan, diantaranya, lola, teripang, lobster, rumput laut dan gurita. Ini adalah lima komoditi terbesar di Negeri Akoon.

“Ikan juga banyak, tapi 5 komoditi merupakan yang terbesar. Kita sementara merintis agar peraturan tersebut segera jalan. Gurita juga akan kita atur khusus agar menjadi satu sumber daya laut yang berguna bagi masyarakat,” katanya.

Selain Perneg, masyarakat di sana juga punya kewang darat dan laut yang disiapkan untuk menjaga sumber daya alam. Jadi, akan dibuat sasi agar masyarakat bisa menikmati berbagai hasil laut maupun darat.

Menurut Anjangsana, gurita merupakan sumber daya perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Pada masyarakat pesisir di berbagai daerah di Indonesia, penangkapan gurita banyak dilakukan nelayan tradisional dan skala kecil. Gurita menjadi salah satu komoditas unggulan ekspor produk perikanan Indonesia.

perlu dibaca : Melihat Kesuksesan Sasi Gurita di Minahasa Utara

 

Ilustrasi. Dedy, seorang nelayan tradisional penangkap gurita di perairan Pulau Siau, Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro. Sulut. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

 

Meningkatnya permintaan gurita, terutama Octopus cyanea untuk ekspor ke Eropa dan Amerika, telah menjadikannya produk bernilai tinggi dan tekanan penangkapan meningkat.

Kerentanan Octopus cyanea rendah terhadap tekanan penangkapan, karena produktivitas kesuburannya tinggi, cepat dewasa, dan usia yang relatif singkat dengan pertumbuhan yang cepat. Namun, perilaku migrasi dan lonjakan pemijahan dapat membuat Octopus cyanea rentan terhadap penangkapan secara berlebihan.

Perikanan gurita memiliki ruang untuk pengelolaan ekonomi lokal berbasis masyarakat khususnya di sekitar kawasan konservasi perairan. Praktik pengelolaan sederhana yang efektif menggunakan prinsip konservasi tersebut, dapat memungkinkan stok gurita pulih dalam menjaga produksi jangka panjang.

 

Exit mobile version