Mongabay.co.id

Perubahan Iklim dan Ancaman Kepunahan Komodo

Komodo, satwa kebanggaan Indonesia yang hidup di Nusa Tenggara Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay.com

 

International Union for Conservation of Nature [IUCN] yang bermarkas di Gland, Swiss, telah mengeluarkan laporan terbaru. Hal penting yang patut kita garis bawahi adalah komodo [Varanus komodoensis], satwa liar kebanggaan Indonesia yang diperkirakan telah hidup di Bumi sejak 4 juta tahun silam, naik status keterancamannya. 

Dalam Daftar Merah [Red List] itu dijelaskan, sang kadal raksasa masuk kategori Endangered/EN atau Genting, alias dua langkah menuju kepunahan di alam liar. Sebelumnya, statusnya adalah Vulnerable/VU atau Rentan.

Dalam siaran pers IUCN, yang dipublikasikan Sabtu [04/9/2021], disebutkan bahwa naiknya suhu global dan naiknya permukaan air laut, diperkirakan akan mengurangi habitat komodo, sekitar 30 persen dalam 45 tahun ke depan. 

Seperti kita ketahui, komodo hanya ditemukan di Indonesia, tepatnya di Nusa Tenggara Timur. Mereka tersebar di lima pulau, empat pulau terdapat di dalam kawasan Taman Nasional Komodo, yaitu Pulau Komodo, Rinca, Nusa Kode [Gili Dasami], dan Gili Motang. Pulau terakhir sekaligus pulau terbesarnya adalah Flores. Di Flores terdapat tiga kawasan cagar alam yang di dalamnya masih terdapat populasi komodo, yaitu Wae Wuul, Wolo Tadho, dan Riung.

Total, ada 138.374 spesies yang masuk Daftar Merah IUCN ini. Dari jumlah tersebut, sebanyak 38.543 spesies tergolong kategori terancam punah.

Baca: Satwa Rumahan, Komodo Tidak Ingin Hidup Selain di Indonesia

 

Komodo, satwa kebanggaan Indonesia yang hidup di Nusa Tenggara Timur. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Ancaman meningkat

Sejak beberapa dekade, ancaman bagi keanekaragaman hayati Bumi terus meningkat akibat perubahan iklim. Komodo hanyalah satu dari sejumlah keragaman hayati yang tak luput dari ancaman tersebut. 

Melalui berbagai penelitian, para ilmuwan sesungguhnya sering mengingatkan isu kepunahan spesies akibat perubahan iklim ini. 

Penelitian yang dipublikasikan di koran USA Today pada 2020 lalu, misalnya, menyimpulkan bahwa sepertiga dari semua spesies hewan dan tumbuhan di Bumi akan  menghadapi kepunahan pada 2070, akibat perubahan iklim.

Kesimpulan itu didapat setelah para peneliti mengamati dan menganalisis data dari 538 spesies di 581 wilayah di seluruh dunia. Riset itu mencangkup spesies tumbuhan dan hewan, yang diteliti dalam rentang 10 tahun.

“Dengan menganalisis perubahan 19 variabel iklim di setiap lokasi, kami dapat menentukan variabel mana yang mendorong kepunahan lokal dan seberapa besar perubahan yang dapat ditoleransi oleh suatu populasi tanpa menjadi punah,” tulis seorang peneliti, Cristian Román-Palacios, dari Departemen Ekologi dan Biologi Evolusi di Universitas Arizona.

Penelitian lain sebagaimana dilakukan Thomas Neubauer dkk, yang dimuat di Jurnal Communications Earth and Environment, Mei 2021. Neubauer dkk memperkirakan bahwa pada 2120, hampir sepertiga dari semua spesies air tawar akan punah.

Mempertimbangkan ancaman kepunahan yang dihadapi banyak spesies akibat perubahan iklim, sebagian ilmuwan berpandangan bahwa krisis keanekaragaman hayati sekarang ini berlangsung jauh lebih cepat daripada peristiwa kepunahan massal yang terjadi 66 juta tahun lalu. 

Baca: Darah Komodo Bisa Sembuhkan Luka Lebih Cepat?

 

Komodo, satwa endemik Indonesia yang dilindungi undang-undang. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Kembali ke persoalan komodo, kenaikan pemukaan air laut merupakan sebuah ancaman nyata yang bakal membawa komodo kepada kepunahan. Dampak pemanasan global, membuat permukaan air laut terus meningkat. 

Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration [NOAA], Amerika Serikat, pemanasan global menyebabkan permukaan air laut mengalami peningkatan dalam dua cara. Pertama, gletser dan lapisan es di seluruh dunia mencair sehingga volume air laut terus bertambah. Kedua, air laut mengembang karena suhu lautan menghangat. 

Laporan NOAA yang dirilis pada Januari 2021 menyebut bahwa secara global permukaan air laut rata-rata meningkat sekitar 8-9 inci [21–24 sentimeter] sejak 1880, sekitar sepertiganya terjadi hanya dalam dua setengah dekade terakhir. Naiknya permukaan air sebagian besar disebabkan oleh kombinasi air lelehan dari gletser dan lapisan es serta ekspansi termal air laut saat menghangat. 

Dari 2018 hingga 2019, permukaan laut global rata-rata naik sekitar 0,24 inci [6,1 milimeter]. Bahkan, lewat pencatatan satelit, di beberapa bagian cekungan laut, permukaanair laut mengalami kenaikan sekitar 6-8 inci [15-20 sentimeter].

NOAA memperkirakan, pada akhir abad ini, permukaan laut global kemungkinan akan naik rata-rata sekitar satu kaki [0,3 meter], bahkan dengan kondisi emisi gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer dalam level relatif rendah sekalipun. 

Jika kenaikan permukaan air laut terus berlangsung, sebagian pulau bisa saja akhirnya tenggelam, baik sebagian atau keseluruhan. Dan, andaikan [semoga tidak terjadi] di antara pulau-pulau yang akhirnya tenggelam akibat menaiknya permukaan air laut, adalah pulau-pulau yang dihuni komodo selama ini, seperti Pulau Komodo, Pulau Rinca, dan Pulau Gili Dasami.

Baca: Saat Pembangunan Taman Nasional Komodo Tuai Sorotan Publik

 

Komodo betina dewasa yang ada di TN Komodo. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Sedikit waktu

Upaya menipiskan ancaman kepunahan spesies perlu dilakukan. Relokasi mungkin dapat menjadi opsi, selain cara jitu lainnya. Spesies ditempatkan di lingkungan baru yang sesuai habitatnya, setelah melalui serangkaian penelitian, agar kelangsungan hidupnya tetap terjaga. 

Relokasi spesies, pada dasarnya, bukan hal baru dalam konteks konservasi. Contoh kasus adalah pada quol [Dasyurus hallucatus]. Tahun 2003, populasi hewan ini menghadapi penurunan drastis di kawasan Top End Northern Territory, Australia. Pemerintah Australia memutuskan membuat dua daerah baru bagi satwa tersebut, di Pulau Pobassoo dan Pulau Astell. 

Quol yang jumlahnya hanya 64 ekor di Top End Northern Territory lantas direlokasi ke kedua daerah baru tersebut. Hasilnya, lima tahun kemudian, populasinya meningkat signifikan, dengan jumlah lebih 800 quol betina dewasa di Pulau Pobassoo dan lebih dari 4.800 ekor di Pulau Astell. 

Baca juga: Setan Ini Memusnahkan Populasi Penguin di Sebuah Pulau di Australia

 

Anak komodo berada di atas pohon. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Meski demikian, karena sejumlah faktor tertentu, relokasi dapat saja menemui kegagalan ketika risiko kepunahan justru jauh lebih tinggi ketimbang keberhasilan. Hal penting yang patut diperhitungkan adalah spesies yang direlokasi, kemungkinan dapat mengancam ekosistem di lokasi barunya. 

Untuk itu, relokasi sebaiknya menjadi opsi terakhir dalam mengatasi ancaman kepunahan spesies akibat perubahan iklim. Sebelum relokasi menjadi pilihan, upaya lain sebaiknya dilakukan lebih awal, seperti membantu spesies beradaptasi dan bertahan hidup. Caranya, dengan meningkatkan kualitas habitat dan ketahanan ekosistem, atau mengupayakan translokasi genetik untuk meningkatkan potensi evolusi spesies [Martin & Madden, 2011].

Bagaimana dengan komodo? Ancaman sesungguhnya bukan cuma perubahan iklim. Perburuan, perdagangan satwa liar, rusaknya habitat, hingga aktivitas pariwisata merupakan ancaman tak kalah serius bagi kehidupan sang Komodo Dragon. 

Ancaman-ancaman tersebut memang harus diselesaikan, sebelum kita melangkah lebih jauh, memikirkan dampak dahsyat perubahan iklim.

 

*Djoko Subinarto, kolumnis dan bloger, tinggal di Bandung, Jawa Barat. Tulisan ini opini penulis. 

 

Rujukan:

Brook Hays. 2021. Study: Recovery from Human-Caused Biodiversity Declines to Take Millions of Years.

Doyle Rice. 2020. One-Third of All Plant and Animal Species Could Be Extinct in 50 Years, Study Warns.

Marie Morales. 2021. Komodo Dragons Now Listed as ‘Endangered’; IUCN Red List Warns Threat of 2-in-5 Shark Extinction.

Phoebe Weston. 2021. Top Scientists Warn of ‘Ghastly Future of Mass Extinction’ And Climate Disruption.

Rebecca Lindsey. 2021. Climate Change: Global Sea Level.

Tara G Martin and Eve McDonald-Madden. 2011. Relocating Species to Ensure Survival in a Changing Climate.

IUCN. 2021. Tuna Species Recovering despite Growing Pressures on Marine Life — IUCN Red List.

 

 

Exit mobile version