Mongabay.co.id

Jalan Raya Belah ‘Heart of Borneo’ Mengkhawatirkan

Orangutan Kalimantan di Sabah. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

 

 

 

Musim buah tiba. Pepohonan dipterokarpa Borneo yang menjulang tinggi berbuah serempak, tiap beberapa tahun sekali. Pada bulan-bulan itu, udara di sana dipenuhi dengan buah bersayap warna cokelat yang jatuh dan berputar ke lantai hutan. Di sinilah tempat babi berjanggut (Sus babaratus), beruang madu (Helarctos malayanus), orangutan (Pongo pygmaeus) serta satwa lain berkumpul menikmati sajian alam nan berlimpah.

Beberapa spesies berjalan sejauh ratusan kilometer untuk mencapai area berbuah ini. Migrasi mereka sangat krusial bagi ekosistem Borneo, sebagai salah satu terkaya di dunia. Mereka melintasi hutan dan perbatasan negara. Malaysia, Indonesia dan Brunei masing-masing memiliki bagian dari Borneo yang menjadikan hutan tropis lintas batas terbesar di planet ini.

Ketiga negara menandatangani pakta sukarela pada 2007 untuk melestarikan sepertiga dari area yang bernama ‘Heart of Borneo’ ini, hamparan hutan seluas 22 juta hektar yang sebagian besar masih utuh.

Kini, perjanjian itu mulai buyar begitu mereka mengejar ambisi kolektif: Jalan Raya Pan Borneo, ruas jalan raya sepanjang 5.324 kilometer yang akan menghubungkan Sabah dan Sarawak di Malaysia ke Kalimantan di Indonesia dan Brunei.

Meski jalan raya baru ini dapat memacu perkembangan ekonomi di desa-desa terpencil, pembangunannya juga akan membentuk jalur pada kawasan lindung di ‘Heart of Borneo’ yang membuka peluang ekstraksi sumber daya. Para ahli katakan, secara khusus, jalan-jalan ini dapat mempercepat pembentukan “sabuk sawit” baru yang akan jadi bencana bagi satwa liar, komunitas adat Kalimantan dan iklim global.

“Kita tidak sekadar bicara tentang tanah yang akan diambil untuk pembangunan jalan, juga berbagai hal yang difasilitasi oleh jalan-jalan ini, yaitu, membuka jalan bagi perusahaan ekstraktif ke daerah-daerah terpencil dan merealisasikan konsesi mereka,” kata Angus MacInnes, konsultan pada Forest Peoples Programme, nirlaba berbasis di Inggris, kepada Mongabay.

“Begitu jalan masuk, perusahaan sawit akan mengikuti.”

 

Penebangan kayu hutan di Kalimantan. Foto: Rhett a Butler/ Mongabay

 

Setelah jalan, datanglah perkebunan

Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan ibu kota administratif dari Jakarta ke Kalimantan Timur pada 2019, perhatian terhadap jalan raya lintas batas jadi intensif.

Negara tetangga Malaysia menambahkan beberapa ruas baru untuk memanfaatkan surplus keuntungan ekonomi. Di Indonesia, pembangunan Kalimantan Timur diharapkan mengalir ke provinsi lain melalui jalan raya lintas batas itu.

Slamet Brotosiswoyo, Ketua Apindo Kaltim, mengatakan kepada South China Morning Post, dengan daerah-daerah yang tadinya terisolasi jadi lebih mudah terakses melalui jalan darat.

Dia berharap, perusahaan-perusahaan akan berinvestasi ke industri-industri ‘berkembang, bukan sekadar meraup sumber daya alam.’

Menurut rencana utama pemerintah, industri penebangan kayu dan sawit diharapkan memainkan peranan penting dalam mengubah Kalimantan jadi motor pertumbuhan baru di bagian timur Indonesia. Sekaligus meningkatkan kehidupan masyarakat pedesaan.

Adalah Ujoh Bilang, satu desa terpencil di Heart of Borneo. Berlokasi dekat Sungai Mahakam di Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur, di mana masyarakat banyak bergantung hidup dari sungai seperti buat transportasi ke kota-kota besar. Saat sungai banjir atau surut drastis, inflasi terjadi, sekantung beras bisa dua kali lipat dari harga di ibu kota provinsi.

 

Sepasang beruna madu di Kalimantan. Foto: Rhett A Butler/ Mongabay

 

Dalam beberapa tahun terakhir, Mahakam Ulu mendapatkan dana untuk membangun beberapa jalan baru menuju ke pusat-pusat ekonomi di Kalimantan Timur, ke kabupaten terdekat dan ke beberapa permukiman di sepanjang perbatasan Malaysia.

Saat proyek infrastruktur, bagian dari Jalan Raya Pan Borneo–di Indonesia dikenal dengan Jalan Raya Trans-Kalimantan–, selesai, pengembangan berbagai sektor lain seperti pertanian, perkebunan dan program prioritas lain akan dengan mudah menyusul. Begitu kata Bupati Mahakam Ulu tiag tahun lalu.

Hasil perkebunan ini kemudian bisa dijual ke negara tetangga menggunakan Jalan Raya Trans-Kalimantan.

Pada 2013, perkebunan di Mahakam Ulu hanya seluas 3.000 hektar, lalu 2019, bertambah jadi sekitar 25.000 hektar, dengan 80% lahan didominasi perusahaan sawit. Setidaknya, konsesi 13,000 hektar berasal dari tanah leluhur masyarakat adat Dayak.

Kalau berkaca ke belakang, perkebunan di area itu akan terus bertambah. Di Kabupaten Kapuas Hulu, perbaikan infrastruktur disusul penerbitan konsesi yang substansial dan pengembangan perkebunan-perkebunan sawit besar. Ketika Mongabay berkunjung ke Mahakam Ulu pada 2019, kami menemukan perusahaan sawit sedang membangun pabrik baru untuk mengakomodasi ekspansi di masa depan.

Situasi sama berlangsung di beberapa kabupaten dan provinsi di Kalimantan.

Koalisi masyarakat adat dan organisasi masyarakat sipil tahun lalu mengajukan pengaduan ke PBB atas pengambilalihan tanah adat untuk pembangunan jalan, perkebunan dan pertambangan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia. Pengambilan lahan adat ini akan menimbulkan kerugian besar dan permanen bagi Suku Dayak dan masyarakat adat lain.

 

Kebun sawit yang berdekatan dengan hutan tropis di Kalimantan. Foto: Rhett A Butler/ Mongabay

 

Merusak Heart of Borneo

Menurut MacInnes, dari semua ruas di Jalan Raya Trans-Kalimantan di Indonesia, jalur utara yang paling mengkhawatirkan. Jalur itu, katanya, melintas di tengah-tengah ‘Heart of Borneo’ dan wilayah leluhur dari Suku Dayak.

“Masyarakat kami memang membutuhkan jalan ini karena terisolasi selama bertahun-tahun. Tetapi kerugian lebih banyak ketimbang keuntungan yang didapat,” kata Darwis, pimpinan komunitas di Green of Borneo, LSM masyarakat adat di Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

“Jalan-jalan itu akan menghancurkan ekosistem dan merampas tanah adat kami. Pemerintah mengatakan ini untuk kita, kenyataan jalan untuk industri sawit dan perkebunannya.”

Jalan menuju Nunukan, dengan konstruksi tengah berlangsung dan diharapkan selesai 2023, akan melintasi beberapa kawasan konservasi, seperti Taman Nasional Kayan Mentarang, yang memiliki bentangan hutan tropis utuh terbesar di Kalimantan Utara.

Area seluas 1.36 juta hektar ini–lebih dari dua kali luas Bali–adalah jantung ‘Heart of Borneo’ dan rumah lebih dari 10 komunitas adat.

“Jika jalan itu masuk sebelum hak tanah mereka terjamin, kita akan jadi saksi perampasan tanah besar-besaran dan pemiskinan komunitas mereka,” kata MacInnes.

Banyak datang pekerja transmigran, katanya, untuk membangun dan menjalankan perkebunan-perkebunan skala besar baru itu kemungkinan membanjiri populasi lokal.

Sementara di seberang perbatasan, laporan 2021 dari organisasi sipil lokal Coalition Humans Habitats Highways (Koalisi 3H) menemukan Jalan Raya Pan Borneo di Malaysia juga berdampak secara tidak proporsional terhadap masyarakat adat di sana.

 

Pembibitan sawit di Mahakam Ulu. Foto: Basten Gokkon/ Mongabay

 

Laporan ini juga menyoroti rencana bentangan antara Kota Kalabakan dan Sapulut dekat perbatasan selatan Sabah yang sangat berbahaya bagi ekosistem hutan Borneo.

“Bentangan itu akan memotong kepala ‘Heart of Borneo’ secara permanen dan mengisolasi hutan Sabah, yang paling kaya dengan keanekaragaman hayati, dari hutan di sekitarnya,” kata Cynthia Ong, juru bicara Koalisi 3H.

Para ahli mengatakan dampak ekologis dari konstruksi jalan ini idak hanya mempengaruhi negara atau provinsi tertentu, tetapi akan beresonansi selama bertahun-tahun ke ekosistem lebih luas yang seharusnya dilindungi ‘Heart of Borneo’.

“Akan berdampak sangat, sangat buruk buat Borneo,” kata Mohammed Alamgir, ahli ekologi di James Cook University, Australia. “Begitu konstruksi dimulai, jalur yang terhubung antara hutan di Indonesia dan Malaysia Borneo akan berkurang. Terdapat banyak spesies satwa liar yang berpindah dari satu bagian ke bagian lain di daerah ini. Kelangsungan hidup mereka akan terancam jika jalur krusial itu hilang.”

 

Dampak luas

Apa hal pertama yang terjadi saat membangun jalan raya di hutan? “Penebangan hutan,” jelas Alamgir. “Tentu emisi karbon, karena kita menghancurkan biomassa.”

Kemudian datanglah dampak sekunder: hilangnya keterhubungan antar hutan, meningkatnya kematian satwa liar di jalan raya, akses lebih mudah bagi para pemburu liar, pembangunan permukiman di sepanjang jalan, perkebunan dan masih banyak lagi.

Sebagai pulau ketiga terbesar di dunia, Kalimantan menyumbang 1% dari keseluruhan daratan dunia tetapi menyimpan 6% dari keanekaragaman hayati global di dalam hutan tropis yang kaya ini.

Antara lain, ada macan dahan (Neofelis diardi) berkeliaran mencari mangsa di dasar hutan, orangutan merangkai sarang di pohon-pohon yang menjulang.

Beruang madu berjelajah sendirian, gajah kerdil Borneo (Elephas maximus borneensis) berbaur dalam kawanan.

Kalimantan sudah kehilangan lebih dari setengah hutan karena kegiatan manusia. Sebagian besar merupakan hutan dataran rendah. Kalau jalan raya lintas batas itu terbangun sesuai rencana, katanya, konstruksi akan membuka area dataran tinggi juga, yang selama ini masih tak terjamah karena sulit terakses.

 

Jalur utara (oranye) Jalan Raya Trans-Kalimantan memotong Heart of Borneo. Pembangunan jalur ini akan mempercepat pengembangan “sabuk sawit” di wilayah  itu. Gambar: Forest Peoples Programme.

 

Lebih dari sekadar rumah bagi satwa yang terancam punah, melestarikan hutan Kalimantan yang makin berkurang–termasuk juga hutan tropis di Afrika dan Amerika Selatan–dianggap sebagai kunci dalam perang melawan bencana iklim global.

Pembabatan hutan, yang terjadi saat pohon-pohon ditebangi untuk memberi ruang bagi jalan baru, perkebunan, dan permukiman, menodai kemampuan Kalimantan, selaku penyerap karbon.

Pada 2017, para ilmuwan mempelajari petak-petak terbengkalai di hutan Borneo, termasuk yang berdekatan dengan perkebunan sawit dan ladang petani. Mereka menemukan, hutan itu justru cenderung membuang karbon ke atmosfer.

Dalam upaya meminimalisir dampak jalan raya terhadap hutan Kalimantan, satwa liar dan komunitas lokal, beberapa aktivis memperjuangkan agar hak atas tanah masyarakat adat diakui.

“Tidak ada jalan raya tanpa ada hak,” kata Darwis.

“Kami ingin pembangunan ini dihentikan sampai hak atas tanah kami diakui dan pemerintah menjamin tidak akan ada imbas yang besar terhadap lingkungan.”

Koalisi 3H juga menyerukan pembentukan komite gabungan antara pemerintah dan masyarakat sipil yang memungkinkan ada umpan balik dua arah.

“Kami ingin membagi hasil penelitian dan data lapangan (dengan para perencana jalan) secara tepat waktu dan bermanfaat,” kata Ong. “Dengan begitu, keputusan yang lebih baik bisa dibuat.”

Di Sabah, kelompok ini telah menggabungkan data geospasial dan pelacakan hewan dengan konsultan lokal untuk menemukan rute alternatif, khusus untuk bagian-bagian yang sangat merusak dari Jalan Raya Pan Borneo.

Menurut Ong, beberapa opsi yang diajukan tetap memenuhi kebutuhan pembangunan jalan tanpa perlu menggusur masyarakat dan memecah habitat-habitat penting.

Dia bilang, diskusi di ‘Heart of Borneo’ harus melibatkan pemerintah setiap negara. “Mungkin bukan sesuatu yang biasa, tapi kita telah sampai di kondisi di mana harus mengatasi masalah ini secara kolaboratif. Karena dampak tidak berhenti pada batasan-batasan saja.”

 

 

Kutipan:

Qie, L., Lewis, S. L., Sullivan, M. J., Lopez-Gonzalez, G., Pickavance, G. C., Sunderland, T., … Phillips, O.L. (2017) Long-term carbon sink in Borneo’s forests halted by drought and vulnerable to edge effects. Nature Communications, 8(1). doi:10.1038/s41467-017-01997-0

Sloan, S., Campbell, M. J., Alamgir, M., Lechner, A. M., Engert, J., & Laurance, W. F. (2019). Trans-national conservation and infrastructure development in the Heart of Borneo. PLOS ONE, 14(9). doi:10.1371/journal.pone.0221947

 

*******

Foto utama:  Orangutan Kalimantan di Sabah. Foto: Rhett Butler/ Mongabay

 

 

Exit mobile version