Mongabay.co.id

Menyoal Perusahaan Sawit Bermasalah di Koto Gasib, dari Protes Warga sampai Jeratan Kasus Karhutla

Kebun sawit dan kanal di konsesi perusahaan. Foto: Jikalahari

 

 

 

 

Puluhan warga Kampung Buatan II, Kecamatan Koto Gasib, Siak, Riau menerobos Aula Kantor Penghulu, Rabu 28 Juli lalu. Mereka mendesak agar menyetop musyawarah pemanfaatan kayu di areal izin usaha perkebunan (IUP) PT Wana Sawit Subur Indah (WSSI).

Suasana aula yang tertib, berubah jadi ricuh. Sejumlah orang ke depan meja rapat, bahkan terjadi aksi rebut mikrofon. Masyarakat menolak negosiasi dengan WSSI. Mereka menuntut pemerintah provinsi mencabut IPK perusahaan ini dan mengembalikan lahan perusahaan sawit itu ke masyarakat.

“Dua puluh satu tahun WSSI tidak ada itikad baik menyejahterahkan dan beri manfaat pada masyarakat. WSSI harus angkat kaki dari kampung ini,” kata Fais, pemuda kampung. Alhasil, pertemuan itu dibubarkan tanpa keputusan apapun.

Gejolak masyarakat Kampung Buatan II dengan WSSI akhirnya disambut Gubernur Riau Syamsuar, lewat Pj Sekretaris Daerah Riau Masrul Kasmy. Pemerintah mengundang para pihak dan sejumlah pejabat dari Siak, di ruang melati, Kantor Gubernur, 30 Juli 2021.

Sayangnya, Mamun Murod, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau, membuat musyawarah itu tertutup dengan melarang awak media masuk dalam ruangan. Tak jelas alasan pelarangan ini. Perintahnya itu pun diteruskan oleh sejumlah personil Satpol PP dengan menutup pintu dan menaruh papan pemberitahuan sambil berjaga-jaga di depannya.

Setelah hampir tiga jam, Murod, orang pertama yang keluar dari ruangan dan menjawab pertanyaan para jurnalis sambil menuruni anak tangga gedung dua lantai. Dia mengatakan, masyawarah akan dijadwal ulang karena tidak ada kata sepakat dan titik temu untuk menyelesaikan persoalan.

Pemerintah juga akan mencari upaya lain atau solusi terbaik supaya tidak mencederai sebagian pihak. “Mudah-mudahan dalam waktu secepatnya dapat memberikan masukan bagi kedua belah pihak.”

Penerbitan IPK buat WSSI, katanya, sudah sesuai prosedur. Pemerintah provinsi merujuk Peraturan Menteri LHK Nomor 62/2015. Dia menolak diadu domba dengan pemerintah kabupaten karena penerbitan IPK kewenangan provinsi sesuai aturan kehutanan. Karena itu, katanya, tidak perlu koordinasi, izin atau permisi pada kabupaten.

Murod menyebut, satu syarat penerbitan IPK adalah pemohon merupakan pemegang izin pelepasan kawasan hutan. WSSI adalah pemegang izin sekaligus membantah ada konflik karena tidak ada penguasaan dari pihak lain di areal yang terbit izin itu.

Dia juga membela WSSI. Katanya, kalau memang ada orang lain menumpang di izin itu sebenarnya bukan salah perusahaan.

 

Hutan alam tersisa dalam konsesi perkebunan sawit, PT Wana Sawit Subur Indah (WSSI). Foto: Jikalahari

 

Murod  tetap berkiblat pada izin pelepasan kawasan hutan WSSI dan kembali menegaskan, tidak ada konflik dalam penguasaan lahan.

Pernyataan Murod berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Masyarakat Kampung Buatan II sudah lama tidak ingin WSSI beraktivitas lagi, menimbang tidak ada manfaat bagi masyarakat kampung itu selama perusahaan mengelola kebun.

Murod punya jawaban lagi. Katanya, pengelolaan kebun adalah hal berbeda dengan kewenangan pemerintah provinsi dalam menerbitkan IPK.

“Kalau kebun ke Dinas Perkebunan, kalau IPK tentang pemanfataan kayu. Kewenangannya kalian tahu,” katanya.

Azmi, Ketua DPRD Siak sangat kecewa dengan pertemuan siang sampai sore hari itu.

Murod, katanya, banyak berkilah dan kukuh tidak mau mencabut IPK yang terlanjur diberikan pada WSSI. Alasannya, takut kena gugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Dia bilang, masyarakat minta IPK dicabut karena terdapat pelanggaran dalam penerbitannya. Salah satu, berkaitan dengan konflik di lapangan. Dia menyoal, pemerintah provinsi abai karena tidak koordinasi dengan Pemkab Siak, Kecamatan Koto Gasib termasuk tidak ada verifikasi lokasi. Hal itu, dinilai sebagai bentuk kesalahan pemberi izin yang terkesan ada pembiaran konflik dan tak berpihak pada masyarakat.

Selain konflik, kata Azmi, isu lain juga masalah kebakaran hutan dan lahan yang hampir saban tahun membuat udara di Kecamatan Koto Gasib. Terytama, Kampung Buatan II tercemar dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Belum lagi janji kebun plasma yang tak kunjung nampak di mata masyarakat “Masyarakat tak percaya lagi dengan perusahaan.”

Intinya, masyarakat ingin WSSI menghentikan aktivitas di sana. Bila perusahaan ngotot mengambil kayu berdasarkan IPK, ancaman keributan pun tidak akan terelakkan.

Masyarakat, katanya, tidak ingin berurusan lagi dengan WSSI, apapun tawarannya karena merasa tertipu dalam 20 tahun ini. Masyarakat juga kecewa dengan janji-janji WSSI yang tidak pernah terealisasi.

Sebelum meninggalkan kantor gubernur, Azmi juga mengingatkan pemerintah provinsi. Bila dalam penerbitan IPK ada nuansa suap, dia akan lapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Meski belum punya temuan terkait itu, dia serius akan mencari indikasinya.

“Itu hak kita untuk melapor.”

 

Akasia di areal izin PT WSSI. Foto: Jikalahari

 

Perusahaan tak taat

M Ihsan, Kabid Perkebunan, Dinas Pertanian Siak, mengatakan, WSSI tergolong perusahaan yang tidak taat melaporkan penilaian usaha perkebunan (PUP), sejak memperoleh IUP dari Kementerian Pertanian, pada 2001. Terakhir kali perusahaan serahkan laporan PUP ke Dinas Pertanian Siak pada 2018. Padahal, berdasarkan Permentan No 7/2009, PUP paling kurang satu tahun sekali untuk tahap pembangunan dan tiga tahun sekali untuk tahap operasional.

WSSI, katanya, berada dalam tahap operasional. Penilaiannya meliputi berbagai macam item mulai dari legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan hingga pelaporan.

Sejak akhir tahun lalu, Dinas Pertanian Siak sebenarnya sudah menyurati bahkan memperingati WSSI agar memenuhi kewajiban itu. Sayangnya, surat yang mereka layangkan justru dua kali mental dan dikembalikan oleh kurir jasa pengiriman. Pasalnya, alamat kantor WSSI yang ditujukan dalam surat itu tak ada penghuninya.

Dinas Pertanian Siak mau tidak mau akhirnya mengirim surat itu ke nomor WhatsApp Humas WSSI. Karena aturan birokrasi yang mengharuskan pengiriman surat memiliki tanda terima, Ihsan serahkan kembali surat-surat itu ke Humas WSSI dan kuasa direktur perusahaan yang turut hadir dalam pertemuan di Kantor Gubernur Riau.

Di sana, Ihsan juga menyerahkan lampiran tentang PUP yang harus diisi perusahaan. Perwakilan WSSI, kata Ihsan, siap melaporkan tanggungjawab selama ini. WSSI punya tenggat waktu 11 Agustus untuk ekspos langsung hasil penilaian ini di Dinas Pertanian Siak. Bila tidak, dia akan menggolongkan WSSI dalam kebun kelas E atau lima. Berarti, WSSI berstatus tak layak dan Pemerintah Siak akan rekomendasi pencabutan IUP ke Kementerian Pertanian.

Menurut Ihsan, melihat fakta-fakta di lapangan, WSSI sebenarnya sudah masuk kategori sebagai perusahaan tidak layak lagi mengelola kebun sawit. Namun, mereka tetap ingin menjalankan prosedur penilaiaan sesuai aturan.

Setelah evaluasi pun, WSSI juga akan diberi tenggat waktu enam bulan memperbaiki kekurangannya.

 

Kantor PT WSSI sesuai alamat yang tertera dalam profil perusahaan. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

***

Kalau merunut keputusan Riau Helmi D, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Direktur WSSI mengajukan permohonan izin pemanfaatan kayu, awal September tahun lalu.

Dalam surat kuasa 15 Oktober 2020, direktur WSSI menyatakan tidak ada konflik dengan masyarakat terhadap areal yang dia mohonkan.

Perihal konflik inilah yang membuat masyarakat Koto Gasib, terutama dari Kampung Buatan II, geram. Menurut warga, WSSI berbohong karena melaporkan keadaan yang tidak sebenarnya.

Padahal, mereka sudah puluhan tahun bergejolak karena perusahaan ini tak pernah memenuhi tanggungjawab sosial ekonomi masyarakat kampung. Termasuk, pembohongan atas kewajiban pembangunan kebun plasma.

Setelah pernyataan tak ada konflik oleh WSSI, satu minggu kemudian, Kepala Balai Pengelolaan Hutan Produksi (BPHP) Wilayah III dalam surat pertimbangan teknis menyatakan, WSSI telah melengkapi persyaratan administrasi dan lokasi itu berada dalam areal pelepasan kawasan hutan.

Pada 23 Desember 2020, Mamun Murod, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Riau juga mengeluarkan surat perihal kegiatan pengukuran, pengamatan dan pencatatan terhadap pohon yang akan ditebang WSSI. Istilah ini disebut timber cruising. Luas areal yang dikerjakan sekitar 1.577 hektar. Setelah semua kayu diambil dan dijual, WSSI selanjutnya hendak menanam sawit di lokasi yang masuk dalam IUP itu.

WSSI membayar 25% provisi sumber daya hutan (PSDH) yang jadi kewajibannya. Berdasarkan keputusan penerbitan IPK pada 23 Maret 2021, target produksi kayu akasia dari luasan izin yang diperoleh mencapai 206.752,67 meter kubik. Dengan tarif PSDH Rp8.400 per meter kubik, total mencapai Rp1.736.722.428.

WSSI menyerahkan penebangan kayu pada PT Nazril Mandiri yang beralamat di Kampung Buatan II, Koto Gasib, Siak, Riau. Masrizal, kontraktor perusahaan ini, juga warga setempat. Dia juga anggota Koperasi Buatan Makmur, koperasi yang semestinya mengelola kebun plasma di kampung itu.

Dihubungi, Jumat malam, 6 Agustus, dia mengabarkan terus bekerja menebang kayu akasia, meski ada penolakan dari masyarakat. Dia bilang, masalah yang terjadi itu urusan WSSI dengan masyarakat, dia hanya menjalankan tugas sesuai perjanjian kerjasama. Dia menyarankan, masyarakat yang menolak IPK supaya menggugat WSSI ke PTUN.

Masrizal sudah menebang sekitar empat blok dengan perkiraan 30 hektar tiap blok. Selain menebang, dia juga bertanggungjawab mengangkut kayu.

Dia enggan menjawab, ke mana potongan kayu-kayu ini akan dibawa. “Pertanyaanmu terlalu jauh. Kayu-kayunya saja belum keluar dari lokasi. Saya tidak berwenang menjawab itu.”

Masrizal bilang, tidak ada konflik di masyarakat terkait penebangan kayu dalam areal IPK WSSI. Sebaliknya, keributan belakangan ini, dia anggap hanya reaksi segelintir orang dengan disutradarai dan diskenario oknum-oknum tertentu. Oknum itu, katanya, mau menggagalkan penebangan akasia karena hendak menguasai lahan.

Masrizal tidak terus terang terkait oknum yang dimaksud dengan alasan tidak ingin menambah keributan. Dia tidak pungkiri juga masalah ini hingga berupaya mencari jalan tengah. Saat ini, dia dan WSSI termasuk Penghulu Buatan II menyusun skema kontribusi dari hasil penebangan kayu buat masyarakat setempat.

Rencananya, masyarakat Buatan II akan kebagian Rp30.000 tiap ton kayu yang ditebang. Estimasi Masrizal, uang yang akan diperoleh sekitar Rp6 miliar lebih. Selain itu, WSSI juga akan menambah 107 hektar lagi lahan plasma dari 793 hektar yang pernah disepakati jauh hari sebelumnya.

Materi kesepakatan ini belum dibahas bersama masyarakat karena akan disampaikan terlebih dahulu ke Pemerintah Siak. Sembari itu, Masrizal juga terus berkomunikasi dengan tokoh masyarakat untuk mencari jalan keluar lain dari permasalahan ini.

“Saya pengen, disamping cari makan juga bisa berbuat untuk orang banyak. Saya tetap berpikir supaya masyarakat kami sejahtera.”

Hasri, Humas WSSI, tak kunjung memberi kabar terkait janji wawancara. Dihubungi, 4 Agutus lalu, dia tidak menolak diminta konfirmasi tetapi hendak bicara terlebih dahulu dengan kuasa hukum perusahaan. Setelah dihubungi lagi beberapa kali tak ada jawaban sama sekali. Terakhir, dari dalam sambungan telepon dia mengatakan sedang ada pertemuan. Selanjutnya, tak ada kabar lagi.

Durakim, penasihat hukum WSSI, yang mendampingi perusahaan saat tersangkut kasus kebakaran hutan dan lahan , mengatakan, urusan pengelolaan kebun termasuk kayu-kayu tanggungjawab pihak ketiga. Info yang dia peroleh, WSSI tidak menerima hasil apapun.

Durakim tidak beri penjelasan dengan rinci. Dia tidak berkenan menghubungkan Mongabay dengan direksi WSSI untuk mendapatkan penjelasan lengkap. Alasannya takut melanggar etika. Dia juga tidak menjawab pertanyaan alamat Kantor WSSI yang tidak jelas di mana.

 

Kantor PT WSSI yang disebut warga sekitar pindah di sebelah kantor pertama dalam kondisi rusak parah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Begini kondisi ‘kantor’ dan kebun perusahaan

Ruko empat petak di Jalan Teratai, Kelurahan Padang Terubuk, Kecamatan Senapelan, Pekanbaru itu seperti sudah lama ditinggalkan. Tak ada aktivitas sama sekali. Halaman depan ruko hanya jadi tumpangan parkir bagi orang yang hendak belanja ke Pasar Kodim, sekitar satu kilometer dari situ.

Untuk mencapai ruko itu, harus menaiki lima anak tangga terlebih dahulu, sebelum menginjakkan kaki di teras. Lantai berkeramik kuning tua tetapi beberapa keping mulai retak bahkan telah lekang.

Pintu model besi lipat berwarna cokelat, tertutup rapat dan digembok. Begitu juga pintu garasi sebelah kanan ruko.

Tiang-tiang pembatas antar ruko juga dilapisi keramik putih hingga ke lantai empat. Dinding dari lantai dua sampai paling atas hanya sebagian tertutup kaca. Sedangkan beberapa bagian lain melompong begitu saja.

Mongabay menyambangi bangunan itu, 6 Agustus lalu. Berdasarkan profil terakhir perusahaan, satu dari tiga ruko dengan nomor 46/34 itu adalah kantor WSSI.

Menurut orang sekitar, tempat ini sudah hampir 10 tahun ditinggalkan. Seorang warga yang mengenal WSSI mengatakan, perusahaan ini telah memindahkan kantor di sebuah rumah persis di sebelah garasi ruko, sekitar lima tahun lalu.

Namun, bangunan berbentuk L itu bernasib lebih buruk dibanding ruko tadi. Pagar besi lenyap. Tiang bendera sebelah pohon bintaro, tumbang hampir menyentuh teras yang disanggah tujuh pilar bermaterial kayu. Pada ujung tiang besi itu ada sepasang sandal jepit hitam.

Dinding kantor ini ditutup kaca tembus pandang. Pintu depan terkunci tetapi bagian belakang ternganga begitu saja termasuk genteng banyak jebol. Dalamnya berantakan. Pakaian, kertas dan beberapa peralatan kantor berserakan di lantai hingga meluber ke luar pintu. Sangat kotor.

Tak ada informasi apapun dari rumah bernomor 40 itu. Hanya ada stiker pemberitahuan, bahwa PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan (UP3) Pekanbaru memutus sementara aliran listrik karena menunggak.

Seorang pedagang sekitar mengatakan, setelah Lebaran lalu, dua karyawan tidak pernah ke kantor lagi. Selama di sana, orang itu hanya melihat dua karyawan itu saja, tidak pernah ada penambahan maupun pengurangan.

Dia pernah mendengar keluhan karyawan itu mengenai gaji dan pesangon yang tidak dibayar bila mengundurkan dari perusahaan. “Sejak ditinggalkan barang-barangnya banyak dicuri. Termasuk teralis jendelanya.”

Status alamat WSSI sejalan dengan kondisi kebun. Kala pejabat Dinas Pertanian Siak meninjau lokasi, mereka tak pernah melihat satu aktivitas manusia pun yang bekerja untuk perusahaan di sana. Hanya ada seorang sekuriti terkadang tiba-tiba nongol, itupun tanpa pos jaga. Bahkan sama sekali tak ada kantor di kebun termasuk gudang yang wajib menyimpan peralatan pemadam kebakaran. Mengingat, areal WSSI yang bergambut sangat rawan terbakar.

M Ihsan, mengatakan, terakhir kali mereka ke kebun WSSI tahun lalu. Kala itu, mereka mengecek bibit sawit karena WSSI hendak membangun kebun plasma buat masyarakat.

Sayangnya, pembangunan kebun itu batal karena bibit-bibit yang disediakan tidak layak. Jangankan itu,tanaman sawit perusahaan yang telah ditanam sekitar 1.350 hektar saja tumbuh dalam kondisi tak produktif. Kebun berselimut semak dan tak tertata dengan baik. Bahkan, pohon-pohon akasia pun tumbuh di atas lahan bertatus area penggunaan lain (APL) itu.

 

Kondisi dalam rumah bertipe L, yang disebut warga kantor perusahaan setelah pindah dari ruko, sebelah. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Karhutla berulang

WSSI dua kali terlibat tindak pidana lingkungan hidup karena kebakaran lahan pada 2015 dan 2019. Pertama, menjerat seorang tokoh masyarakat Buatan II yang ditunjuk menjadi pimpinan kebun, Thamrin Basri. Setelah menjalani hukuman empat tahun berdasarkan putusan Mahkamah Agung, kini, dia paling depan menyuarakan pencabutan izin WSSI. Kehadirannya tampak dari unjuk rasa bersama masyarakat termasuk dalam musyawarah di kantor gubernur.

Kedua, Bareskrim Polri langsung menyeret perusahaan. Pada 26 Januari lalu, tiga majelis hakim Pengadilan Negeri Siak, Acep Sopian Sauri, Pebrina Permata Sari dan Farhan Mufti Akbar menghukum WSSI denda Rp3 miliar plus pidana tambahan Rp40,8 miliar.

Majelis menyatakan WSSI lalai karena, areal yang luas tidak didukung sejumlah sarana dan prasarana memadai guna mencegah dan mengendalikan kebakaran. Perusahaan sawit ini juga tidak pernah melaporkan kegiatan perlindungan lahan dari kebakaran, bahkan tidak pernah menyampaikan perkembangan usaha perkebunan.

Selain itu, pertimbangan berat majelis adalah, kebakaran di lahan WSSI selama 37 hari telah menimbulkan asap tebal di mana-mana yang mengakibatkan pemanasan global, mengganggu kesehatan masyarakat terdampak hingga merusak lingkungan.

Tiga bulan lalu, tiga hakim Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Khairul Fuad, Syafwan Zubir dan Iman Gultom menguatkan putusan majelis tingkat pertama. Direktur WSSI Desi binti Sutopo yang mewakili perusahaan selama proses pidana, lewat penasihat hukumya Dzulkifli Usaman, kembali menempuh upaya kasasi. Belum ada putusan hakim agung sejak memori kasasi dikirim pada 26 Juli lalu.

 

 

******

Foto utama: Kebun sawit dan kanal di konsesi perusahaan. Foto: Jikalahari

Exit mobile version