Mongabay.co.id

Lestarikan Kain Sasirangan Pewarna Alami Sekaligus Jaga Gambut

M Redho, dengan karyanya, kain sasirangan pewarna alami . Foto: Rahim/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Muhammad Redho, seorang perajin sasirangan, kain khas atau tradisional Orang Banjar, khusus pewarnaan alami. Lebih 10 tahun sudah dia menekuni kerajinan ini. Redho pun tak pelit berbagi ilmu soal kain pewarna alami. Dia kerap jadi pelatih di berbagai daerah, termasuk kepada mereka yang tinggal di lahan gambut. Dengan lebih mengenal tanaman gambut yang bisa jadi pewarna alami, warga bisa memanfaatkan sekaligus menjaga gambut dan tanamannya.

Rumah Redho di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, merupakan ‘bengkel’ karyanya. Bagian depan rumah ini, yang berupa rumah Bubungan Tinggi, ada tempat produksi kain sasirangan. Ruangan berukuran 6×8 ini, berisi beragam bahan dan alat membuat kain khas atau tradisional masyarakat Banjar ini.

Hari itu, Redho tengah mengaduk potongan kayu dari tumbuhan alam di atas panci stainless berbentuk cekung. Air tengah mendidih.

Demi menghasilkan warna bagus, dia menunggu rebusan potongan kayu kecil itu selama dua jam lebih. Rebusan ini hasilkan dua warna: kuning dari kunyit dan oranye dari buah gincu (Mangifera indica).

Harga buah gincu per kilogram sekitar Rp200.000, hasilkan empat liter. Dia juga menjual pewarna alam itu kepada pegiat kain sasirangan lain, per botol ukuran kecil Rp10.000 dan Rp35.000 ribu ukuran besar. Di botol tertulis, orenala ND (natural dye), yang dipasarkan anaknya, Sholehah Muhammad.

Kalau buat pakai sendiri, dari pewarna alam sebanyak itu, bisa bikin kain sasirangan lebih 10 lembar. “Biasa dijual mulai Rp150.000-Rp700.000. Makin rumit motif, makin mahal.”

Bahan yang digunakan kain berjenis katun. Kain ini diminati orang luar pulau hingga mancanegara, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris.

Tempat kerajinan Redho bernama Assalam, kepanjangan dari ‘aku suka sasirangan warna alam.’ Rumah adat Banjar itu juga khusus tempat pelatihan membuat kain sasirangan.

“Secara makna nama, ia berarti sumber kesejahteraan hidup, pemberi kesejahteraan atau keselamatan,” katanya kepada Mongabay, awal Agustus lalu.

Dia bilang, merintis bisnis kain sasirangan pewarna alam sejak 2009. Selama ini, guru sekolah dasar itu membesarkan usaha Assalam bersama anaknya, Ibnu Katsier.

Sembari sebagai perajin dan pelatih kain sasirangan, mereka berdua sama-sama sebagai guru.

Dia belajar kerajinan kain sasirangan sejak 1992-an dan dua temannya, Ida Fitria dan Suparwino. “Akhirnya, hingga sekarang menekuni bisnis kain sasirangan pewarna alam ini,” kata Redho.

 

Salah stau bahan pewarna alami dari kulit kayu. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Redho memilih gunakan kain pewarna alami karena lebih ramah lingkungan hidup. Limbah pewarna sintetis, katanya, berbahaya karena mengandung zat karsinogenik.

Pemerintah Indonesia, katanya, juga sudah ratifikasi Konferensi Geneva pada 1995 yang melarang penggunaan zat warna kimia.

“Kalau naphthol itu bisa menyebabkan kanker dan merusak lingkungan. Maka pewarna alam dihidupkan kembali dan mengedepankan bisnis berwawasan lingkungan.”

Untuk pewarna alami itu, dia ambil dari bahan-bahan alam di sekitar yang tumbuh dan berkembang di alam antara lain kayu ulin, daun jati, daun ketapang, daun kesemak, kunyit, kulit rambutan, gincu, mangga, jalawe, tiwadak banyu, tanaman indigofera dan lain-lain.

Sebagian tanaman itu diambil dari petani di Desa Pengaron seperti kayu sapang, tegeran, ulin hingga kulit bakau.

Redho membeli dari petani guna memberdayakan ekonomi alam di Kalimantan Selatan. Hanya, tanaman jalawe dari Pulau Jawa.

Dia juga menanam bahan-bahan tumbuhan di rumah. Ada pohon tin. Daun-daun tanaman ini, katanya, juga Redho memanfaatkan sebagai motif kain sasirangan.

“Perajin cukup banyak di Banjarmasin, seperti Aman Sasirangan, Bekantan Sasirangan dan lain-lain.. Sebagian ada juga pegiat lain yang mencampurkan dengan bahan zat sintetis.”

Niat Redho membuat kain Sasirangan ini, untuk melestarikan budaya Banjar yang hampir luntur dengan tetap menjaga lingkungan hidup.

 

Pewarna alami yang dipakai Redho untuk mewarnai kain sasirangan. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Pandemi

Pada masa pandemi COVID-19, selain kain, Redho juga membuat masker berbahan kain sasirangan rajut pewarna alam ini dengan beragam mofif. Permintaan kain sasaringan, berkurang masa pandemi.

“Perlu ada siasat mempertahankan dan melestarikan kain sasirangan pewarna alam ini lewat inovasi berupa masker,” katanya.

Berkat kepiawaiannya, Redho pun diminta melatih bikin kain sasirangan pewarna alam dalam program Badan Restorasi Gambut (BRG) Result Enabling Facillty-CRISP.

“Pelatihan pembuatan masker untuk kelompok perempuan, saya pernah melatih di Palembang dan Riau.”

Dari hasil kerja keras melestarikan dan memberdayakan lingkungan, Redho pernah mendapatkan penghargaan dari Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kota Banjarmasin, TVRI Kalimantan Selatan dan Radio Smart FM.

 

Jaga gambut

Perajin lainnya, Laila Hayati, Sekretaris Umum Aneka Karya Sasirangan, yang ikut pelatihan kain sasirangan pewarna alam Redho.

Kelompok ini bikin kerajinan di Kios Kelompok Usaha Bersama (Kube) Penjahit Teluk Karya di Kabupaten Balangan. Tempat ini sekaligus lokasi pelatihan anak muda yang tergabung dalam Kelompok Aneka Karya Sasirangan. Pelatihan ini inisiasi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Kabupaten Balangan.

Mulanya, gagasan bikin pewarna alam ini tercetus sekitar Juni 2020. Sebelumnya, Kube Penjahit Teluk Karya ini merajut kain sasirangan yang masih belum diwarnai, terdiri dari menjelujur, menyisit hingga merapikan tali-tali benang.

Laila mengisahkan, awalnya tak paham soal lahan gambut di Desa Teluk Karya, Kecamatan Lampihong, Balangan.

“Dulu, merasa biasa-biasa aja, tidak peduli lingkungan di desa ini. Lahan masyarakat desa kami gunakan sebagai tempat mencari nafkah. Tanpa kami sadari, sedikit demi sedikit makin rusak,” katanya.

Setelah Laila mengikuti pelatihan kain sasirangan pewarna alam ini, sekaligus mendapatkan pemahaman soal gambut. “Mengingatkan juga, lahan yang digunakan bercocok tanam mulai rusak.”

Mulailah Laila bdan kelompoknya  melihat tanaman-tanaman gambut yang bisa jadi pewarna alam.

Di lahan seluas 111,90 hektar di Desa Teluk Karya, Kecamatan Lampihong, mereka dapatkan dan kenalkan sejumlah tanaman sebagai bahan baku pewarna alami kain khas sasirangan. Dengan jadi pewarna alam, tanaman di lahan gambut pun jadi lebih terjaga. Tanaman gambut terawat sekaligus menjaga keberlanjutan pasokan bahan pewarna alami.

 

Tanaman di lahan gambut ini bermanfaat untuk pewarna alami kain sasirangan. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Salah satu pewarna alami di lahan gambut adalah pohon bangkal, yang tumbuh liar. “Kami cukup mudah mendapatkannya sebagai pewarna alam.”

Kulit batang pohon bangkal berwarna kecoklatan dan bagian dalam berwarna krem. Ketika direbus dan proses menjadi pasta, mereka akan mendapat warna kuning.

Laila bilang, tanaman khas gambut lain, seperti galam juga bisa jadi pewarna alami.

Bahan lain, katanya, dipasok dari luar daerah seperti Jawa dan sekitar yang mereka beli online. Setelah dapatkan bahan, mereka proses pewarna alam itu jadi tekstur pada bagian kain sasirangan.

“Biasa itu satu lembar kain lima liter. Kita kasih beberapa kali warna hingga cerah. Hasil jelujurnya juga mesti harus teliti. Upah-upah para menjelujur itu kami tinggikan lagi,” kata Laila.

Upah dinilai dari segi kerumitan kain sasirangan yang mereka buat, mulai dari segi jelujur, motif serta warna.

Meldha, dari Aneka Karya Sasirangan juga ikut pelatihan. Dia mengerjakan jelujur kain sasirangan sesuai permintaan, “Tergantung motif, misal sedikit, cuma Rp10.000. Kalau motif banyak, Rp15.000. Kalau permintaan full, bisa Rp50.000-Rp100.000.”

Dia kadang memilih daun-daun kering di hutan sebagai motif kain. Sebagian orang yang belum tahu merasa aneh dengan yang dilakukan Medha.

Dia bilang, kegiatan ini membawa manfaat besar. Selain mendorong perekonomian remaja, kerajinan ini sekaligus merawat tanaman gambut yang tumbuh liar di Desa Teluk Karya.

Tak semata mencari penghasilan, kata Meldha, Kelompok Aneka Karya Sasirangan ini mencari pengalaman lebih agar dapat bersaing di luar sana.

“Sembari menjual produk juga teman-teman di sini melatih ibu-ibu di desa sebelah, sudah tiga kali kita memberikan pelatihan,” katanya, sembari sebutkan di Desa Tatakan, Bajang dan Batu Mandi.

 

Kelompok Usaha Bersama (Kube) Penjahit Teluk Karya di Kabupaten Balangan. Mereka bikin kerajinan sasirangan dengan pewarna alami yang diperoleh dari lahan gambut. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

******

Foto utama:  M Redho, dengan karyanya, kain sasirangan pewarna alami . Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version