Mongabay.co.id

Mandiri Pangan dari Pekarangan Rumah

 

 

 

 

Langit berawan tipis, mentari pun leluasa menerangi Dusun Krajan, Desa Sumber Waru, Kecamatan Sukowono, Jember, Jawa Timur, siang itu medio Agustus lalu. Sebuah rumah  dengan pekarangan penuh tanaman, dari sayur mayur sampai pohon buah-buahan tumbuh di lahan sekitar 88 meter itu. Rumah itu didiami satu keluarga, pasangan, Siti Halima dan Habibi Budi Utomo serta anak mereka,  Agus Junaidi.

Di lahan itu, beberapa bedeng jagung tumbuh berjejer tegak segar dengan buah masih muda. Tiga bedeng kacang tanah tumbuh sehat. Ubi jalar di beberapa ujung bedeng. Ada singkong, mentimun baru berbunga, tomat, labu, terong, sawi, bawang merah, kecipir dan cabai. Ada pula, pohon nangka, pisang, durian, kelapa, dan pepaya.

Laila, kerabat Halimah, cekatan memetik cabai, memotong bagian bawah sawi, memetik terong dan mengambil labu secara bertahap. Di bagian lain, Habibi sedang  menyirami bibit cabai di persemaian.

“Dari lahan ini, saya dan keluarga bisa makan sayur gratis. Alhamdulillah, kalau cuma sayur, tidak usah beli lagi,” kata Habibi.

Saat musim hujan, 60% lahan itu ditanami padi, 30% untuk jagung, 10% untuk sayur-mayur. Ketika kemarau, lebih banyak menanam sayur-mayur dan jagung.

Di pematang lahan, ditanami kelapa, pepaya, durian secara permanen, karena berdampingan dengan irigasi air ke lahan warga lain.

 

Tomat dari pekarangan rumah Halima. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Awalnya, lahan tani ini berupa rawa. Dari awal bermukim, mereka bingung mau buat apa lahan itu. Suatu saat, kata Habibi, seorang teman asal Bali berkunjung dan menyarankan manfaatkan lahan untuk ternak lele.

Dia pun bikin kolam ikan untuk ternak lele. Beberapa bulan berjalan, lele siap panen. Sayangnya, usaha tak berjalan mulus. “Cuma sekali panen ikan lelenya. Waktu itu, penghitungan modal dan omset tidak selaras. Lele banyak mati. Rugi. Kami pun kurang modal untuk melanjutkan,” katanya.

Dari situlah awal mula mereka banting setir memanfaatkan pekarangan rumah ke pertanian.

Habibi kelola lahan berbekal pengalamannya di kampung halaman, Yogyakarta, saat masih belum berkeluarga. Dia sudah terbiasa bertani karena berasal dari keluarga petani.

Awal mulai menanam, bibit sebagian mereka beli ke toko pertanian, sebagian memanfaatkan biji dari apa yang mereka konsumsi, seperti nangka, labu, cabai, tomat, pepaya, dan mentimun. Sedang kacang tanah, bawang, dari kerabat yang ada di desa sebelah, Desa Sokorejo, Sukowono, Jember.

Tanaman-tanaman ini mereka tanam secara alami, tanpa bahan-bahan kimia baik pestisida maupun pupuknya. Mulai dari penyemaian bibit, perawatan, mereka gunakan pupuk organik dan pestisida alami.

“Hasil panen sayur, ssperti sawi dan tomat dijual beberapa. Utama dikonsumsi sendiri juga dibagi ke kerabat dan tetangga. Mereka bisa ambil sendiri secukupnya dan gratis.”

 

Cabai dari pekarangan Halima dan Habibi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Karena panen lebih dari konsumsi sendiri, mereka jual sayur sebagian ke pasar.

Sejak pandemi, kata Halima, tetangga dan kerabat dekat mereka sering datang untuk ambil sayur mayur di pekarangan rumah. Halima mempersilakan mereka ambil secukupnua buat konsumsi.

“Saya biasa ambil tiga hari sekali,” kata Laila.

Dia merasa sangat terbantu memenuhi kebutuhan sayur mayur lewat lahan di samping rumah Halima dan Habibi.

Wahyuni, tetangga Halima mengatakan, sering mendapatkan seikat sawi, beberapa biji tomat dan sayur lain dari Halima. “Saat lewat di sana, kalau sudah siap panen, saya sering dapat bagian. Ya, semoga makin lancar. Saya mau juga niru Bu Halima. Sayangnya, enggak punya lahan di pekarangan.”

 

Kedaulatan pangan keluarga

Hayu Dyah Patria, ahli teknologi pangan dan pegiat tanaman liar merespon aktivitas Halima dan Habibi. “Bagus sekali. Karena mampu mandiri memenuhi kebutuhan pangan keluarga dari kebun mereka. Ini yang saya namakan berdaulat pangan,” katanya.

Dia menilai, yang dilakukan Halima dan Habibi bukan hanya bicara ketahanan pangan tetapi beraksi mewujudkan kedaulatan pangan. Dengan begitu, keluarga ini memiliki keputusan mengenai bahan pangan yang akan mereka konsumsi, bukan menggantungkan diri dari pasokan pasar.

Kedaulatan pangan yang mereka ciptakan untuk keluarga dan komunitas sudah tercipta sejak tahap awal, yaitu benih. Mereka melakukan penyemaian dan pembibitan sendiri, berarti benih tak mereka beli dari produsen benih pabrikan, melainkan mereka buat sendiri. ”

 

Tampak pekarangan Habibi dan Halima, penuh dengan beragam tanaman. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Dari segi gizi juga keluarga ini sudah menciptakan kedaulatan gizi dari awal, dari tanah. Tanah sehat akan menghasilkan tanaman sehat. Kalau dimakan kandungan gizi masih utuh, apalagi tanpa melalui rantai pangan panjang. Cukup satu jengkal mereka sudah mendapatkan bahan pangan dengan kandungan gizi utuh. Sesuatu yang sangat mewah.

Saat ini, kata Hayu, kebutuhan pangan dan pertanian sudah melalui rantai pangan terlalu panjang. Dampaknya, tidak hanya penurunan gizi pangan, namun transportasi panjang berarti menyumbang polusi banyak. Akhirnya, ia berpengaruh pada perubahan iklim global. Petani-petani pun, katanya, tidak mendapatkan harga layak karena rantai panjang.

Pemerintah, kata Hayu, sebenarnya tak perlu mengatur pangan masyarakat sampai detail. Sistem pangan tradisional sudah berjalan selama ratusan tahun dan terbukti mampu mendukung ketahanan pangan masyarakat dengan baik.

Pemerintah, katanya, hanya perlu mendukung sistem pangan tradisional, dengan tidak membabati hutan-hutan mereka, tidak mencemari alam, dan mendorong masyarakat bertani alami.

Bukan sebaliknya, malah memaksa petani pakai benih-benih hibrida yang harus dipakai dengan pestisida dan pupuk kimia buatan.

Selain itu, jalankan fungsi koordinasi dengan lebih baik. Banyak program pemerintah mengenai keragaman pangan namun yang sama mereka terus fokus produksi beras.

Fajar B. Hirawan, peneliti Ketahanan Pangan dari Departemen Ekonomi, Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, di tengah pandemi ini memang terjadi disrupsi terhadap perilaku masyarakat. Pembatasan kegiatan atau mobilisasi masyarakat dan kebiasaan kerja di rumah jadi faktor utama perubahan perilaku, terutama upaya masyarakat memenuhi kebutuhan pangan.

“Di masa pandemi, sejak masa PSBB hingga PPKM, otomatis sebagian masyarakat melakukan aktivitas di rumah. Beberapa di antara mereka memiliki waktu luang untuk kegiatan lain, seperti bercocok tanam,” katanya.

Bagi mereka yang punya lahan cukup besar, biasa cocok tanam secara tradisional. Bagi mereka yang punya lahan terbatas, bisa punya cara tersendiri bercocok tanam dengan media secukupnya, seperti pot atau hidroponik.

Jadi, katanya, kondisi pandemi mendorong mereka mengubah perilaku berbasiskan rumah tangga atau komunitas.

 

 

Jagung, sumber karbohidrat di pekarangan Halima-Habibi. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

*****

Foto utama: Bahan pangan keluarga Halima dan Habibi, mereka penuhi secara mandiri dari pekarangan rumah. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version