Mongabay.co.id

Cerita Para Perempuan Penjaga Hutan

Para perempuan Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, menjaga hutan patut dicontoh. Foto: Dok. HAkA

 

 

 

 

Hutan merupakan sumber kehidupan, terlebih bagi perempuan. Perempuan paling utama terdampak kalau hutan rusak. Para perempuan di berbagai daerah ini menjaga sekaligus mengelola hutan jadi sumber penghidupan dan pengetahuan.

Ritawati, Ketua Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan (KPPL) Maju Bersama, Rejang Lebong, Bengkulu, mengatakan, perempuan gunakan air mulai saat melahirkan, bersuci, mencuci, dan memasak. Air bersih tersedia kalau hutan terjaga.

“Sejak pagi sampai pagi lagi, perempuan akrab dengan air,” kata Rita.

Alasan ini pula yang memicu kesadaran kolektif perempuan di Desa Pal VIII berorganisasi dan berinisiatif melestarikan dan menjaga hutan di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).

“Hutan jadi sumber kehidupan, penghidupan dan pengetahuan. Jika hutan rusak, dampak negatif, perempuan paling utama merasakan,” katanya.

Sedangkan dampak sosial juga luas. Lantaran warga saat hajatan memerlukan air dalam jumlah banyak. Air juga jadi sumber pangan tumbuhan dan tanaman di hutan.

“Sumber pangan ada di hutan. Kami memiliki hak untuk mengelola kawasan hutan,” katanya.

Lantas Balai Besar TNKS libatkan mereka dalam pengelolaan hutan dengan keluar perjanjian kerjasama kemitraan konservasi Maret 2019. Para perempuan ini berpatroli mencegah penebangan liar, perambahan dan aktivitas merusak hutan TNKS.

Mereka juga mengedukasi penduduk untuk pemulihan kawasan dan memanfaatkan kecombrang (Etlingera elatior) maupun pakis (Diplazium esculentum) di area kemitraan seluas 10 hektar.

“Banyak tantangan. Apa mungkin perempuan mampu mengelola hutan? Dianggap tak mampu dan tak punya pengalaman,” kata Purwani, juga pengurus KPPL Maju Bersama.

 

Baca: Para Perempuan Penjaga Sumber Daya Alam Aceh

 

Untuk meyakinkan keluarga dan warga, katanya, mereka berkomunikasi dari kepala desa, Bupati Rejang Lebong sampai Gubernur Bengkulu. Alhasil, mereka mendapat hak pengelolaan hutan kemitraan konservasi.

Kini, mereka mengolah kecombrang menjadi sirup, dodol dan wajik serta pakis untuk peyek, serta kue stick. Kecombrang, katanya, kaya vitamin C dan antioksidan yang berkhasiat mencegah kanker payudara, dan kanker serviks. Aktivitas mereka menginsipirasi 12 kelompok perempuan lain.

Serupa dengan para perempuan penjaga dari hutan Aceh. Sumini, warga Kampung Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Aceh, adalah perempuan perkasa.

Usai mengerjakan pekerjaan domestik, perempuan 46 tahun ini jadi penjaga hutan (ranger). Dia berpatroli mengawasi hutan Kampung Damaran Baru seluas 251 hektar.

Setiap tim terdiri delapan orang. Mereka memasang tapal batas, dan papan imbauan agar hutan tak dirambah. Sumini sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Kampung (LPHK) Damaran Baru ini mendapat dukungan kuat keluarga.

“Suami dan anak mendukung. Mereka juga terlibat kegiatan patroli,” katanya dalam webinar Perempuan dan Perhutanan Sosial: “Praktik Baik Ibu Bumi dalam Mengelola Hutan” yang diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), akhir Agustus lalu.

Ranger LPHK Damaran Baru beranggota 60 orang, sekitar 60% perempuan. Secara bersama-sama, katanya, perempuan dan laki-laki menjaga hutan dari aksi perambahan. Kendala mereka, jalur licin, naik turun dan berisiko. Meski begitu, mereka telap menjalankan tugas sebagai penjaga hutan guna merawat warisan anak cucu.

Pada 2015, sempat terjadi perambahan hutan yang berjarak lima kilometer dari kampung Sumini. Hutan rusak dan berdampak buruk, terjadi banjir dan tanah longsor. Sebanyak 11 rumah di bawah kaki Gunung Burni Telong, hanyut.

Pada 2017, petani Damaran Baru berkumpul dan membentuk Lembaga Pengelola Hutan Kampung Damaran Baru. Pada 2019, mereka mengajukan perizinan pengelolaan kawasan hutan melalui perhutanan sosial kepada KLHK. “November 2019, kami mendapat izin pengelolaan,” katanya.

Kini, selain menjaga hutan mereka juga terus pembibitan dan penanaman aneka jenis pepohonan guna menahan laju tanah longsor. Pohon-pohon itu antara lain, aren, jambu biji, dan nangka. Juga aneka pohon buah seperti pepaya, nangka, sirsak untuk pakan satwa seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). “Agar monyet tak turun merusak kebun di kampung karena pakan alami hutan habis,” katanya.

Mereka juga memanfaatkan lahan untuk menanam cabai, kopi dan sayur mayur di antara tanaman keras hutan rimba. Ada juga budidaya lebah madu sebagai pendapatan tambahan.

Bahkan, sebagian tengah menekuni usaha tahu dan tempe. Setiap hari menghabiskan bahan baku 1,5 ton kedelai.

“Aparatur desa awalnya kurang mendukung. Sekarang mendukung dan mengikuti kegiatan perhutanan sosial di hutan desa.”

Sintia Damayanti, Kepala Dusun Damaran Baru juga anggota LHKP, berperan mendata kawasan hutan mulai jenis, tapal batas, dan potensi pohon. “Ikut berpatroli mengukur tinggi dan lingkar pohon. Patroli rutin untuk cegah perambahan yang merusak hutan,” katanya.

Selama ini, katanya, perempuan kurang mendapat peran. Kini, mereka terlibat dalam rapat dan pengambilan keputusan di tingkat desa. Aksi mereka sekaligus berperan menjaga sumber mata air di kawasan hutan kampung. “Warga desa tetangga juga mengambil air dari sumber di hutan,” katanya.

 

Baca juga: Pande Ketut Diah Kencana, Peneliti Bambu Tabah untuk Konservasi dan Olahan Pangan

Hasil panen pala dari Fakfak. Para perempuan mengelola sekaligus menjaga hutan pala di hutan Fakfak. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Hasil hutan dan cegah KDRT

Bagi masyarakat Desa Bondoyong, Kecamatan Sidoan, Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, hutan dan kebun jadi sumber kehidupan. Sekitar 98% penduduk bekerja sebagai petani mengelola kebun di kawasan hutan. Para perempuan membentuk berperan besar dalam berkebun sekaligus sebagai penjaga hutan.

Saat pemetaan lahan menggunakan GPS, sebagian lokasi kebun Kelompok Tani Perempuan Seroja berada di kawasan hutan Bondoyong.

Khawatir masuk kawasan dan lahan berstatus ilegal mereka mengajukan hak pengelolaan hutan lewat perhutanan sosial melalui Dinas Kehutanan Parigi Moutong. Sebanyak 25 petani perempuan bergerak, khawatir tak bisa mengakses berkebun dan akan mengancam sumber kehidupan.

Dalam rapat desa 2017, mereka menyusun dokumen usulan perhutanan sosial. Pada 2018, mereka mendapat izin pengelolaan perhutanan sosial seluas 988 hektar. Mereka membudidayakan kopi, jahe, dan mengolah gula aren.

“Potensi air nira tinggi, selama ini diolah menjadi minuman keras. Cap tikus. Dampak perempuan dan anak menjadi korban kekerasan. Uang belanja juga habis,” kata Onna Samada, Ketua Kelompok Tani Perempuan Seroja.

Mereka juga mengolah air nira menjadi gula aren secara higienis. Apalagi harga gula aren tergolong tinggi. Perempuan, katanya, turut menjadi motor penggerak untuk meningkatkan ekonomi keluarga. Sekaligus, mengurangi angka kekerasan dalam rumah tangga.

Onna dan petani perempuan melakukan pemetaan, masuk kebun, naik-turun gunung. Kini, perempuan juga turut menjadi pengambil keputusan di tingkat desa.

Onna mendampingi enam desa untuk diusulkan mengelola perhutanan sosial. Pada 2019, Onna mendapat penghargan sebagai tokoh penggerak perhutanan sosial level pendaming desa tingkat tapak dari KLHK.

Ada juga cerita dari Fak-fak. Aminah Ahek Iha menjaga dan merawat kebun pala yang diwariskan turun temurun dari keluarganya. Anak kesembilan dan sembilan bersaudara ini mewarisi kebun pala untuk masa depan anak-anaknya.

Bersama mama-mama Desa Panglawadar, Distrik Kokas, Kabupaten Fak Fak, Papua Barat, Aminah mengolah pala menjadi manisan dan sirup. Mereka juga turut menjaga hutan, untuk mata air dan menanam aneka tanaman agar hutan tetap lestari.

Mereka menanam ribuan pohon matoa, damar, merbau, dan rambutan juga melakukan usaha ekonomi berbasis hasil hutan. Ada 14 kampung di Distrik Kokas dengan hutan seluas 78.800 hektar, yang menyimpan keanekaragaman hayati. Lima kampung antara lain mengelola hutan seluas 3.998 hektar. Mereka didampingi Gerakan Masyarakat Papua Lestari (Gemapala) dengan skema hutan desa sejak 2018.

“Kami berkebun menanam sayuran dan pala,” kata Aminah, Ketua Kelompok Membina Mama mama di Kampung Panglawasdar.

Gerakan ini diawali Echa Patiran, mengelola hutan diikuti Aminah Ahek dan Rahma. Mereka menjadi penggerak petani perempuan di kampung masing-masing. Dalam mengelola hutan, mereka bentuk Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) dan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS). Anggota didominasi perempuan, walau pria juga ikut bergabung. Awalnya, anggota 29 orang, jadi 90 orang.

Mereka juga mengalihkan pertanian holtikultura di hutan ke pekarangan rumah. Kini, pekarangan rumah warga ditanami aneka jenis sayuran. Mereka juga berlatih membuat pupuk dan pestisida alami. Juga memanfaatkan bonggol pisang menjadi kerupuk, keripik pepaya. Penghasilan warga antara Rp150.000-Rp3,7 juta per bulan.

“Sekarang diberi akses legal mengelola hutan desa menjadi lebih baik,” kata Erna Rosdiana, Sekretaris Direktorat Jendela Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) KLHK.

Sekitar 13% dari 7.000 an petani yang mengelola perhutanan sosial adalah perempuan, sekaligus sebagai kepala rumah tangga.

 

Para perempuan adat Pandumaan-Sipituhuta di sela menyadap kemenyan. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Tanaman mereka, katanya, disesuaikan dengan kondisi dan potensi daerah. Aneka jenis azgroferostri produktif seperti pala, kopi, aren, petai, nangka, dan karet. “Minimal penghasilan Rp3 juta per hektar per bulan. Setahun nilai ekonomi mencapai Rp109 triliun,” katanya.

Dia berharap, perhutanan sosial turut merangsang kemakmuran warga di tepi hutan. KLHK mendorong pemerintah daerah turut membantu agar hutan terjaga dan memberikan dampak ekonomi warga sekitar hutan.

 

Adil gender

Winanrni Dien Monoarfa, staf ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengatakan, perhutanan sosial diharapkan bisa memeratakan perekonomian, meningkatkan pendapatan dan menurunkan angka kemiskinan. Juga menumbuhkan sentra ekonomi baru dengan akses hutan secara legal.

“Langkah korektif atas kebijakan masa lalu. Konsesi kawasan hutan dulu diberikan ke perusahaan besar, menyakitkan,” katanya.

Presiden Joko Widodo, katanya, menegaskan perhutanan sosial jadi paradigma baru pengelolaan hutan. Masyarakat dapat kesempatan mengelola hutan selama 35 tahun dan dapat diperpanjang.

Kemudian, mendorong penguatan kelembagaan, pendampingan dan fasilitasi perencanaan dan akses permodalan serta pengembangan usaha melalui pelatihan dan inovasi.

“Adil gender, strategi afirmasi dan kesetaraan gender untuk kelompok marginal yang tertinggal,” katanya.

Hana Satriyo, Deputy Country Representative Asia Foundation bangga atas peran kelompok perempuan dalam perhutanan sosial. Sejak rilis 2015 pemerintah menargetkan 12,7 juta hektar hutan dalam program perhutanan sosial.

“Sayang karena faktor sosial budaya, keterlibatan perempuan sangat rendah. Hanya 5% yang beranggotakan perempuan,” katanya.

Asia Foundation bersama Selamatkan Indonesia Melalui Perbaikan Tata Kelola dengan Kelompok Masyarakat (Setapak) mendorong tata kelola hutan melibakan perempuan. Dengan prinsip keadilan dan kesetaraan gender dan mendukung perempuan menjaga hutan.

 

 

*******

Foto utama:  Para perempuan Damaran Baru, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, menjaga hutan patut dicontoh. Foto: Dok. HAkA

Exit mobile version