- Warga Desa Waiwuring, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, NTT dikejutkan dengan terdamparnya seekor Hiu Mulut Besar (Megachasma pelagios) atau Megamouth shark di pesisir pantai desa itu
- Penemuan tersebut pun disampaikan anggota Pokmaswas Waiwuring ke grup Pokmaswas sehingga tim dari Satwas SDKP Flores Timur bersama staf Misool Baseftin turun ke lokasi melakukan identifikasi
- Hiu Mulut Besar yang terdampar mati diduga mati karena penyakit, sehingga keberadaannya berbahaya bagi kesehatan warga yang mengkonsumsi daging hiu ini, apalagi jika mengandung parasit berbahaya
- Hiu Mulut Besar adalah spesies hiu paling langka di dunia yang hidup di perairan dalam dan sangat jarang dijumpai di lepas pantai. Jarangnya kemunculan ini, hingga saat ini para ilmuwan belum dapat memperkirakan berapa jumlah perkiraan populasi hiu jenis ini. Sejak status LC ditetapkan tahun 2001 belum ada evaluasi terhadap hiu jenis ini
Seekor Hiu Mulut Besar (Megachasma pelagios) atau yang disebut dengan Megamouth shark ditemukan mati terdampar di pesisir pantai Desa Waiwuring, Kecamatan Witihama, Kabupaten Flores Timur, NTT, Minggu (29/8/2021).
Anggota Pokmaswas Waiwuring, Sahidin yang dihubungi Mongabay Indonesia, Minggu (29/8/2021) menjelaskan, hiu tersebut ditemukan nelayan yang pulang melaut terdampar di pantai.
Sahidin memaparkan, saat ditemukan Minggu (29/8/2021) malam sekitar jam 02.00, hiu tersebut sudah dalam keadaan mati.
“Tadi malam ada ombak sehingga hiunya tertanam di pasir dan paginya baru warga menggali pasir dan menyeret hiunya ke pesisir pantai,” terangnya.
Sahidin kemudian memberitahukan penemuan hiu tersebut di grup Pokmaswas sehingga petugas Satwas SDKP Flores Timur dan staf Misool Baseftin mendatangi lokasi.
“Hiu tersebut beratnya hampir satu ton dan tim sudah melakukan identifikasi sebelum hiu tersebut dipotong warga dan dagingnya dibagi untuk dikonsumsi,” ucapnya.
baca : Inilah Penampakan Hiu Mulut Besar, Spesies Hiu Terlangka di Dunia
Penyebab Terdampar
Koordinator Satwas SDKP Flores Timur, Petrus Rinto Fernandez kepada Mongabay Indonesia Minggu (29/8/2021) menjelaskan pihaknya langsung turun ke lokasi setelah mendapatkan laporan dari Pokmaswas Waiwuring .
Rinto menjelaskan, hasil identifikasi diketahui hiu tersebut merupakan jenis Hiu Mulut Besar (Megachasma pelagios) berjenis kelamin betina, dengan panjang tubuh 5,4 meter, lebar tubuh 85 cm dan ditemukan dalam kondisi sudah mati. Pada beberapa bagian tubuh ditemukan luka yang sudah lama.
“Hiu tersebut akhirnya dikonsumsi oleh masyarakat Desa Waiwuring dan sekitarnya meskipun tim kami sudah menghimbau agar jangan dikonsumsi dan dikubur saja,” ungkapnya.
Direktur Cetacean Sirenian Indonesia (Cetasi), Dr. Putu Liza Mustika kepada Mongabay Indonesia menjelaskan banyak hal yang bisa dipelajari dari sebuah kejadian terdampar.
Putu katakan, di seluruh dunia, telah banyak riset yang dipublikasikan mengenai penyebab kejadian terdampar mamalia laut dan sebagai konsekuensinya ada usulan-usulan untuk perbaikan pengelolaan lingkungan.
baca juga : Pertama Kali di Indonesia, Ditemukan Hiu ‘Living Fossil’ Goblin di Aceh
Ia mencontohkan banyak hewan laut, tidak hanya mamalia laut, yang terdampar mati dan ditemukan sampah (terutama sampah plastik) di dalam perutnya (de Stephanis et al., 2013).
“Mamalia laut yang kena tangkapan samping bisa saja dibuang atau terlepas dari jaring dan akhirnya terdampar (Leeney et al., 2008). Tabrakan kapal bisa juga menyebabkan cidera pada hewan yang kemudian akhirnya terdampar (Waereebeek et al., 2007),” terangnya.
Putu juga menambahkan, polusi air dapat menyebabkan tumor atau kanker pada mamalia laut dan kemudian menurunkan imunitas hewan dan menyebabkan dia lebih mudah terdampar (Martineau et al., 2002).
Sebutnya,semakin banyak pula bukti bahwa penggunaan low frequency sonar (sonar berfrekuensi rendah) seperti yang dihasilkan oleh kapal-kapal selam dapat mengganggu Cetacea dan pada akhirnya menyebabkan emboli dan kematian pada hewan-hewan tersebut (Fahlman et al., 2014, Jepson et al., 2005).
Selain itu,ada juga kejadian-kejadian terdampar yang memiliki asosiasi yang kuat dengan kejadian alam seperti badai matahari yang berasosiasi dengan prevalensi keterdamparan paus sperma (Vanselow and Ricklefs, 2005, Vanselow et al., 2009, Vanselow et al., 2017).
“Bisa juga karena hewan yang terdampar memiliki banyak parasite pathogen di dalam tubuhnya (Morimitsu et al., 1987),” jelasnya.
baca juga : Hiu Berjalan Halmahera, Jenis Unik yang Tidak Bakal Ditemukan di Perairan Lain
Berbahaya Bila Dikonsumsi
Sahidin menerangkan, staf SDKP Flores Timur dan Misool Baseftin yang tiba di lokasi sudah memberikan penjelasan dan meminta agar warga tidak mengkonsumsi daging hiu karena bakteri dalam bangkai bisa berbahaya bagi manusia.
“Tadi sudah ada penjelasan dari Misool dan PSDKP namun semangat masyarakat mau konsumsi dan tim tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka mau melarang juga takut terjadi masalah,” ucapnya.
Sahidin mengakui warga dari berbagai desa di sekitar Desa Waiwuring juga datang menyaksikan dan ikut mengambil dagingnya tersebut untuk dibawa pulang dan dikonsumsi.
Ia katakan, apabila hiu tersebut sudah lama mati pasti sudah berbau tetapi kelihatannya hiu tersebut baru mati. Kulit dan dagingnya lembek sehingga mudah dipotong warga dengan hanya menggunak parang.
Lektor Kepala Bidang Keahlian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang, Dr. Chaterina Agusta Paulus, M.Si kepada Mongabay Indonesia, Senin (30/8/2021) menjelaskan bahaya mengkonsumsi hewan laut yang mati.
Chaterina sebutkan hiu mulut besar yang dalam keadaan mati terdampar dapat kita sebut juga dengan bangkai ikan, yang mungkin penyebab kematiannya adalah penyakit maka bisa menjadi berbahaya bagi kesehatan warga yang mengkonsumsi daging hiu ini, apalagi jika mengandung parasit berbahaya.
“Demikian juga untuk mamalia yang terdampar dalam keadaan mati, berbahaya jika dikonsumsi tanpa mengetahui penyebab kematian ikan atau mamalia laut tersebut,” paparnya.
perlu dibaca : Ditemukan, Dua Spesies Baru Hiu Gergaji
Chaterina mengatakan sisi klinis kesehatan menurut beberapa hasil kajian, pemanfaatan bangkai mamalia laut seperti paus untuk konsumsi sebaiknya tidak dilakukan karena memiliki kandungan merkuri dan zat besi yang tinggi.
Merkuri bisa memicu beragam masalah kesehatan seperti gangguan saraf dan tumor (Kompas, 2012). Apalagi jika ikan/mamalia laut tersebut termasuk satwa dilindungi maka baik dalam keadaan hidup ataupun mati, satwa tak bisa sembarang dimanfaatkan.
Spesies Paling Langka
Hiu mulut besar adalah spesies hiu paling langka di dunia yang hidup di perairan dalam dan sangat jarang dijumpai di lepas pantai.
Chaterina katakan, persebarannya yang luas dan dalam daftar International Union for the Conservation of Nature (IUCN) mencantumkan hiu mulut besar sebagai spesies dengan status “risiko rendah” terhadap kepunahan (Least Concern, LC) sejak tahun 2001.
Ia jelaskan sebuah takson dinyatakan berisiko rendah ketika dievaluasi, tidak memenuhi kriteria Kritis (Critically Endangered; EN), Genting (Endangered; EN), Rentan (Vulnerable; VU), atau Mendekati Terancam Punah (Near Threatened; NT).
“Karena jarangnya kemunculan hiu mulut besar ini, hingga saat ini para ilmuwan belum dapat memperkirakan berapa jumlah perkiraan populasi hiu jenis ini. Sejak status LC ditetapkan tahun 2001 belum ada evaluasi terhadap hiu jenis ini,” terangnya.
menarik dibaca : Ditemukan Spesies Hiu Baru yang Mengeluarkan Cahaya
Chaterina menambahkan,penting untuk diketahui setidaknya 72% dari produksi hiu merupakan hasil tangkapan sampingan atau bycatch.
Hiu umumnya menempati posisi puncak di dalam rantai makanan di laut dan diyakini berperan penting didalam menjaga dan mengatur keseimbangan ekosistem.
Sehingga kata dia, apabila keberadaannya terancam di alam, dikhawatirkan dapat merubah tatanan alamiah dalam struktur komunitas yang berakibat pada terganggunya keseimbangan suatu ekosistem.
Sumberdaya hiu termasuk dalam jenis yang dapat diperbaharui (renewable resources), walau jarang ditemui.
“Namun demikian jika kita bertindak kurang arif dan bijak dalam pemanfaatannya maka bukan merupakan hal mustahil apabila dikemudian hari kita jumpai sumberdaya ini dalam kondisi terancam punah (endangered),” ungkapnya.
Chaterina menyebutkan berbeda dengan ikan hiu lainnya yang dilindungi undang-undang, meliputi hiu martil (Sphyrna leweni), hiu koboi (Carcharhinus longimanus), hiu gergaji (Pristis microdon), hiu paus (Rhyncodon typus), dan hiu monyet/cucut pedang (Alopias pelagicus).
Ia menjelaskan,ketentuan mengenai larangan penangkapan ikan hiu, antara lain tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.59/PERMEN-KP/2014, Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.18/KEPMEN-KP/2013.