Mongabay.co.id

Adaptasi Orang Rimba Atasi Perubahan Iklim

 

 

 

 

Berminggu-minggu Tumenggung Nggrip, hilang ke tengah rimba di Taman Nasional Buit Duabelas, yang dingin. Dia tak keluar hutan kecuali urusan maha penting. Ternyata, Nggrip tengah menyiapkan taman obat.

Perlu dua jam lebih jalan kaki mendaki Bukit Disepa dan Bukit Penonton untuk bisa menemui pria berusia setengah abad lebih itu. Jalan setapak membelah bukit nan sunyi. Menelusuri lembab. Hanya ada suara belalang daun bersembunyi dari balik semak-semak.

Jalan menuju bukit begitu terjal dan licin.

Hampir seminggu di tengah Agustus, hutan di kaki taman nasional diguyur hujan. Padahal, para ahli iklim di BMKG memprediksi Agustus hingga September, adalah puncak musim kemarau. Prakiraan meleset.

Di kaki Bukit Penonton, dua rumah godong berukuran cukup besar muncul dari balik pohon yang rapat menutupi. Tak jauh dari sana, Nggrip terlihat tengah mengamati berbagai jenis tanaman yang mulai tumbuh.

Di lahan seluas 5×5 meter, ada ratusan polybag berisi bibit tanaman obat Orang Rimba. di pojok kiri, serumpun tanaman gadung mulai menjalar merambati sebatang kayu seukuran lengan.

Tiga bulan Nggrip menjelajahi berbagai penjuru hutan demi mengumpulkan tanaman obat. Dia ingat betul, ada 130 jenis tetapi beberapa tanaman layu dan mati karena tak tahan panas.

Panasnyo sekarang beda, lebih panas, dak kayak dulu,” katanya, sembari menata plastik polybag berona usang.

Pemimpin Kelompok Orang Rimba Kedundung Muda itu menunjukkan saya tanaman obat yang mulai langka. “Rumput loreng,” katanya.

Warna campuran merah dan hijau. Tanaman tinggi tak sampai setelunjuk jari orang dewasa itu dipercaya ampuh menyembuhkan batuk.

“Ini paten.”

Tumenggung Nggrip juga menunjukkan tanaman berdaun hijau panjang dengan lebar sejengkal. Dia menyebutnya, kemunel. Ini obat untuk bayi yang lahir prematur. “Kalau bayi belum cukup umur, dibungkus daun ini, nanti cepet sehat.”

Hasil ekspedisi Biota Media pada 1998 oleh IPB, LIPI, Universitas Indonesia dan Departemen Kesehatan, setidaknya ada 101 jenis tumbuhan dan 27 jenis cendawan berkhasiat obat. Seratusan jenis tanaman itu didapat dari pengetahuan Orang Rimba di wilayah Taman Nasional Bukit Duabelas.

Nggrip sengaja menyiapkan taman obat karena mulai sulit ditemukan di hutan. Macam kayu rusuk untuk obat batuk-demam parah. Duku hutan untuk obat malaria.

Bagi Orang Rimba, malaria menakutkan. Pada 2015, Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan Lembaga Bio Molekuler (LBH) Eijkman pernah studi kesehatan pada kelompok Orang Rimba di Kabupaten Tebo, Batanghari dan Sarolangun,. Hasilnya, 24,26% mereka terkena malaria. Prevalensi malaria di kelompok Orang Rimba sangat tinggi dibandingkan data umum prevelensi malaria di Jambi.

Sukmal Fahri, akademisi Kesehatan Lingkungan di Sekolah Tinggi Kesehatan Harapan Ibu (Stikes HI) Jambi mengatakan, peningkatan suhu karena perubahan iklim ikut memengaruhi tingginya kasus malaria di Jambi. Tesis dan disertasinya, mengungkap hubungan ledakan populasi nyamuk karena peningkatan suhu.

Dia coba jelaskan hubungan suhu yang makin hangat dan pengaruh pada percepatan tumbuh kembang nyamuk. Pemanasan suhu membuat siklus hidup nyamuk dari telur jadi kupa dan dewasa berlangsung lebih singkat.

“Sebelumnya, masa bertelur nyamuk 12 hari, karena peningkatan suhu hanya perlu tujuh hari,” katanya.

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Klimatologi Muaro Jambi mencatat, pada 2019, suhu rata-rata di Jambi naik 1,1 derajat celsius dibanding tiga dekade sebelumnya rata-rata 26 derajat celsius.

“Naik satu derajat itu sudah banyak sekali pengaruhnya,” kata Sri Utami, Forecaster BMKG Stasiun Klimatologi Muaro Jambi.

 

Baca juga: Nasib Orang Rimba, Baru Terusir dari Kebun Sawit, Kini Terancam di Konsesi HTI

 

Pada 2019-2020, suhu di Kota Jambi kembali meningkat 0,5 derajat celsius. Meningkatnya suhu bumi ikut memengaruhi siklus musim yang makin sulit diprediksi.

Rudi Syaf, Direktur KKI Warsi menyebut, apa yang terjadi di Jambi adalah tanda awal bencana iklim serius. Pelepasan emisi karbon kelewat parah adalah pemicu krisis iklim. “Trasnportasi, penggunaan energi fosil, hilangnya hutan, semua menghasilkan emisi karbon,” katanya.

Sepanjang tiga dekade terakhir Jambi kehilangan hampir 1,9 juta hektar lebih tutupan hutan. Akhir 2019, Warsi mencatat tutupan hutan di Jambi tersisa 900.713 hektar, berkurang 20.000 hektar dibanding 2017.

Data menunjukkan lebih buruk. Periode 2001-2018, Indonesia kehilangan 25,6 juta hektar tutupan pohon (tree cover), lebih luas dari Inggris.

Lenyapnya lahan tutupan pohon ini sebagian besar karena deforestasi usaha komoditas, seperti perkebunan sawit, karet, maupun pengoperasian tambang. Berkurangnya kanopi tutupan pohon terbesar di Indonesia terjadi pada 2015, mencapai 2,7 juta hektar.

Pada 2017 dan 2018, mengalami penurunan seiring pemberlakuan moratorium lahan gambut pada 2016. Meskipun begitu, masih banyak izin usaha perkebunan di hutan dan tumpang tindih perizinan pertanahan jadi ancaman bagi kelestarian hutan hujan tropis Indonesia.

Kiki Taufik, Kepala Kampanye Global untuk Hutan Indonesia – Greenpeace South East Asia menyebutkan, kehilangan hutan Indonesia ikut menyumbang emisi karbon 3,3 GigaTon selama 2007-2018.

Data terbaru dari University of Maryland dan tersedia di Global Forest Watch menyebutkan, daerah tropis kehilangan 12,2 juta hektar tutupan pohon pada 2020. Dari jumlah itu, 4,2 juta hektar, atau setara luas Belanda, terjadi di hutan primer tropis yang lembab, sangat penting untuk penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati.

Emisi karbon yang dihasilkan dari kehilangan hutan primer ini mencapai 2,64 Gt CO2 atau setara emisi tahunan 570 juta mobil. Bahkan, lebih dua kali lipat jumlah mobil di jalan raya di Amerika Serikat.

Laporan World Resource Institude (WRI) menunjukkan, Indonesia berada di posisi empat besar dari 10 negara teratas yang kehilangan hutan primer pada 2020, luas mencapai 270.057 hektar, di bawah Bolivia (276.000 hektar), Kongo (490.000 hektar) dan Brazil (1,7 juta hektar).

Prabung, dukun Orang Rimba mengatakan, banyak penyakit muncul setelah hutan di sekitar TNBD terbuka untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri.

Hampir setiap tahun gelabah (wabah) datang menyerang Orang Rimba dengan bermacam bentuk penyakit, mulai penyakit kulit, campak, cacar, demam, batuk, pilek hingga muntah berak.

“Kalau dulu angin racun masuk keno pado pohon, sebab panas tidak tembus ke tanah. Kalau sekarang tembus pado tanah akhirnyo keno manusio,” kata Parbung.

 

Baca juga: Potret Perempuan Iban dan Orang Rimba kala Hutan Hilang jadi Kebun Sawit

 

“Dulu, setahun belum tentu ado orang sakit, sekarang seminggu pasti ado yang sakit, sampai ado korban (meninggal).”

Data Dinas Kesehatan Sarolangun, kelompok Orang Rimba sangat rentan terserang diare, malaria, ISPA dan penyakit kulit. “Sekarang semuo penyakit lah lengkap,” ujar Prabung.

Mina Susana Setra Deputi Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) urusan sosial budaya mengkhawatirkan muncul ancaman zonoosis saat hutan banyak terbuka untuk perkebunan sawit atau industri ekstraktif.

COVID-19, katanya, bukti nyata dampak buruk pembabatan hutan, yang kini nyaris membuat lumpuh ekonomi seluruh negara, termasuk Indonesia.

Mina bilang, banyak penyakit muncul karena rantai makanan dan ekosistem terganggu. “Hewan yang seharunya hidup di hutan keluar ke kampung, ke kota, karena mereka terdesak akibat hutan dihabisi. Sementara mereka (hewan) itu membawa virus, akhirnya kena semua.”

Perempuan Dayak Pompakng itu makin khawatir langkah apa yang akan dilakukan pemerintah Indonesia untuk memulihkan ekonomi yang terpuruk karena pandemi ini. “Takutnya buka hutan lagi, apalagi sekarang ada omnibus law. Ini kan seperti perkawinan dua penjahat.”

Dampak buruk tak berhenti pada zoonosis, tetapi bencana seperti terjadi di Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Banjir menghantam dan menenggelamkan rumah-rumah, ladang, kebun dan lumbung pangan.

“Kalau anda ke Kalimantan, jangan tertipu dengan hutan yang tampak masih asri di pinggir jalan. Karena begitu masuk 50 meter ke dalam, gundul, dihabisi untuk sawit,” kata Mina.

Dia menghitung, hutan di Kalimantan, habis dalam kurun 20 tahun terakhir. “Banjir ini akibat penebangan hutan gila-gilaan.”

 

Pangan

Banyak Orang Rimba kehilangan ladang dan bermacam jenis ubi-ubian karena alihfungsi hutan begitu masif dalam rentang 1970-1980-an. Program transmigasi Hitam Ulu dan Air Hitam mengkonversi kawasan hidup Orang Rimba jadi petakan-petakan kebun sawit yang dianggap mampu melipatgandakan ekonomi masyarakat dalam waktu singkat.

Jalan lintas Sumatera yang menghubungkan antar lokasi transmigrasi, ikut memancing pendatang baru. Pertumbuhan penduduk di lokasi transmigrasi terutama generasi kedua, memberikan tekanan berat terhadap hutan tersisa.

 

Baca juga: Kala Anak-anak Orang Rimba Rentan Terserang Penyakit

Bibit gadung yang ditanam Tumenggung Nggrip, Pemimpin Kelompok Orang Rimba Kedundung Muda. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Meranggai ingat betul, dua dekade lalu dia masih merasakan nikmatnya beras dari padi janggut. Jini nyaris tak ada lagi Orang Rimba tanam padi turun-temurun.

Sedang bentang Bukit Duabelas terbagi-bagi untuk izin perusahaan. Ruang hidup Orang Rimba terkepung perkebunan sawit skala besar dan industri kayu yang rakus lahan.

Sari Aditya Loka, Grup Astra mendapat izin membabat hutan di sebelah selatan barat TNBD untuk perkebunan sawit. Sinarmas ikut mengusai di sebelah selatan lewat PT Bahana Karya Semesta.

Kemudian di bagian utara terbagi untuk izin HTI PT LKU. Di sebelah timur, habis digulung kebun karet PT. Wana Perintis.

Dalam dua dekade tutupan hutan pada bentang TNBD menyusut drastis. Pada 1990, tutupan hutan masih 175.487 hektar, dan 2020, tinggal 48.208 hektar.

Krisis iklim membuat masalah Orang Rimba makin kompleks, bukan hanya kehilangan lahan, tetapi banyak bibit mati, termasuk padi janggut.

Nggrip bilang, bibit padi mati karena di hutan sekarang makin panas. “Sekarang ini panasnyo lebih-lebih dari dulu, jadi mau tanam padi itu tidak biso lagi. Akhirnyo, bibitnyo mati.”

Di tengah himpitan ruang hidup yang makin sempit, sumber pangan di hutan makin menipis, populasi Orang Rimba, terus bertambah. Data BPS 2010, Orang Rimba tercatat 3.250 jiwa. Lima tahun setelah itu, KKI Warsi mencatat populasi Orang Rimba jadi 4.065. Lebih 1.800 jiwa hidup di Taman Nasional Bukit Duabelas.

Adi Prasetijo, antropolog Universitas Diponegoro mengatakan, Orang Rimba yang dikenal dengan budaya berburu-meramu dan hidup nomaden banyak mengandalkan sumber pangan dari hutan, sekalipun mereka sudah mengenal berladang.

Orang Rimba akan mengkonsumsi berbagai jenis umbi-umbian di hutan sebagai sumber karbohidrat. Sumber protein mereka dapat dari hasil buruan seperti babi, rusa, kancil dan lain-lain. Dengan hutan makin sempit, membuat mereka kesulitan mencukupi pangan.

“Dulu, ketika hutan masih luas, Orang Rimba bisa independen memenuhi kebutuhan sendiri. Sekarang, mereka bergantung orang luar. Hasil karet untuk beli beras, dan makanan lain dari luar,” kata pria yang 15 tahun meneliti kehidupan Orang Rimba itu.

Dampak paling buruk kelompok yang kehilangan hutan adalah krisis pangan. “Akhirnya, terjadi masalah pangan, kelaparan dan malnutrisi.”

 

Rumah godong, rumah adat Orang Rimba yang menggunakan dinding dan lainati dari kulik kayu, serta atap dari daun. Foto:Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Ladang

Masa pandemi COVID-19, membuat sebagian Orang Rimba kembali berladang, seperti dilakukan Depati Njalo.

Hampir dua tahun sejak Pandemi COVID-19 menyerang, Njalo tak lagi berburu. Senapan babi sepanjang satu meter lebih itu terlihat kusam karena terlalu lama tergantung di dinding. “Cari hewan buruan sekarang susah,” katanya.

Belakangan, babi banyak ditemukan mati di pinggiran sungai dan tak diketahui sebabnya. Njalo makin takut berburu. Dia memilih kembali berladang. Njalo membuka ladang tak jauh dari Sungai Sakoselensing di kaki tanam nasional untuk menyambung hidup.

Di lahan dua hektar, Njalo menanam singkong, jengkol, petai, cabai, nanas, karet dan sawit. Singkong dia pilih karena mudah ditanam dan cepat panen.

“Berburu sudah susah, satu-satunya langkah kito lari (buka) ke kebun.”

Masalah lain muncul. Kawanan monyet, beruk yang kelaparan kerap datang menyerang dan menjarah singkong di ladang Orang Rimba. “Sejam bae dak ditungu, habis dimakan cigak (monyet),” kata Prabung. Banyak waktu dia habiskan untuk berjaga agar sumber pangan tetap aman.

Upaya mengamankan pangan sebetulnya sudah dilakukan Nggrip sejak setahun terakhir. Pangan di hutan makin sedikit karena Orang Rimba makin banyak.

Benor, tubo manis, sumber pangan masih cukup banyak di hutan, tetapi rasa yang hambar hingga kurang dilirik untuk mereka konsumsi.

Gadung yang mengandung sianida punya rasa lebih enak dan mengenyangkan. Dia menunjukkan, beberapa rumpun gadung yang dia tanam tujuh bulan lalu. Ada puluhan rumpun tak lama lagi akan panen—musim panen gadung rata-rata 12 bulan.

“Kalau umbi-umbian dari hutan, hama gak mau nyerang, tapi kalau tanaman dari luar (singkong) itu habis dimakan beruk.”

Di sela-sela tanaman karet dia juga menanam banyak buah dari durian, cempedak, tampui, ridon, buah siu, kudu kuya, bekel, beton. Orang Rimba menyebutnya, nuaron atau kebun buah.

Nggrip bilang, penting tanam gadung. Sepuluh rumpun gadung, katanya, cukup untuk makan tiga bulan.

“Satu rumpun itu tidak diambil semua, sisakan separo biar dia berkembang lagi,” katanya, seraya jari-jari tangan mengorek tanah ingin menunjukkan isi gadung yang dia tanam mulai padat.

“Kalau setiap orang (keluarga) punya 100 rumpun, itu cukup untuk makan seumur hidup,” kata Nggrip.

Rakhmad Hidayat, Manajer Tata Kelola Perhutanan Sosial WRI mengatakan, gadung bisa jadi alternatif pangan di masa depan. “Sebagai cadangan makanan, gadung tidak punya musuh, karena beracun. Beda dengan ubi, babi mau makan.”

Dia menyarankan, gadung dikembangkan jadi pangan alternatif karena lebih ramah lingkungan. Dia juga menyebut beberapa penelitian menunjukkan gadung bermanfaat bagi kesehatan bahkan jadi bahan pestisida nabati.

“Bicara krisis iklim, gadung bisa jadi salah satu alternatif pilihan untuk dikembangkan,” kata Rakhmat.

Bagi Nggrip, apa yang dia upayakan untuk memastikan pangan anak dan cucu kelak tetap aman.

“Jangan sampai anak cucu kito kagek ribut karno dak ado makan.”

 

Tumenggung Nggrip menunjukkan tanaman obat yang mulai langka di hutan. Ia mengumpulkan tanaman obat untuk ditanam di taman obat. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Tulisan ini merupakan felowship dari The Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ) bekerja sama dengan World Resources Institute (WRI) Indonesia.

 

*****

Foto utama: Taman obat yang dibuat Tumenggung Nggrip di dalam Taman Nasional Bukit Duabelas. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version