- Pemerintah Sorong mencabut izin lokasi, izin Iingkungan, dan izin usaha perkebunan tiga perusahaan pada 27 April 2021. Lahan-lahan itu dikembangkan kepada masyarakat adat sebagai pemilik tanah ulayat. Perusahaan-perusahaan itu tak terima dan menggugat Pemerintah Sorong di PTUN Jayapura, Agustus ini.
- Perusahaan yang menggugat adalah PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT. Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS). Ketiganya berlokasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat.
- Nur Amalia , Ketua Tim Kuasa Hukum Pemerintah Sorong mengatakan, ketiga perusahaan yang menggugat ini tidak memanfaatkan izin yang mereka dapat. Walau sudah lama dapat izin lokasi, lingkungan, dan IUP dari Pemerintah Sorong, perusahaan-perusahaan ini tak memiliki hak guna usaha.
- Evaluasi izin di Papua Barat bertujuan memperbaiki tata kelola sawit, mengoptimalisasi pendapatan negara dari sektor sawit, dan menjaga luas tutupan hutan di Papua Barat. Sekitar 12 izin konsesi sawit di Papua Barat dicabut dari evaluasi perizinan kepada 30 perusahaan sawit. Pemerintah Papua Barat juga rencana cabut empat perusahaan sawit di provinsi konservasi itu. Dari izin-izin itu, seluas 267.856,86 hektar yang sudah dicabut dan 43.689,93 hektar masih poses pencabutan.
Pencabutan izin-izin kebun sawit di Papua Barat, mendapatkan perlawanan dari perusahaan. Beberapa perusahaan dengan izin dicabut menggugat balik ke pengadilan.
Perusahaan yang menggugat adalah PT. Inti Kebun Lestari (IKL), PT. Papua Lestari Abadi (PLA), dan PT. Sorong Agro Sawitindo (SAS). Ketiganya berlokasi di Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Pada 27 April 2021, Bupati Sorong dan Kepala Dinas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Sorong yang mencabut izin lokasi, izin Iingkungan, dan izin usaha perkebunan tiga perusahaan ini. Dalam laporan hasil evaluasi, ketiga perusahaan ini tak menjalankan kewajiban dalam izin usaha perkebunan (IUP) yang mereka dapat.
Merasa dirugikan, tiga perusahaan ini mendaftarkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura pada 2 Agustus 2021. Gugatan didaftarkan dalam empat perkara berbeda.
Gugatan dengan nomor perkara 29/G/2021/PTUN.JPR diajukan IKL terhadap Kepala Dinas PMPTSP Kabupaten Sorong atas keputusan pencabutan izin lokasi. Gugatan nomor perkara 30/G/2021/PTUN oleh perusahaan sama terhadap Bupati Sorong atas keputusan pencabutan izin lingkungan dan IUP.
Kemudian, gugatan nomor 31/G/2021/PTUN dan 32/G/2021/PTUN berturut-turut oleh SAS dan PLA terhadap Bupati Sorong atas keputusan pencabutan izin lokasi, izin lingkungan, dan IUP.
Baca juga: Bupati Sorong Cabut Izin Kebun Sawit Perusahaan di Wilayah Adat Moi
Sesuai prosedur dan penuhi rasa keadilan
Bupati Sorong Johny Kamuru mengatakan, pencabutan izin-izin ini sudah sesuai prosedur dan tepat guna memenuhi rasa keadilan, keberlanjutan lingkungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat di Sorong.
“Dari semua segi, perusahaan sudah melanggar dan tidak bisa lagi ditoleransi hingga kita cabut izinnya,” kata Kamuru usai usai menghadiri sidang PTUN Jayapura, Selasa 24 Agustus lalu. Sidang kali itu untuk perkara 31/G/2021/PTUN dan 32/G/2021/PTUN dengan agenda pemeriksaan awal.
Bupati hadir bersama Sekretaris Daerah Sorong Cliff Agus Japsenang, dan beberapa kepala dinas terkait. Mereka didampingi kuasa hukum, antara lain, Piter Ell dan Nur Amalia.
Kamuru bilang, perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki niat baik. Aktivitas di lokasi izin tidak sesuai izin yang diberikan dan gunakan izin buat peruntukan lain.
“Saya hadir di sini dengan Pak Sekda, dengan tim yang ada, dengan teman-teman pengacara, para pemerhati lingkungan hidup, para pemerhati masyarakat adat. Kita hadir di sini memberikan keterangan supaya betul-betul memutuskan sesuatu berdasarkan rasa keadilan.”
Nur Amalia , Ketua Tim Kuasa Hukum Pemerintah Sorong mengatakan, ketiga perusahaan yang menggugat ini tidak memanfaatkan izin yang mereka dapat. Walau sudah lama dapat izin lokasi, lingkungan, dan IUP dari Pemerintah Sorong, perusahaan-perusahaan ini tak memiliki hak guna usaha.
“Maka, Pak Bupati berdasarkan prosedur, yakin untuk mencabut, karena HGU-nya tidak ada.”
Berdasarkan UU Perkebunan, katanya, jelas sekali, kalau perusahaan perkebunan yang beroperasi harus memiliki hak guna usaha perkebunan.
Selain itu, katanya, masyarakat adat tak ada melepaskan lahan-lahan itu kepada perusahaan. Padahal, izin dari masyarakat adat harus ada maksimal dua tahun setelah mereka mendapatkan izin lokasi.
Dengan tak ada pelepasan lahan dari masyarakat adat, katanya, jelas mereka tak sepakat dengan kehadiran perusahaan.
“Saat bupati mencabut, otomatis masyarakat mendukung. Karena memang selama ini mereka tidak pernah memberikan persetujuan untuk beroperasi perusahaan sawit di lahan itu.”
Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut
Dugaan jadi modus pembalakan kayu?
Meski belum memproses lebih lanjut izin perkebunan mereka, perusahaan-perusahaan ini sudah menebang kayu di lokasi izin.
IKL, misal, mengantongi izin pengolahan kayu (IPK). Dari evaluasi izin sawit di Papua Barat juga merekemondesasikan Dinas Kehutanan Papua Barat mencabut IPK ini.
Piter Ell, juga kuasa hukum Pemerintah Sorong mengatakan, sejak operasi hutan lestari, pengusaha gunakan modus-modus baru untuk mendapatkan kayu di banyak tempat di Papua.
“Ada izin sawit tapi yang diambil itu kayu. Jadi, mereka ambil kayunya.”
Dengan kondisi ini, kalau memungkinkan, hakim dalam perkara perizinan akan turun langsung ke lokasi-lokasi izin yang dicabut untuk melihat sendiri aktivitas penebangan yang sudah dilakukan perusahaan-perusahaan ini.
“Kalau tidak ada hambatan, majelis hakim juga berencana ke lokasi, langsung ke lokasi untuk melihat situasi.”
Dugaan modus pembalakan kayu ini menarik untuk dihubungkan dengan rekam jejak dua perusahaan ini.
IKL mendapat IUP seluas 34.400 hektar di Distrik Salawati, Distrik Klamono, dan Distrik Segun. Perusahaan ini adalah anggota grup Kalia Agro, sebelumnya bergerak pada usaha kayu lapis. Perusahaan ini mengantong izin pengolahan kayu dari Dinas Kehutanan Papua.
Hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat, salah satu merekomendasikan Dinas Kehutanan Papua Barat mencabut IPK perusahaan ini.
Perusahaan ini juga diduga jual beli izin yang tampak dari pergantian manajemen.
Dua perusahaan lain, PLA dan ASS merupakan anggota Mega Masindo Grup. PLA mendapat IUP seluas 15.631 hektar di Kampung Waimun, Distrik Segun. ASS izin seluas 40.000 hektar di Distrik Segun, Klawak, dan Klamono.
“Jadi, hampir 100.000 untuk tiga perusahaan. Coba bayangkan itu, kalau satu hektar minimal 400 pohon,” kata Nur Amalia.
Catatan Yayasan Pusaka Belantara menunjukkan, salah satu pemilik Mega Masindo Grup adalah George Hung atau Ting-ting Hung pernah masuk dalam daftar 50 cukong pembalakan liar dan menjadi target operasi hutan lestari. Orang yang sama terkait beberapa perusahaan yang masuk dalam daftar perusahaan pelaku illegal logging di Papua maupun Papua Barat. Beberapa perusahaan Ting-ting Hung juga pernah mendapat izin eksplorasi batubara di Timika namun dicabut Bupati Omaleng pada 2015.
Kini, perusahaan sawit PT. Prima Sarana Graha dengan luas 21.082 hektar miliknya beroperasi di Timika. Izin pelepasan kawasan perusahaan ini masih kontroversi karena terbit pada 2019.
Perbaikan tata kelola
Evaluasi izin di Papua Barat bertujuan memperbaiki tata kelola sawit, mengoptimalisasi pendapatan negara dari sektor sawit, dan menjaga luas tutupan hutan di Papua Barat.
Pada Mei lalu, sekitar 12 izin konsesi sawit di Papua Barat dicabut dari evaluasi perizinan kepada 30 perusahaan sawit. Pemerintah Papua Barat juga rencana cabut empat perusahaan sawit di provinsi konservasi itu. Dari izin-izin itu, seluas 267.856,86 hektar yang sudah dicabut dan 43.689,93 hektar masih poses pencabutan.
Tiga kebijakan yang jadi dasar evaluasi ini adalah Deklarasi Manokwari, Inpres Moratorium Izin Sawit, dan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA). Adapun isi deklarasi Manokwari adalah menjalankan pembangunan berkelanjutan berbasis wilayah adat di tanah Papua.
Evaluas izin sawit di Papua Barat, sudah sejak Juli 2018. Gubernur Papua Barat memimpin koordinasi evaluasi dengan pelaksana Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (Dinas TPHBun) Papua Barat.
Berbagai pihak terlibat. Ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kementerian Pertanian, Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Papua Barat, Dinas Agraria dan Tata Ruang/BPN Papua Barat. Juga, Dinas Kehutanan Papua Barat, Dinas Lingkungan Hidup dan Pertanahan Papua Barat, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Papua Barat.
Kemudian, Balai Pemantapan Kawasan Hutan Papua Barat, Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Papua Barat, Dinas Perkebunan dari berbagai kabupaten di Papua Barat. Yayasan EcoNusa, sebagai organisasi masyarakat sipil ikut terlibat dalam proses evaluasi.
“Jadi, ini sudah melalui proses panjang, bahkan, dari 2018. Jadi, kalau sampai ada yang mengatakan bupati tiba-tiba mengeluarkan surat keputusan, itu sama sekali tidak benar,” katanya.
Adapun pencabutan izin perusahaan tidak hanya oleh Bupati Sorong, juga bupati-bupati lain di Papua Barat. Ada tahapan di mana semua phak baik pemerintah di tingkat nasional maupun daerah, termasuk perusahaan, dikonfirmasi satu persatu.
”Perusahaan itu ada yang hadir direkturnya, ada perwakilan, dan lain-lain. Jadi, mereka hadir saat dipanggil untuk konfirmasi kelengkapan data, cek data, data apa yang yang mereka miliki, yang kami miliki, yang pe-review kebijakan miliki, mana yang belum diserahkan kepada pemerintah, mana yang mereka tidak punya tapi pemerintah punya. Itu semua diproses.”
Dukungan mengalir buat Pemerintah Sorong
Dukungan dari berbagai kalangan mengalir kepada Pemerintah Sorong, sejak informasi gugatan ini sampai ke publik. Aksi-aksi langsung di Kota Sorong, Manokwari dan Jayapura, pernyataan sikap di media, kampanye dukungan di media sosial, sampai petisi online di Change. Org. Ada juga yang menyurati hakim PTUN, sebagai bentuk dukungan.
Saat Bupati Kamuru hadiri sidang di PTUN Jayapura, mahasiswa asal Papua Barat aksi di Halaman PTUN. Mereka tergabung dalam Forum Mahasiswa Peduli Hak Masyarakat adat. Mereka gunakan busana adat, orasi, membentangkan spanduk-spanduk dengan pesan-pesan penyelamatan lingkungan dan penegakan hak-hak masyarakat adat. Beberapa spanduk juga berisi pesan menolak investor dan sawit.
“Kami meminta Hakim PTUN yang menangani perkara ini menegakkan supremasi hukum dalam bentuk melindungi hak masyarakat adat,” kata Dortheus Klasjok, saat menyampaikan pernyataan sikap mewakili massa aksi.
Erasmus Cahyadi Terre, Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), juga menyatakan dukungan terhadap Bupati Sorong. Keputusan Pemerintah Sorong dinilai sudah prosedural dan tepat. Selain itu, Sorong sudah memiliki Peraturan Daerah Nomor 10/2017 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Moi di Sorong.
“Konsekuensi logis apabila ingin menjalankan perda itu, untuk perlindungan wilayah masyarakat adat di Sorong dengan pencabutan izin itu.”
AMAN mendukung proses-proses penyelesaian konflik ketimpangan penguasaan sumber daya alam termasuk dengan cara pencabutan izin.
“Secara resmi AMAN mendukung Bupati Sorong, bukan hanya Bupati Sorong. AMAN secara prinsipil mendukung keputusan-keputusan yang mengarah pada pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan ruang hidupnya.”
Saat mendengar pernyataan sikap mahasiswa asal Papua Barat di halaman PTUN Jayapura, Bupati menyampaikan terima kasih atas dukungan terhadap Pemerintah Sorong.
“Apa yang sudah kami lakukan ini demi masyarakat kita, demi hutan kita. Apa yang disampaikan mudah-mudahan didengar hakim, semua hakim Pengadilan Tata Usaha Negara.”
*******
Foto utama: Bupati Sorong Johny Kamuru saat bertemu dengan mahasiswa di halaman PTUN Jayapura. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia