Mongabay.co.id

Kisah Sepasang Suami Istri di Togean Bersahabat dengan Babirusa

 

 

Seorang lelaki berkacamata minus dan seorang perempuan telah menanti kedatangan kami.  Ketika haluan perahu kami menyentuh garis pantai, lelaki itu tiba-tiba memberikan peringatan. 

“Turun pelan-pelan. Ada babirusa di halaman rumah kami,” katanya dengan suara agak pelan. 

Lelaki itu bernama Ating Solihin, lebih dikenal dengan sapaan dokter Ating. Sementara perempuan itu bernama Meidy. Mereka suami istri yang memutuskan tinggal di sisi utara Pulau Malenge, Kepulauan Togean, di perairan laut Teluk Tomini. Selain Malenge, ada beberapa pulau besar di Kepulauan Togean, seperti Pulau Wakai, Batudaka, dan Pulau Una-Una, atau Pulau Togean.   

Di Pulau kecil itu, Ating dan Meidy hidup bersama Hoki dan Maya, dua ekor anjing yang setia menemani mereka sejak awal. Juga, seekor kucing yang belakangan hadir di tempat mereka, entah dari mana datangnya. 

Tak banyak interaksi mereka dengan dunia luar. Keduanya memilih menikmati sepi sembari mendengar suara ombak di depan rumah, serta kicauan burung dan satwa-satwa endemik dari hutan belakang rumah mereka. Secara administrasi, Pulau Malenge tempat mereka tinggal berada di Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Provinsi Sulawesi Tengah.

Ketika Ating meminta saya berjalan pelan, pemandangan di hadapan saya sungguh menakjubkan. Seekor babirusa jantan dengan ciri khas taringnya yang melengkung ke atas, sedang memakan buah kelapa sambil dielus badannya oleh Meidy, sang istri. Ini adalah peristiwa unik dan jarang terjadi. Babirusa termasuk sulit ditemukan di hutan. 

Bahkan, satwa liar ini sulit sekali dilihat oleh peneliti dengan jarak dekat, tanpa harus bersembunyi di balik pondok pemantauan. Namun bagi Ating dan Meidy, seperti tak ada jarak dengan babirusa. Bahkan, mereka telah bersahabat, sangat akrab.

“Siapkan kamera kalau ingin memotret, tapi jangan terlalu banyak bergerak,” ucap Ating lagi.

Saat saya mendekat, babirusa itu kembali dielus oleh Meidy sembari mengucapkan sesuatu. Keduanya berinteraksi. Babirusa terlihat asyik melahap buah kelapa yang masih menyatu dengan tempurung dan menikmati sentuhan tangan Meidy. Awalnya, saya mengira babirusa itu jinak karena dipelihara. Ternyata tidak. Sebab, sekira sepuluh menit kemudian, ketika satwa itu melihat saya dan orang-orang baru makin mendekat, babirusa itu langsung lari. Meninggalkan halaman rumah Ating dan Meidy.

“Coco memang begitu kalau melihat orang asing. Dia akan lari ke hutan,” Ating tersenyum ketika saya kecewa melihat babirusa lari ke hutan. 

Kedekatan antara babirusa dan sepasang suami istri itu rupanya telah melahirkan sebutan akrab untuk si babirusa. Saat ini, terdapat tiga spesies babirusa yang bertahan hidup dan satu spesies sudah punah yang ditemukan dalam bentuk fosil. 

Baca: Mengapa Satwa Endemik Sulawesi Ini Bernama Babirusa?

 

Meidy bersama Coco, babirusa togean liar yang telah menjadi sahabat mereka di Pulau Malenge, Togean. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Coco memiliki nama ilmiah Babyrousa togeanensis [Togian Islands Babirusa], satwa eksotis dan endemik Kepulauan Togean. Artinya, satwa ini hanya akan ditemukan di Kepulauan Togean, tidak ada di pulau lain. Lembaga konservasi dunia IUCN, memberikan status babirusa ini Genting [Endangered/EN].  

Sementara dua spesies lainnya adalah babirusa sulawesi [Babyrousa celebensis], hidup di daratan utama Pulau Sulawesi, serta babirusa berbulu lebat atau Hairy babirusa [Babyrousa babyrussa] yang terdapat di Kepulauan Sula, Taliabu, dan Pulau Buru di Maluku dan Maluku Utara. Satu spesies yang sudah punah adalah babirusa Bolabatu [Babyrousa bolabatuensis] yang ditemukan dalam bentuk fosil, di semenanjung selatan Sulawesi.  

“Babirusa itu kami beri nama Coco, karena suka makan buah kelapa. Dia datang tiap hari. Sebenarnya ada satu lagi, namanya Chocho, tapi sudah mati karena sakit,” ungkap Ating. 

Baca: Tidak Hanya di Sulawesi, Babirusa Ditemukan juga di Pulau Ini

 

Coco, babirusa endemik Togean yang telah menjadi sahabat sepasang suami istri bernama Ating dan Meidy di Pulau Malenge. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Awal Persahabatan

Sore itu, 24 Agustus 2021. Setelah Coco kembali ke hutan, Ating dan Meidy duduk di bawah pohon kelapa dengan hembusan angin laut yang teduh. Keduanya menceritakan awal mula persahabatan yang bermula dua tahun lalu, 2019. 

Seperti biasa, Ating selalu masuk hutan untuk memantau kondisi satwa. Ia sering bertemu bermacam satwa liar penghuni hutan Pulau Malenge; tidak hanya babirusa, tapi juga monyet, kuskus, rangkong, hingga ular piton. 

“Saya melihat ada kotoran babirusa di halaman rumah, ada kubangannya tidak jauh dari hutan belakang rumah. Saya coba belah isi kelapa dan letakkan di meja belakang. Esok paginya kelapa itu hilang. Ternyata dibawa kabur babirusa,” ungkap Ating. 

Ating dan istri makin penasaran dengan cara babirusa memakan kelapa itu. Mereka kemudian memasang camera trap yang didapat dari donasi, dan ternyata betul ada babirusa yang mengambil kelapa. Setelah itu, pelan-pelan buah kelapa mereka dekatkan hingga ke halaman rumah. 

Hingga akhirnya, babirusa itu terbiasa memakan kelapa langsung dihadapan Ating dan Meidy, tanpa takut. Interaksi yang terjadi setiap hari, membuat Ating dan Meidy makin mengenal spesifik dua individu babirusa yang akhirnya diberi nama Coco dan Chocho. 

“Misalkan, Coco sering kena lalat babi. Kalau Chocho memiliki taring sudah patah,” tambah Meidy. 

Coco pernah datang dengan kaki terpincang dan luka dipenuhi lalat babi. Ating bersama istrinya segera mengambil tindakan. Meidy mengelus-ngelus tubuh Coco agar berbaring dan Ating melakukan tindakan anestesi; seperti operasi menyayat luka agar ada penyembuhan. Hasilnya luar biasa. Si Coco diam saja dan tenang, menghadapi operasi dadakan itu. 

Pada titik inilah, setelah kesembuhannya, Coco makin rutin mengunjungi Ating dan Meidy, setiap hari. Bahkan, ketika Meidy memberi makan ayam peliharaan, Coco menemaninya.  Coco juga akrab dengan Hoki dan Maya, anjing mungil peliharaan mereka. 

Bahkan pernah suatu malam, ada momen mereka makan malam bersama; Ating dan Meidy makan malam di dalam rumah, sembari menyaksikan Coco dan Chocho menikmati buah kelapa di halaman rumah. Begitu pun dengan Hoki dan Maya. 

Baca juga: Jalan Sunyi Abdul Haris Mustari Meneliti Anoa

 

Ating, hidup bersama istri di Pulau Malenge yang kecil dan berteman akrab dengan satwa endemik babirusa. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Dokter yang mencintai hutan

Ating Solihin lahir  tahun 1959 di Cikampek, sebuah kota berjarak 100 kilometer di timur Jakarta. Ia memiliki latar pendidikan seorang dokter. Hal inilah yang memudahkannya melakukan tindakan anestesi ketika Coco terluka.  

Keputusannya hidup bersama sang istri di Pulau Malenge, Togean, menjauh dari hiruk pikuk kehidupan dan arus deras informasi digital bukan karena kebetulan. Mereka ingin berkontribusi pada dunia konservasi.

“Saya dulu kuliah kedokteran di Universitas Gadjah Mada. Tapi sejak kuliah, saya justru berniat untuk kerja konservasi,” katanya.  

Setelah lulus dari kampus tahun 1989, karena kecintaannya pada isu konservasi dan satwa, Ating memilih mengabdi sebagai dokter di Papua. Hutan hujan tropis yang membuatnya tertarik. Tak tanggung-tanggung, Ating memilih Asmat sebagai tujuan pertama pengabdiannya. 

Di sana di mempraktikkan ilmunya dengan berkomitmen memberikan pelayanan kesehatan. Terutama, mengobati malaria yang dikombinasikan dengan aksinya menjaga keberlanjutan alam, serta perhatian pada masyarakat adat.

Dari Asmat, Ating pindah ke seluruh wilayah Papua di pedalaman maupun di pegunungan, hanya untuk penelitian malaria. Ia kemudian melanjutkan studi dua tahun di University of North Carolina, Amerika Serikat, dan kembali lagi ke Papua. Total, 10 tahun Ating melakukan pelayanan kesehatan sekaligus penelitian tentang malaria Papua. Ia kemudian mengab lagi ke Flores, Lombok, dan Kalimantan. Semuanya berada di kawasan hutan dan hanya sesekali pergi ke kota. Pada 2009 hingga 2012, ia sempat bekerja di Green School Bali. 

“Setelah itu saya berhenti dan memutuskan fokus pada konservasi. Saya kemudian ke Hutan Lore Lindu [Sulawesi Tengah], lalu Wakatobi, dan berakhir di sini, Togean,” cerita Ating. 

Keduanya resmi menetap di Pulau Malenge, Togean, pada 2014. Awalnya, mereka memiliki konsep konservasi dipadukan dengan ekowisata agar bisa mendapatkan pemasukan untuk bertahan hidup di pulau serta demi keberlanjutan alam. Sayangnya, turis-turis asing yang banyak datang ke Togean lebih banyak menyukai laut dan terumbu karang, sementara mereka lebih fokus ke hutan. 

“Kami membangun rumah di sini, ada pondok tamu, dan perpustakaan dengan dana terbatas. Listrik dari solar panel dan air dari hujan. Beruntung, istri saya terbiasa di hutan Papua, jadi kami menikmatinya,” kata Ating lagi.  

 

Meidy, istri Ating, yang setia menemani hidup di Pulau Malenge, Togean. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Mereka mendapatkan kedamaian di Togean. Di pulau ini tidak ada keinginan yang muluk. Hidup dalam keterbatasan justru membuat keduanya bahagia. Mereka nyaris tidak pernah membaca informasi di internet. Kemewahan mereka adalah menikmati udara bersih dari lanskap laut dan hutan, terlebih bisa bersahabat dengan satwa-satwa liar terancam punah. 

“Ekosistem laut dan hutan Togean yang membuat saya tertarik. Tapi di sini bukan tanpa masalah. Illegal loging dan bom ikan adalah dua persoalan serius,” kata Ating.  

Sebelum adanya pandemi corona, wisatawan asing banyak mendatangi pulau-pulau di Togean. Masyarakat memperoleh pendapatan alternatif. Namun ketika pandemi melanda, warga tidak ada pemasukan sehingga penebangan pohon terjadi dan bom ikan berlangsung. 

 


 

Menurut Ating, bila ada wisatawan maka aktivitas masyarakat terawasi. Pastinya, kegiatan merusak itu menjadi ancaman keanekaragaman hayati Kepulauan Togean, seperti halnya babirusa yang terancam punah. 

“Babirusa bisa menjadi spesies payung untuk menjaga ekosistem di hutan Togean,” ujarnya. 

Dari catatan perjumpaannya di hutan Pulau Malenge, tempat dia tinggal bersama istri, Ating memperkirakan jumlah babirusa di kawasan ini tidak lebih dari 50 ekor dewasa. Memang, katanya, ada penelitian yang menyebutkan jumlah populasi babirusa di Kepulauan Togean tidak lebih dari 500 ekor. Tapi itu tidak berada di satu tempat, terpisah di beberapa pulau besar.  

“Saya berharap kepada pemerintah agar konsisten melindungi Kepulauan Togean dan menindak tegas para perusak alam. Jika tidak, keindahan Togean akan hilang. Di masa datang kita akan kehilangan kekayaan hutan dan laut ini,” ujar Ating.

 

Ating dan Meidy hidup tenang dengan kemewahan alam di Pulau Malenge, Kepulauan Togean. Foto: Dok. Ating dan Meidy

 

Gerimis turun, matahari sudah tenggelam di kaki langit. Malam menyapa. Saya pamit meninggalkan Ating dan Meidy di pulau itu. Perlahan perahu yang saya tumpangi menjauhi garis pantai. 

Keduanya melambaikan tangan, lalu kembali menikmati sepi. Mendengarkan debur ombak dan suara satwa-satwa endemik dari hutan belakang rumah mereka, sembari menunggu kehadiran Coco untuk makan malam bersama.

 

 

Exit mobile version