- Sejak tahun 2019, masyarakat Sabuai protes atas penebangan hutan adat mereka oleh CV Sumber Berkat Makmur. Mereka khawatir terjadi kerusakan lingkungan dan bencana kala tutupan hutan di hulu rusak. Kekhawatiran warga terjadi, banjir bandang melanda sabuai pada 5 Agustus lalu.
- Pada Maret 2020, Yongki, bos CV SBM, terjerat hukum penyidik Balai Penegakan Hukum KLHK atas kasus perusakan hutan. Vonis hakim bikin kecewa masyarakat karena hanya dua tahun penjara dan denda Rp500 juta. Masyarakat Sabuai pun protes.
- Vonis ringan kepada bos perusahaan yang terbukti pembalakan liar menurut Erwin Ubawarin, pakar pidana Fakultas Hukum Universitas Pattimura, menimbulkan pertanyaan besar. Vonis hanya dua tahun, juga tak berkeadilan bagi masyarakat Sabuai, sebagai korban yang menerima dampak lingkungan yang bakal muncul seperti longsor, banjir, satwa buruan makin jauh dan lain-lain.
- Bos perusahaan terbukti melakukan pembalakan liar, kena vonis ringan, sebaliknya, pemuda adat yang protes perusakan hutan malah terjerat hukum. Proses hukum terhadap dua pemuda terus lanjut walau bos perusahaan sudah terbukti membabat hutan secara ilegal oleh putusan pengadilan. Perkara mereka sudah memasuki persidangan perdana di Pengadilan Dataran Hunimoa, Jumat 27 Agustus lalu.
Hujan deras mengguyur Kecamatan Siwalalat, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku, 5 Agustus lalu. Termasuklah, Desa atau Negeri Sabuai, yang terletak di Kecamatan Siwalalat. Hujan deras menyebabkan sejumlah sungai meluap hingga rumah penduduk maupun fasilitas umum seperti sekolah, mesjid, sampai balai pertemuan desa, terendam.
Frans Yamarua, warga Sabuai mengatakan, banjir berasal dari luapan anak sungai di dekat perkampungan mereka.
“Ada empat kali meluap dan masuk ke kampung kami, yaitu, Kali Wai Tunsa, Wai Asawaana, Tiflovin, dan Wai Waiableta. Selain Kali Wai Tunsa, ketiga kali lain itu kecil, tapi air meluap,” katanya.
Josua Ahwalam, kerabat Frans juga ungkapkan hal serupa. Dugaan kuat Frans, banjir menerjang Sabuai karena ulah manusia yang telah menghancurkan hutan di desa mereka.
Banjir seperti ini, katanya, belum pernah mereka alami selama ini. Setelah hutan di hulu rusak, sungai tak mampu lagi menampung debit air hingga meluap ke permukiman warga.
“Ini karena hutan sudah hancur karena pembalakan liar yang dilakukan CV Sumber Berkat Makmur, hingga gunung di atas perkampungan kami sudah kosong,” kata Josua.
Warga protes penebangan hutan oleh CV Sumber Berkat Makmur (SBM) sejak 2019. Hutan tergerus menjadikan desa mereka yang berada di dataran rendah jadi rawan longsor dan banjir.
“Ini karena hutan sudah rusak. Pohon-pohon sudah habis. Air tidak masuk ke tanah lagi, tapi keluar hingga banjir.”
Agus Kastanya, Guru Besar Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, sebelumnya telah memberikan peringatan lingkungan rusak akan terjadi bila hutan alam hancur.
“Dengan membuka atau mengkonversi hutan alam akan memicu erosi, banjir, longsor, apalagi perubahan iklim saat ini, bahkan akan menimbulkan berbagai penyakit,” katanya.
Dia bilang, meski Pulau Seram cukup luas, tetapi dibatasi dengan karaktreristik daerah aliran sungai (DAS) yang sempit dan pendek.
“Kita memiliki DAS sempit dan pendek, kalau wilayah-wilayah ini tidak dikonservasi atau dijaga akan mengalami kehancuran cepat.”
Dia bilang, Pemerintah Maluku, Kabupaten Seram Bagian Timur , harus bertanggung jawab karena memberikan izin kepada perusahaan untuk membabat hutan hingga berujung dengan bencana banjir.
Apa yang disampaikan warga dan Agus Kastanya, makin kuat dengan vonis Pengadilan Negeri Hunimua Bula, kepada bos CV Sumber Berkat Makmur (SBM), Yongki atas kasus pembalakan liar di hutan Sabuai.
Baca juga: Kasus Hutan Sabuai, Komisaris SBM jadi Tersangka Pembakalan Liar

Vonis ringan bos SBM
Awal Darmawan Ahkmad, Ketua Majelis Hakim PN Hunimua Bula, Seram Bagian Timur (SBT), membacakan vonis kepada Imanuel Quadarusman alias Yongki, dua tahun penjara.
Vonis hakim ini sedikit lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Seram Bagian Timur selama 1,1 tahun.
Dalam amar putusan Awal menilai, Yongki terbukti melanggar Pasal 12 huruf k UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan dan UU Nomor 8/1981 tentang Hukum Masalah Pidana serta perundang-undangan lain yang disangkakan.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Imanuel Quadarusman alias Yongki, karena itu dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp500 juta. Dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti kurungan selama tiga bulan ,” kata Awal, 3 Agustus lalu.
Majelis Hakim menyatakan, putusan kepada Yongki berdasarkan tindak pidana dengan sengaja merambah hutan alias pembalakan liar.
Sedang berkas dari Penyidik Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Wilayah Maluku Papua menjerat dengan banyak pasal UU No 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana penjara maksimum 15 tahun, denda maksimum Rp100 miliar.
Operasi penangkapan dan penetapan tersangka ini berawal dari informasi ada pembalakan liar di media online. Tim Gakkum mengumpulkan data dan informasi lebih banyak serta menindaklanjuti dengan operasi pengamanan hutan dan peredaran hasil hutan, pada 4 Maret 2020. Pada 18 Maret 2020, Tim Gakkum melanjutkan dengan penyidikan hingga menahan Yongki dan menyita barang bukti.
Vonis ringan bos perusahaan ini langsung mendapat reaksi keras masyarakat Sabuai. Masyarakat Sabuai bersama Mahasiswa Welihata protes putusan itu. Mahasiswa mendatangi Pengadilan Tinggi Maluku, dan Kejaksaan Tinggi Maluku di Ambon, 9 Agustus lalu.
Tuntutan mereka, meminta Pengadilan Tinggi Maluku mengevaluasi kinerja para hakim yang menangani kasus ini. Mereka nilai, vonis hakim menghilangkan rasa keadilan bagi masyarakat Sabuai.
Baca juga: Masyarakat Adat Sabuai Pulihkan Hutan Lewat Sasi

Mereka pun akan laporkan dugaan ‘keanehan’ vonis yang jauh dari jerat hukum penyidik Gakkum ini ke Komisi Yudisial.
“Kita akan laporkan hakim yang menangani perkara ini,” kata Yosua Ahwalam, koordinator aksi di depan Budhi Hertantyo, hakim senior Pengadilan Tinggi Maluku.
Sejumlah spanduk dan pamflet mereka bentangkan, antara lain soal kondisi permukiman Sabuai saat banjir bandang. Mereka bilang, banjir itu baru pertama terjadi di perkampungan setelah hutan rusak.
“Ini akan terus terjadi bila hujan terus. Hutan dan pohon kami di hutan telah habis karena dibabat oleh Imanuel Quadarusman yang hanya divonis ringan dan tidak sesuai perbuatannya,”teriak peserta aksi.
Mahasiswa juga mendatangi Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku. Mereka orasi beberapa jam. Protes mahasiswa ini nyaris ricuh. Terjadi adu mulut dan perdebatan sengit antara mahasiswa dengan perwakilan Kejaksaan Tinggi Maluku.
Mahasiswa dan perwakilan masyarakat Sabuai ini menuntut, Kajati Maluku mengevaluasi JPU. Mereka menilai, pasal yang dipakai JPU tak sesuai hukum seperti jeratan penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Penegakan Hukum (Gakkum) Maluku Papua.
“Pasal yang JPU pakai pasal perseorangan yang ancaman pidana lima tahun penjara minimal satu tahun. Semestinya, pasal korporasi dengan ancaman maksimal 15 tahun, minimal lima tahun penjara.”
“Kenapa? Karena ini CV Sumber Berkat Makmur merupakan korporasi bukan perseorangan,” kata Josua.
Erwin Ubawarin, pakar pidana Fakultas Hukum Universitas Pattimura, dalam pendapat hukumnya soal amar putusan terhadap Yongki mengatakan, pembakalan liar korporasi itu sistematis, dan teroganisir. Kalau hanya hukuman dua tahun denda Rp500 juta atau kurungan tiga bulan, menimbulkan pertanyaan besar.
“Kita tunggu saja putusan resmi di rilis hingga mengetahui apa yang menjadi ratio decidendi kenapa majelis hakim menghukum dua tahun dengan denda Rp500 juta,” katanya, 7 Agustus lalu.
Dia mempertanyakan, soal tindakan Yongki atas nama korporasi atau pribadi. Karena CV SBM mendapat izin pemanfaatan kayu (IPK) perkebunan pala, tenyata masuk ke produksi terbatas (HPT) dan hutan produksi konversi (HPK).
“Illegal logging tidak mungkin dilakukan hanya satu pihak, tetapi beberapa pihak. Di sana ada pencurian, penggelapan, pemalsuan dan penadahan. Tidak mungkin hanya dilakukan satu pihak.”
Kasus ini, katanya, tidak boleh selesai hanya menjerat CV SBM juga pihak-pihak lain yang terlibat. “Siapa yang mengangkut kayu-kayu itu? Siapa penadah? Siapa yang memalsukan dokumen kayu? Hutan Seram harus dibersikan dari mafia kayu,” katanya.
Perusahaan ini, kata Ubawarin, juga harus kena sanksi administratif berupa pencabutan izin. “Karena UU Nomor 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan jo UU Nomor 11 /2020 tentang Cipta kerja membuka peluang sanksi administratif,” katanya.
Vonis Yongki hanya dua tahun, katanya, juga tak berkeadilan bagi masyarakat Sabuai, sebagai korban yang menerima dampak lingkungan yang bakal muncul seperti longsor, banjir, satwa buruan makin jauh dan lain-lain.
Untuk menjawab rasa keadilan ini, katanya, masyarakat bisa mengajukan upaya hukum lain.
“Jika putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) bahwa IQ alias Y secara pereorangan atau korporasi dinyatakan bersalah, maka masyarakat yang merasa dirugikan karena penebangan liar dapat mengajukan upaya hukum lain, misal, gugatan ganti rugi kepada SBM akibat dampak lingkungan yang timbul.”
Dia bilang, pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan harus secara tepat dan berkelanjutan dengan mempertimbangkan fungsi ekologis, sosial, dan ekonomis. Juga untuk menjaga keberlanjutan kehidupan sekarang dan generasi mendatang.
Baca juga: Berusaha Pertahankan Hutan Adat, Warga Sabuai Terjerat Hukum

Cegah hutan rusak malah terjerat hukum
Bos perusahaan terbukti melakukan pembalakan liar, kena vonis ringan, sebaliknya, pemuda adat yang protes perusakan hutan malah terjerat hukum. Proses hukum terhadap dua pemuda terus lanjut walau bos perusahaan sudah terbukti membabat hutan secara ilegal oleh putusan pengadilan.
Penetapan tersangka terhadap dua pemuda Negeri Sabuai, Kaleb Yamarua dan Stevanus Ahlawam oleh penyidik Reskrim Polres Seram Bagian Timur pada 22 Februari 2020.
Dua pemuda ini dilaporkan telah merusak alat berat Imanuel Quadarusman alias Yongki, komisaris SBM yang kini terpidana pembalakan liar.
Perkara mereka sudah memasuki persidangan perdana di Pengadilan Dataran Hunimoa, Jumat 27 Agustus lalu. Jerat hukum pada pembela lingkungan hidup ini mendapat protes dari berbagai kalangan.
.Pada Februari tahun lalu, Kaleb dan Stevanus bersama warga Sabuai menghentikan dua kendaraan SBM yang menebang di hutan adat secara ilegal. Kekhawatiran warga kalau hutan rusak akan ada bencana sudah terjadi. Desa Sabuai dilanda banjir bandang pada Agustus lalu.
JPU Kejari SBT, Julivia M. Selanno dan Sulaiman Puha dalam dakwaan menyatakan, perusakan terjadi 17 Februari 2020 sekitar pukul 08.00 Wit di Gutan Siwe, Desa Sabuai.
Khaleb dan Stefanus bersama warga lain sengaja merusak kaca mobil loader merek Komatsu dan dua truk logging merek Nissan milik Direktur SBM, Imanuel Quedarusman.
JPU menyebutkan, warga kemudian melanjutkan perjalanan menuju tempat penampungan kayu, berjarak sekitar 50 meter. Satu mobil loader warna kuning dikemudikan Ujang Jamin dan mobil Nissan dikendarai Adeba dan La Siprit — sedang mengangkut kayu–, langsung berhenti saat warga datang. Warga ambil kunci. Kaca kendaraan dilempar baru hingga pecah.
Di hadapan Ketua Majelis Hakim Teopilus Patiung didampingi Hakim Jefry Roni Sitompul dan Heri Setiawan, JPU menyatakan Imanuel mengalami kerugian Rp300 juta.
Kedua pemuda adat terjerat Pasal 170 ayat (1) subsidair Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP dan Pasal 406 ayat (1) KUHP. Mereka dinilai bersama-sama melakukan kekerasan dan penghancuran barang.
Baca juga: Saat Khaleb dan Josua Setop Kuliah, Demi Bela Hutan Leluhur Negeri Sabuai

******
Foto utama: Banjir bandang karena sungai-sungai meluap hingga merendam pemukiman dan berbagai fasilitas di Desa Sabuai. Foto: dokumen warga