Mongabay.co.id

Aksi Nelayan Teluk Moramo Hadapi Perubahan Iklim

 

 

 

 

Hujan terus mengguyur Teluk Moramo pada penghujung Juni lalu. Saribulan, nelayan perempuan Bajo dari Desa Pesisir Labotaone, Kecamatan Laonti, Konawe Selatan pun tidak bisa turun melaut.

Hampir setengah jam Saribulan duduk dari balik pintu rumah menghadap laut. Tangan kanan terus memegang tombak yang telah dipersiapkan untuk menangkap ikan.

Sore hari—waktu terbaik tangkap ikan di perairan pesisir desa, kala air laut sedang surut.

“Cuaca tidak menentu. Adakalanya panas, adakalanya tidak. Begitu juga angin. Kadang kencang, kadang teduh” katanya.

Saban hari, Saribulan dibantu anak perempuan dan cucunya yang masih kanak-kanak menangkap ikan. Berperahu mereka mengitari perairan dangkal di sekitar desa.

Di sini, sudah sangat jarang untuk mendapati terumbu karang sehat. Banyak karang rusak karena pemboman ikan kerap terjadi.

Dari hasil pengamatan selama bertahun-tahun, ikan terus berkurang. “Biasanya di karang yang masih bagus ada ikan. Sekarang sudah tidak ada.”

Nelayan pun mesti menyesuaikan dengan perubahan cuaca. Dulu, nelayan menangkap ikan siang hari, sekarang jadi lebih awal. Mereka beradaptasi dengan cuaca dengan turun jaring ikan pukul 4.00-7.00 kala suhu laut hangat dan kondisi angin sedang teduh.

Ada juga nelayan yang terpaksa harus mengganti perahu layar ke kapal motor karena perubahan cuaca ini. Rusdin, nelayan 74 tahun dari Desa Pesisir Woru-woru ini salah satunya.

“Kalau dulu masih pakai perahu layar, teratur musim. Sekarang pakai mesin karena cuaca tidak teratur,” katanya.

Perahu yang dia gunakan panjang delapan meter dengan mesin motor berkekuatan 10 pk. Sekali turun melaut perlu biaya Rp50.000.

Dalam seminggu, Rusdin enam hari berturut-turut melaut di Teluk Moramo dengan rata-rata tangkapan ikan per hari 10 kg. Hasil tangkapan itu dia jual ke penampung Rp25.000 per kilogram.

Ada juga nelayan yang mencari ikan lebih jauh lagi sampai ke Laut Banda, Flores, maupun perairan Maluku Utara. Tindakan ini sangat berisiko tinggi terhadap keselamatan mereka.

Mangrove di beberapa desa pun tergerus. Sebagian terpaksa gunakan dana desa untuk bangun talud. Talud berfungsi melindungi pemukiman dari terjangan gelombang, lantaran permukaan air laut terus mengalami kenaikan setiap tahun.

 

Baca juga :  Nelayan dan Masyarakat Pesisir Terdampak Perubahan Iklim?

Saribulan) memegang tombak bersiap-siap turun ke laut menangkap ikan di perairan dangkal Desa Pesisir Labotaone, Teluk Moramo. Foto: Riza Salman

 

Tambak di hutan mangrove

Melaut makin sulit, membuat sebagian warga tangkap banting setir jadi petambak. Mangrove di muara sungai mengalami kerusakan.

Keuntungan dari pengelolaan tambak akan menginspirasi warga lain ikut menggusur mangrove untuk tambak. Padahal, hutan mangrove berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem Teluk Moramo.

Belum ada data jelas soal luasan pembukaan tambak. Dari hasil pantauan lapangan, terlihat beberapa titik tambak di sepanjang bantaran muara sungai yang menjadi rumah mangrove.

Forum Peduli Pengelolaan Akses Area Perikanan (PPAAP) Sunu Lestari menyebutkan, aktivitas pembukaan tambak oleh warga setempat tanpa izin pemerintah desa.

Forum PAAP Sunu Lestari ini menaungi ratusan nelayan yang tersebar di sembilan desa di Teluk Moramo yang terdampak perubahan iklim.

Abdul Majid, Ketua Forum PAAP khawatir, hutan Mangrove terus berkurang di Teluk Moramo makin memperburuk sumber daya laut teluk ini.

Kekhawatiran Majid bukan tanpa alasan. Pada 2011, dia membantu Balai Budidaya Air Payau Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, meneliti hutan mangrove Teluk Moramo. Hasilnya, udara panas karena vegetasi mangrove menipis akan berdampak pada kerusakan tanaman rumput laut. Upaya mitigasi, katanya, perlu dilakukan di Teluk Moramo.

 

Baca juga :  Bagaimana Ancaman Perubahan Iklim di Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil?

. Pembukaan lahan tambak masih terjadi di hutan Mangrove Teluk Moramo. Hutan bakau berperan penting mencegah proses sedimentasi di area muara Teluk Moramo. Foto: Riza Salman

***

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Sulawesi Tenggara mengatakan, Teluk Moramo adalah wilayah di bagian kaki arah tenggara Sulawesi yang mengarah ke barat, berbatasan langsung dengan Laut Banda. Secara geografis, teluk ini rentan terpapar angin kencang dan gelombang tinggi di periode angin timur.

Berdasarkan pantauan BMKG Stasiun Maritim Kendari dalam dua tahun terakhir, arah dominan angin di setiap bulan bertiup dari timur ke barat. Situasi ini membuat pesisir Sulawesi Tenggara yang menghadap timur sering menghadapi gelombang tinggi lebih 1,25 meter sepanjang bulan.

“Sedikit sekali kita liat berubah ke angin barat. Hanya seminggu balik ke angin timur” kata Faizal Habibi, Koordinator Bidang Observasi dan Informasi BMKG Stasiun Maritim Kendari,, Agustus lalu.

Perairan laut di Sultra jadi hangat. Uap di laut dibawa masuk ke pesisir oleh angin timur. Dari pengamatan satelit terhadap pola hujan, peningkatan pembentukan awan-awan hujan pada dini hari di laut.

Peningkatan frekuensi gelombang tinggi dan dominasi angin dari satu arah hampir sepanjang tahun, mengindikasikan perubahan pola karakteristik iklim di perairan laut.

“Jadi, indikasi perubahan iklim di kemaritiman ada bila dibandingkan dengan iklim normal” katanya.

Perubahan iklim adalah perubahan pola dan kekuatan unsur iklim pada periode waktu yang dapat dibandingkan. Biasa rata-rata 30 tahun. Ia merupakan perubahan pada komponen iklim yaitu suhu, curah hujan, kelembaban, penguapan, arah dan kecepatan angin serta perawanan.

Sebelumnya pada 2013, BMKG Stasiun Maritim Kendari merilis Atlas Kerentanan Perubahan Iklim di Sulawesi Tenggara. Atlas itu menunjukan tren perubahan iklim yang terjadi dengan series data berkisar 1976-2012.

Pembuatannya gunakan data curah hujan dan suhu harian, yang dikumpulkan dari stasiun-stasiun BMKG dan pos-pos pengamatan hujan yang tersebar di Sulawesi Tenggara.

Di Teluk Moramo, Konawe Selatan, tren hari hujan berturut-turut atau consecutive wet days (CWD) mengalami kecenderungan peningkatan 12 hari per tahun. Kebalikan dengan tren panjang kemarau atau consecutive dry days yang mengalami penurunan atau jadi lebih pendek.

Sementara tren frekuensi curah hujan lebat lebih 50mm/hari mengalami peningkatan enam hari per tahun. Tren suhu rata-rata mengalami kecenderungan penurunan.

“Untuk sekarang, suhu permukaan laut kita harusnya sudah di bawah normal…dingin. Karena kita memasuki musim kemarau” kata Faizal.

 

Rumah nelayan Suku Bajo ditempati tiga generasi di Desa Labotaone, Teluk Moramo, Kabupaten Konawe Selatan. Foto: Riza Salman

 

***

Menteri Perikanan dan Kelautan, Sakti Wahyu Trenggono melalui surat keputusan bernomor 22/2021 pada pertengahan Maret lalu, menetapkan Perairan Teluk Moramo dan pulau-pulau kecil sekitarnya dengan luasan 21.902,34 hektar menjadi kawasan konservasi.

Keputusan itu terbit untuk melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan keanekaragaman hayati laut seperti potensi perikanan, terumbu karang, padang lamun, mangrove di perairan Teluk Moramo. Pemerintah Sulawesi Tenggara ditunjuk sebagai pengelola Taman di Perairan Teluk Moramo.

Meskipun sudah penetapan status kawasan konservasi itu, masih ada risiko kerusakan di laut dan darat Teluk Moramo, antara lain, persoalan penyusutan mangrove tadi.

Anung Wijaya, analis Kawasan Konservasi DKP Sulawesi Tenggara mengatakan, mengatasi berbagai masalah itu, perlu manajemen pengelolaan kolaboratif dari berbagai pihak, termasuk Pemerintah Kota Kendari.

Pengelolaan Kawasan Konservasi Teluk Moramo, mencakup tiga wilayah administratif, yaitu, Kabupaten Konawe Selatan, Konawe dan Kota Kendari.

“Kita coba cari pendekatan mana lebih efektif. Selama ini cara yang kita lakukan masih banyak kekurangan dan belum efektif .”

Rare menerbitkan Penilaian Kerentanan Perubahan Iklim atau Climate Change Vulnerability Assessment (CCVA) di Teluk Moramo pada 2020. Penilaian ini untuk mengidentifikasi besaran ancaman oleh perubahan iklim dan peluang untuk aktif beradaptasi dan berkembang dalam kondisi berubah.

Ada lima komponen yang teridentifikasi, yaitu, paparan, sensitivitas ekologis, sensitivitas sosial, adaptasi ekologis, dan kapasitas adaptif sosial. Kelima komponen itu diukur menggunakan 26 variabel untuk menghitung penilaian kerentanan perubahan iklim di masing-masing lokasi.

Hasilnya, Teluk Moramo paling rentan terhadap perubahan iklim dengan kapasitas adaptasi sosial yang rendah. Rare Indonesia merekomendasikan  tindakan respon utama kepada masyarakat nelayan pesisir untuk beradaptasi terhadap dampak kerentanan perubahan iklim.

Rare Indonesia memfasilitasi kelompok nelayan di Teluk Moramo, antara lain yang tergabung dalam Forum PAAP Sunu Lestari dengan aplikasi Ourfish di perangkat gawai.

Aplikasi ini memungkinkan pembeli membeli jenis, jumlah, dan harga ikan dari kelompok nelayan.

Pencatatan ini akan memperlihatkan ukuran pasar lokal dan memberikan data tentang skala tangkapan. Pengumpulan data pembeli berulang akan memberikan data tentang variasi musiman dan tren jangka panjang, yang berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk penurunan ikan.

Nelayan yang melaporkan tangkapan masuk daftar melalui aplikasi pendaftaran nelayan. Sistem ini untuk membantu pengelola sumber daya memahami berapa banyak orang menangkap ikan di perairan pesisir dan berapa banyak ikan ditangkap.

Safril Kasim, akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Ilmu Lingkungan Universitas Halu Oleo di Kendari mengatakan, terdapat beberapa persoalan yang memperparah kerentanan Teluk Moramo terhadap perubahan iklim.

Konsekuensi pesatnya pembangunan di sepanjang lingkar teluk Kota Kendari sebagai ibu kota provinsi Sulawesi Tenggara, berkontribusi terhadap perubahan iklim di Teluk Moramo, yang jarak antara dua wilayah ini saling berdekatan. Sementara keberlangsungan hutan mangrove sangat penting sebagai penyerap karbon paling tinggi dibanding vegetasi hutan lain.

Sejalan dengan penelitian Irfan Ido, dari Universitas Halu Oleo, berjudul “Analisis Pemanfaatan Ruang Pesisir terhadap Kondisi Luas dan Kerapatan Vegetasi Hutan Mangrove di Kendari.”

Penelitian ini gunakan metodologi analisis deskriptif kualitatif dan analisis citra. Hasilnya,, pada 1990, hutan mangrove Teluk Kendari seluas 220,03 hektar. Pada 2017, turun jadi 103,32 hektar.

Analisis Normalized Difference Vegetation Index menunjukkan, terjadi perubahan kerapatan hutan mangrove sangat signifikan dengan rentang waktu setiap 13 tahun.

Perubahan ini, katanya, sangat berkaitan dengan kegiatan manusia seperti penebangan hutan mangrove jadi tambak, jalan dan pemukiman.

“Berikutnya kecenderungan industri kan mengarah ke sana. Apalagi di sekitar Teluk Moramo terdapat beberapa industri pertambangan nikel” kata Safril.

Dia bilang, penting menjaga mangrove untuk membantu menjaga ketersediaan sumber daya ikan di laut yang tidak akan habis. Baik untuk pembibitan ikan, udang, dan berbagai potensi laut lain.

Safril contohkan, pengelolaan hutan mangrove yang ideal berbasis kemasyarakatan di Tanjung Benoa, dengan sebutan Taman Hutan Rakyat Ngurah Rai, di Bali. Hutan mangrove berfungsi sebagai paru-paru wilayah setempat, menjaga ekosistem pesisir pantai, kualitas air, mengatasi pencemaran laut dan meminimalisir abrasi laut.

 

*Tulisan ini merupakan felowship dari The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia.

 

Nelayan Desa Labotaone tidak mendapatkan ikan saat melepas jaring di sekitar terumbu karang yang rusak akibat aktivitas pemboman ikan di Teluk Moramo. Dalam 10 tahun terakhir jumlah tangkapan ikan di Teluk Moramo semakin berkurang. Foto: Riza Salman

 

*****

Exit mobile version