Mongabay.co.id

Kasus Perdagangan Harimau di Sumbar, Vonis Ringan Tak Munculkan Efek Jera

Harimau sumatera yang diburu dan dijadikan awetan untuk diperjualbelikan. Barang bukti ini telah dimusnahkan beberapa waktu lalu di Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Aksi pelaku perdagangan bagian tubuh harimau di Sumatera Barat, terus terjadi. Seperti baru-baru ini, sekitar 80 tulang belulang harimau Sumatera berhasil diamankan petugas. Dalam lima tahun belakangan ini, setidaknya ada tiga kasus perdagangan bagian tubuh harimau sudah vonis hukum. Sayangnya, putusan hukum ini dinilai terlalu ringan hingga tak menimbulkan efek jera.

Pada 20 Agustus lalu, puluhan tulang belulang harimau Sumatera berhasil diamankan petugas dari dalam tas pelaku yang tengah nongkrong di sebuah cafe di Jorong Sijoniah, Nagari Ujung Gading, Sumatera Barat.

Ardi Andono, Kepala BKSDA Sumbar mengatakan, awalnya tim mendapat informasi ada transaksi jual beli tubuh satwa dilindungi di sebuah kafe. Tim mendalami informasi, ternyata benar kedua pelaku akan bertransaksi.

“Hasil interogasi, pelaku akan menjual tulang itu. Jika laku, akan menjual lagi dua lembar kulit harimau,” katanya.

Petugas BKSDA Sumbar dan Satreskrim Polres Pasaman Barat, melakukan pengembangan kasus dengan membawa pelaku ke tempat penyimpanan dua lembar kulit harimau. Sayangnya, yang menyimpan kulit harimau berhasil kabur.

Tim BKSDA terus mendalami asal usul barang bukti yang diamankan, mengingat pertengahan Juli lalu mereka mengevakuasi harimau dari perkebunan dan masih berusia muda.

“Tidak tertutup kemungkinan barang bukti ini memiliki keterkaitan kekerabatan dengan harimau yang dievakuasi sebelumnya. Kami masih terus mengembangkan keterlibatan pelaku lain dalam jaringan perdagangan satwa ini,” kata Ardi.

 

Baca: Kisah Sedih Harimau Batua yang Menghuni Taman Lembah Hijau

 

Vonis ringan

Pengungkapan kasus perdagangan bagian tubuh harimau Sumatera di Sumbar bukanlah kali pertama. Sejak 2017, tercatat empat kasus berhasil diungkap tim gabungan (BKSDA, Gakkum dan Polri. Sayangnya, vonis ringan hingga tak membuat jera.

Data BKSDA Sumbar, penjualan bagian tubuh harimau dan sudah putusan hakim sejak 2017 ada tiga kasus. Pertama, penangkapan pelaku perdagangan bagian tubuh harimau Sumatera di Solok pada 2017.

Tiga pelaku masing-masing menerima vonis penjara 1,2 tahun dengan satu lembar kulit harimau, dua rangkaian utuh tulang belulang harimau dan paruh rangkong sebagai barang bukti.

Kedua, penangkapan dua pelaku perdagangan bagian tubuh harimau di pasar atas Kota Bukittinggi 19 April 2019. Pemilik toko barang antik dan penitip barang vonis, 1, 3 tahun denda Rp5 juta. Saat itu tim gabungan menyita barang bukti dari dalam toko barang antik berupa kulit harimau masih basah, awetan harimau serta potongan kepala tapir dan gading gajah.

Ketiga, di Pasaman Barat pada 2019, pelaku perdagangan bagian tubuh harimau hanya vonis enam bulan denda Rp50 juta. Dari tangan pelaku diamankan satu tulang tengkorak kepala harimau dan satu set tulang bagian tubuh harimau.

Ma’ruf Erawan, Direktur komunikasi Natural Resources Crimes Unit (NRCU), mengatakan, vonis bagi pelaku di Sumatera Barat, terhitung rendah. Daerah lain seperti Sumatera Utara, Lamping, Aceh dan Riau, rata-rata hukuman bagi pelaku cukup tinggi.

“Untuk Sumatera Barat, para penyidik, jaksa, dan hakim perlu belajar dari kasus harimau di Aceh, Sumatera Utara, Riau, atau Lampung.”

Dia berharap, ada sosialisasi kepada jaksa penuntut umum dan hakim agar memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan terhadap harimau dengan memberikan hukuman berat. Kalau tidak, ketika sudah keluar dari penjara pelaku melakukan perdagangan harimau atau satwa dilindungi lain lagi.

“Intinya, selama ada pasar dan efek jera pelaku tidak muncul, kejahatan akan terus berlangsung.”

Kalau pasar tulang harimau, katanya, ada di Tiongkok. Tulang dari Indonesia akan diselundupkan ke Tiongkok, terkadang berbarengan dengan jenis lain seperti rangkong gading atau sisik trenggiling.

“Kenapa dikirim ke China, karena harga lebih mahal untuk tulang harimau. Untuk kulit harimau biasa dijual di dalam negeri karena permintaan besar. Harga kulit harimau lebih tinggi di dalam negeri,” katanya.

Permintaan taring dan tulang harimau tertentu juga tinggi di luar negeri. Selama ada pasar dan penegakan hukum ringan, katanya, kejahatan akan terus berulang.

Pengawasan bagi pemburu harus lebih ketat guna mencegah perburuan. Upaya pencegahan ini, katanya, tak hanya lewat patroli juga pengaktifan pos-pos penjagaan, pencegatan dan pemeriksaan jalan masuk dan keluar kawasan lindung, terlebih yang terbelah jalan umum. Kemudian, kegiatan intelijen untuk mengidentifikasi jaringan pelaku kunci, penindakan tegas para pemburu dan pelintas ilegal kawasan lindung, alternatif mata pencarian, dan lain-lain.

Ma’ruf bilang, sebenarnya pelaku merasa kesulitan dalam menembus pasar internasional. Penjagaan di negara transit seperti Hongkong dan Taiwan lebih ketat. Meskipun begitu, para pelaku di Indonesia terus memburu dan memperdagangkan karena bisa menyimpan bagian harimau itu dalam waktu lama.

“Jadi mereka menyimpan saja tulang, gigi, atau kulit sampai dapat kesempatan untuk diselundupkan.”

 

*****

Foto utama: Ilustrasi. Harimau awetan yang berhasil diamankan petugas. Foto: Janaidi Hanafiah/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version