Mongabay.co.id

Was-was Petani Pesisir Kulonprogo Kala Lahan Tani Terancam Tambang [1]

 

 

 

 

 

“Tolak tambang pasir besi!

Tolak!

Tolak!”

Begitu teriakan para petani yang tergabung dalam Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo di Letter S—sebutan tikungan jalan di jalur lintas selatan–Jalan Daendels, Kabupaten Kulonprogo, Yogyakarta, awal April lalu.

Para petani berkaos biru laut dengan tulisan “Menanam adalah Melawan” dengan cekatan mengikat spanduk besar dengan tali rafia bertuliskan, “bertani atau mati, tolak tambang pasir besi!

Spanduk-spanduk perlawanan lain pun mereka pasang hampir di sepanjang Jalan Daendels antara Desa Garongan sampai Trisik, hingga perkampungan.

“Anda memasuki Zona Anti Tambang.”

“Konsisten Tolak Tambang.”

“Pasir Besi=Petani Mati.”

“Petani Ra Butuh Pasir Besi.”

“Selamanya kami tetap bertani, dan selamanya kami tetap akan menghidupi. Jadi, apapun yang akan mengganggu ruang hidup kami, kami akan lawan,” kata Widodo, Koordinator Lapangan PPLP.

Selama 15 tahun terakhir, para petani ini gigih menolak rencana PT Jogja Magasa Iron (JMI), menambang pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo. Rencana tambang perusahaan itu, bisa menghancurkan pasir yang menghidupi para petani itu. Secara konsisten, mereka melawan perusahaan yang mengantongi izin di wilayah ini.

Para petani di Pesisir Panjatan, Wates dan Galur, gelisah. Lahan pasir di pesisir Kulonprogo selama ini memakmurkan mereka.

Para petani di pesisir Kulonprogo terkenal sebagai penghasil cabai yang diminati pasar, bahkan sampai jual ke Batam, Medan, Jambi, Palembang, dan Lampung. Para petani itu juga tanam semangka, melon, dan sayur mayur.

 

Baca juga: Mencermati Sengkarut Operasi Tambang Pasir di Sleman

Hasil panen petani pesisir Kulonprogo. Foto: Tim Kolaborasi Liputan Agraria

 

Geliat para petani pesisir Kulonprogo itu tak datang seketika. Pesisir di Kapanewon Panjatan, Wates, dan Galur itu dulu gersang dan tandus. Dulu, warga di pesisir Kulonprogo kerap diejek dengan sebutan“wong cubung” karena miskin dan tak berdaya. Kini, lahan pasir itu hijau dengan tanaman cabai, semangka, melon, dan sayur mayur.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Kulonprogo menunjukkan, Kecamatan Panjatan, Wates, dan Galur, yang masuk area tambang JMI menunjukkan geliat para petani, termasuk di lahan pasir.

Kecamatan Panjatan pada 2020, merupakan penghasil cabai terbanyak di antara 11 kecamatan lain, dengan total produksi 12.000 ton per tahun.

Tak mudah bagi para petani melawan rencana penambangan pasir besi JMI. Perusahaan itu terafiliasi dengan pembesar Kadipaten Pakualaman dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menunjukkan 210 dari 300 lembar saham JMI dikuasai Indo Mine Ltd, perusahaan tambang asal Australia dengan mayoritas saham dimiliki Rajawali Group.

Sejumlah 90 lembar saham lain JMI, setara 30%, dimiliki PT Jogja Magasa Mining (JMM), perusahaan tambang lokal di Yogyakarta.

Data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merinci siapa saja pemegang saham JMM dengan jumlah 300 lembar. Sebanyak 90 lembar saham JMM dikuasai PT Mitra Westindo Utama.

Putri sulung Sri Sultan Hamengku Buwono X, GKR Mangkubumi menguasai 75 lembar saham JMM. Adik Pakualam X, BRMH Hario Seno juga menguasai 75 lembar saham JMM. Kemudian, 50 lembar saham JMM lain dimiliki kemenakan Sri Sultan Hamengku Buwono X, RM Sumyandharto. Sisanya, 10 lembar saham JMM, dimiliki Imam Syafii, pengusaha asal Yogyakarta.

JMI merupakan rezim kontrak karya (KK) terakhir di Indonesia, sebelum menjadi izin usaha pertambangan (IUP) dalam Undang-undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara No 4/2009. Atau perubahan UU Minerba Nomor 3/2020.

Dengan konyrak karya hingga 2038 ini, JMI berencana membangun peleburan pasir besi berkapasitas produksi 1 juta pig iron per tahun.

Konsesi tambang JMI membentang di sepanjang garis pantai Kulonprogo, termasuk lokasi pelepasliaran penyu di Pantai Trisik, Banaran, juga pemukiman warga relokasi, lahan pertanian dan tambak. Di sebelah utara, area konsesi tambang JMI, terbentang Jalan Daendels yang kini diperlebar sebagai bagian dari proyek jalur jalan lintas selatan.

Adapun‘lebar bibir pantai ke arah utara sejauh dua kilometer, sekitar 1,2 kilometer ke Jalan Daendels, bakal diperluas sebagai jalan lintas selatan (JJLS) hingga 800 meter ke utara. Ada enam desa di tiga kecamatan masuk wilayah tambang ini.

“Wilayah kontrak karya yang kami pegang dari Sungai Serang ke Sungai Progo,” kata Karwa Aziz Purwanto, staf Community Development JMI, ditemui, medio April 2021.

 

Baca juga: Lahan Pertanian di Jogja Terancam Proyek Jalan Tol

Spanduk penolakan warga terhadap tambang pasir terpampang di berbagai sudut jalan desa. Foto: Tim Kolaborasi Liputan Agraria

 

Potensi tambang pasir besi pesisir Kulonprogo menggiurkan. Riset peneliti Sekolah Tinggi Teknologi Kedirgantaraan, Yogyakarta, Indreswari Suroso, berjudul Karakteristik Pasir Besi dari Pantai Selatan Kulonprogo untuk Material Pesawat Terbang pada 2015 menyebut, kandungan pasir besi di pesisir selatan Kulonprogo yaitu 76,346%.

“Padahal pasir hanya di kedalaman empat meter dan terletak 200 meter dari pantai,“ katanya saat diwawancarai Tim Kolaborasi Liputan Agraria akhir Maret lalu.

Bukan hanya pasir besi lahan pasir itu juga memuat titanium sekitar 12,87%. “Kandungan titanium ini cocok jadi bahan dasar pesawat terbang,” katanya.

Dokumen kontrak karya JMI pun menetapkan besaran iuran eksploitasi produksi mineral/royalti untuk empat jenis mineral yang akan didapatkan dari penambangan pasir besi di pesisir Kulonprogo itu. Keempat jenis mineral itu adalah besi (tarif   royalti 3%), vanadium (royalti 4,5%), titanium (royalti 3,5%), dan pasir besi (royalti 3,75%).

 

Kiriman pasir ke Tiongkok

Petani PPLP-KP mengingat aktivitas JMI yang mencolok pada 2012. Saat itu, JMI mendirikan pagar beton dan membangun gedung perkantoran di Dusun Keboan, Desa Karangwuni.

Karwa Aziz Purwanto, staf Community Development JMI, mengatakan, tembok ini dibangun setelah JMI melakukan pengadaan lahan. Karangwuni menjadi lokasi tapak pabrik, lantaran desa itu satu-satunya yang tak menolak pendirian tambang. “Pengadaan lahan mulai 2011 seluas enam hektar, lalu 162 hektar pada 2013-2016 total 168 hektar,” kata Karwa, 20 April lalu.

Pada 2016, JMI sempat mau groundbreaking oleh Presiden Joko Widodo. Namun proyek bandara Kulonprogo muncul dan dikebut. JMI bahkan harus menggeser lokasi pabrik di Karangwuni, gara-gara dianggap terlalu dekat dengan Bandara YIA dan membahayakan penerbangan.

“Calon pabrik bergeser 1-3 kilometer. JMI mengalah dua kali.”

Sepi di lapangan, namun di belakang meja justru banyak terjadi dalam tubuh JMI. Perusahaan lakukan restrukturisasi besar-besaran gara-gara pemegang saham terbesarnya, Indo Mine Ltd diambil alih Rajawali Group.

Sejak akhir 2012, Rajawali Group jadi pemegang saham mayoritas perusahaan tambang berbadan hukum Australia itu, dengan mengantongi 57% saham Indo Mines Ltd. Sisa saham lain masih dikuasai publik, diperjual-belikan di Bursa Saham Australia.

Sejak 21 Agustus 2018, saham Indo Mines Ltd tak lagi di perdagangkan di bursa (delisted), semua saham di pasar telah dibeli Rajawali Group.

Karwa membenarkan, sejak 2019 perusahaan melakukan restrukturisasi. Setelah itu, JMI menggandeng perusahaan baja Rockcheck Steel Group. “Project partner-nya sekarang beda. Dulu Indo Mines, sekarang dari China. Ini agak serius,” katanya.

Paparan JMI ke pemerintah daerah, pada 2018, Rajawali berdiskusi dengan Rockcheck Steel Group, perusahaan baja di Tianjin, Tiongkok. Selain uji material di laboeratorium perusahaan, pemilik Rajawali, Peter Sondakh, bertandang ke sana dan bertemu pemimpin Rockcheck. Dina Damayanti, jurubicara Rajawali Group, tak merespons permintaan wawancara soal ini.

Medio 2019, gantian bos-bos Rockcheck ke JMI sampai bertemu Sultan HB X. Dari hasil pertemuan itu, teknologi pemurnian besi berubah, dari rotary hearth furnace (RHF) ke blast furnace yang risiko dan biaya operasi lebih rendah. Rockcheck bahkan disebut punya pabrik baja dengan teknologi itu yang dapat direlokasi ke JMI.

Saat itu pula, manajemen JMI melakukan restrukturisasi, seperti pemangkasan pimpinan dan karyawan. Bobby Sandi, Direktur JMI enggan berbicara banyak soal perkembangan JMI.

“Saya sedang sibuk-sibuknya saat ini,” katanya via pesan singkat.

 

Lahan pertanian warga desa pesisir Kulonprogro sedang persiapan semai cabai. Kalau tambang pasir datang, lahan pertanian warga terancam. Foto: Tim Kolaborasi Liputan Agraria

 

Yang para petani pesisir Kulonprogo ketahui, tahun lalu, 30.000 ton pasir besi menggunung di Desa Karangwuni dikirim ke pabrik besi Rockcheck Steel, untuk uji kelayakan.

Pengiriman sampel pasir besi Kulonprogo ke Tiongkok ini membuat warga yang menolak rencana penambangan pasir besi gelisah lagi, cemas lahan pertanian mereka benar-benar bakal bersalin menjadi tambang. Belum lagi beredar kabar, hasil pengujian sampel pasir besi pesisir Kulonprogo itu memuaskan.

Sugeng Mujianto, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Ditjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), mengatakan, masih menunggu hasil uji coba sampel pasir besi JMI itu.

Dia bilang, JMI menunda-nunda penyerahan hasil tes sampel tambang. “Mereka sudah mundur dua sampai tiga bulan dari janji mau menyerahkan hasil itu. Alasannya, pandemi, pelabuhan (di Tiongkok) itu ditutup,” katanya melalui layanan aplikasi WhatsApp, pertengahan April lalu.

Sri Sultan Hamengku Buwono X, Gubernur DIY, juga belum tahu hasil uji sampel pasir besi JMI di Tiongkok itu. “Katanya (hasil) positif, tapi seperti apa, saya belum tahu persis karena lapornya ke KESDM,” kata Sultan.

Pengiriman 30.000 ton pasir pesisir Kulonprogo itu membuat para petani yang tergabung dalam PPLP KP bersiaga melawan.

“Siapapun yang menggusur tetap kami lawan. Di banyak tempat, perjuangan kami didukung. Mudah-mudahan jaringan PPLP tetap konsisten menyuarakan apa yang kami alami di pesisir Kulonprogo,” kata Widodo.

Ratusan spanduk terpasang di berbagai area yang masuk konsensi tambang JMI seperti simbol bahwa para petani tak akan diam. “Hari ini, kami menunjukkan pada semua orang, semua institusi, yang mau menggebuk dan mengusir kami, bahwa selamanya kami tetap tinggal di sini. Selamanya kami tetap bertani.” (Bersambung)

 

 

*Tulisan ini hasil peliputan Tim Kolaborasi Liputan Agraria yang melibatkan Arif Koes Hernawan (Gatra), Lusia Arumingtyas (Mongabay.co.id), Mariyana Ricky PD (SoloPos.com), dan Soetana Monang Hasibuan (KabarMedan.com), dan Cahyo Purnomo Edi (Merdeka.com).

 

Spanduk penolakan tambang pasir di pesisir Kulonprogo. Foto: Tim Kolaborasi Liputan Agraria

 

******

Exit mobile version