Mongabay.co.id

Jaga Hutan Terjerat Hukum, Berbagai Kalangan Desak Bebaskan Pemuda Adat Sabuai

Berusaha jaga hutan adat malah terjerat hukum. Itulah yang menimpa kedua pemuda adat Negeri Sabuai, Kaleb Yamarua dan Stevanus Ahlawam. Kini kasus mereka sudah memasuki masa persidangan di Pengadilan Dataran Hunimua, Bula, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku.

 

 

 

 

Berusaha jaga hutan adat malah terjerat hukum. Itulah yang menimpa kedua pemuda adat Negeri Sabuai, Kaleb Yamarua dan Stevanus Ahlawam. Kini kasus mereka sudah memasuki masa persidangan di Pengadilan Dataran Hunimua, Bula, Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Berbagai kalangan protes dan mendesak agar kedua pemuda yang menyuarakan keselamatan hutan Sabuai itu segera dibebaskan.

Dua pemuda ini dilaporkan merusak alat berat Imanuel Quadarusman alias Yongki, komisaris utama, CV Sumber Berkat Makmur (SBM), yang kini terpidana pembalakan liar.

Pada Februari tahun lalu, Kaleb dan Stevanus bersama warga Sabuai menghentikan dua kendaraan SBM yang menebang di hutan adat secara ilegal. Kalau hutan rusak, warga khawatir terjadi bencana. Hutan terbabat, kekhawatiran warga jadi kenyataan. Agustus lalu, banjing bandang melanda Sabuai.

Pada 2 September lalu, memasuki sidang lanjutan dengan agenda pemeriksaan saksi korban alias pelapor, Komisaris Utama SBM, Imanuel Quadrusman alias Yongki. Yongki lapor kedua pemuda itu merusak alat beratnya.

Hakim saat itu menggali pertanyaan soal status Yongki yang kini terpidana perambah hutan, tak lain hutan Sabuai.

Di depan sidang itu Yongki membenarkan kalau dia sudah beroperasi di luar lahan izin perkebunan pala yang diberikan pemerintah.

“Apa saudara saksi dalam melakukan aktivitas perkebunan telah menyerobot masuk di luar lahan perkebunan pala? tanya majelis hakim.

“Iya yang mulia.”

SBM mendapat izin perkebunan berdasarkan Surat Keputusan Bupati Seram Bagian Timur, Nomor 151 pada 8 Maret 2018, seluas 1.183 hektar untuk usaha perkebunan pala.

Beberapa bulan kemudian, karena ada kayu di areal kerja, perusahaan mengajukan izin pemanfaatan layu (IPK) yang disetujui Dinas Kehutanan Maluku berdasarkan Surat Keputusan Nomor 52.11/SK/DISHUTMAL/459 pada 25 April 2018. Persetujuan IPK tahap pertama seluas 371 hektar.

Perusahaan ini merambah di kawasan hutan di luar izin. Kemudian terjadi aksi penghadangan oleh warga sampai terjadi pecah kaca kendaraan. Warga protes dan menolak hutan dirusak.

Baca juga: Sabuai Banjir Kala Hutan Hancur, Pengusaha Pembalak Liar Kena Vonis Ringan

 

Hutan tergerus, Agustus lalu, banjir bandang melanda Sabuai. Foto: dokumen warga

 

SBM melaporkan 26 warga adat Sabuai ke Polsek Werinama. Dua pemuda jadi tersangka, yang lain dilepas.

Erwin Ubawarin, dosen Ilmu Pidana Fakultas Hukum Univesitas Pattimura, mengatakan, penegak hukum harus memperhatikan alasan sampai terjadi penghadangan dan perusakan kendaraan SBM. Aksi itu terjadi, katanya, tak lain karena perusahaan membalak liar hutan mereka.

Warga yang protes dan berusaha menjaga lingkungan hidup, katanya, seharusnya tak dapat dimintai pertangungjawaban pidana. Hal itu sesuai UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Padal 66.

Pada Pasal 66 UU 32/2009 itu dinyatakan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan yang baik dan sehat, tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor : 36/KMA/II/2013, katanya, sudah menerapkan ketentuan anti strategic lawsuit against public participation (anti-SLAPP) ini.

“Jika mereka berdua dijatuhi hukuman atas tindakan melindungi hutan, akan makin jauh keadilan.”

 

Dukungan mengalir

“Bela Hutan Adat, Khaleb dan Stevanus Terancam Bui”

“Korporat babat hutan, masyarakat adat jadi korban.”

Begitu antara lain poster dari para pemuda pemudi yang protes jerat hukum kepada Khaleb dan Stevanus, dua pemuda adat Sabuai, yang berusaha menjaga agar hutan adat tak rusak.

Gabungan pemuda pejuang Tanah Adat Seram Bagian Timur (SBT) ini aksi di depan pengadilan menuntut pembebasan Khaleb dan Stevanus.

Mereka berasal dari berbagai organisasi seperti Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia Cabang Seram Bagian Timur, dan Komunitas Peduli Lingkungan (Kopi). Juga, Pemuda Muhamadyah SBT, Lembaga Persaudaraan Pemuda Etnis Nusantara SBT dan lain-lain.

Rahman Rumuar, koordinator aksi mengatakan, aksi ini bentuk solidaritas dan keterpanggilan batin selaku anak adat SBT terhadap dua pemuda adat yang terjerat hukum karena melindungi hutan adat.

 

Baca juga: Masyarakat Adat Sabuai Pulihkan Hutan Lewat Sasi

Aksi GMNI Seram Bagian Timur, protes desak pembebasan dua pemuda Sabuai yang terjerat hukum karena berusaha menjaga hutan adat. Foto: GMNI SBT

 

Tindakan perusakan alat berat SBM, katanya, berhubungan erat dengan tindakan perusahaan merambah hutan.

Masyarakat sangat resah dengan tindakan pembalakan liar hutan adat oleh perusahaan. Warga pun melakukan pemalangan, sampai laporan pengaduan kepada Ditkrimsus Polda Maluku. Laporan warga tak digubris.

“Laporan sengaja tidak ditindaklanjuti. Perusahan pun tambah nekat menyerobot masuk ke hutan sakral warga.”

Josua Ahwalam, pemuda Sabuai mengatakan, aksi kedua pemuda yang protes hutan sampai terjadi pecah kaca alat berat itu sebagai respon mereka karena melihat hutan adat rusak oleh perusahaan.

Bahkan, soal hukum perusakan hutan itu jelas-jelas ada dalam aturan Indonesia, melalui UU Nomor 18/2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Pengrusakan Hutan.

Seharusnya, orang yang memperjuangkan lingkungan itu pun tak bisa terjerat pidana dan perdata karena sudah jelas ada dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Negara mestinya memberikan penghargaan kepada mereka,   bukan malah menjebloskan mereka ke dalam penjara.”

Dukungan lain datang dari organisasi Maluku Crisis Center (MCC). MCC menilai, tindakan ini sebagai persekusi secara hukum terhadap aktivis pejuang hutan adat Sabuai.

Ikhsan Tualeka, Direktur MCC mengatakan, dalam proses pengadilan kedua aktivis Sabuai itu dituntut Pasal 170 dan Pasal 406 KUHP — secara kalkulatif total hukuman delapan tahun penjara.

Sedang bos SBM, Yongki yang jelas-jelas menipu warga Sabuai dan pemerintah dengan membabat hutan secara ilegal, hanya vonis dua tahun. Padahal, katanya, kerugian ekologi, sosial dan psikologis yang ditimbulkan aktivitas perusahaan tak bisa dibayar dengan hukuman sesingkat itu.

“Ini kontradiktif, paradoksal dan tidak proporsional. Sungguh realitas yang mengecewakan. Mestinya bos SBM itu dihukum seberat-beratnya karena sudah merusak hutan adat Sabuai yang menyebabkan banjir dan longsor di pemukiman warga Sabuai,” katanya. Biaya kerusakan yang ditimbulkan atas aksi perusahaan, katanya, tak ternilai.

Izin perusahaan ini, menanam pala, tetapi sampai detik ini tak ada satu pohon pala ditanam, sementara hutan alam Sabuai terbabat habis dan kayu-kayu unggul mereka kirim keluar Maluku.

“Untuk itulah, kami mendesak Pengadilan Negeri Bula segera membebaskan kedua adik pejuang hutan adat Sabuai dari segala tuntutan hukum. Apa yang mereka lakukan upaya melindungi hutan adat mereka. Di dalamnya juga ada situs-situs sejarah kampung tua Sabuai.”

Callin Leppuy, dari MCC juga menuntut pengadilan segera membebaskan kedua aktivis lingkungan itu. “Kami tegaskan, bebaskan kedua aktivis pejuang hutan adat Sabuai dari segala tuntutan hukum dalam bentuk apapun.”

 

Baca juga: Kasus Hutan Sabuai, Komisaris SBM jadi Tersangka Pembakalan Liar

 

MCC mengingatkan, tugas pengadilan adalah menghadirkan rasa keadilan, bukan sekadar memutus perkara. Jika pengadilan tidak bertindak memutus perkara secara adil, maka mereka telah meruntuhkan tugas mencari keadilan itu sendiri.

Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ambon Komisariat Hukum pun menggelar diskusi dan nonton bersama film dokumenter “Sabuai” produksi WatchDoc, di penghujung Agustus lalu. Diskusi bertema “Perampasan ruang hidup masyarakat adat,” ini mendapatkan banyak respon.

Ibrahim Kilkoda, Ketua Umum HMI Komisariat Hukum Unpatti, mengatakan, tujuan diskusi dam putar film ini untuk memberikan pengetahuan dan informasi soal ruang hidup masyarakat adat yang begitu terancam, satu contoh Sabuai.

Dia berharap, kasus kriminalisasi terhadap dua pemuda Sabuai ini jadi perhatian serius para pihak, baik aktivis mahasiswa, pihak kampus, maupun pemerintah.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku juga bersuara. Lenny Patty, Ketua AMAN Maluku mengatakan, kasus dua pemuda Sabuai ini contoh kriminalisasi yang dialami masyarakat adat.

“Pemerintah harusnya melihat masyarakat adat sebagai orang-orang yang harus dilindungi, bukan sebaliknya.”

Sudahlah, masyarakat adat tak dilindungi, mau melindungi diri sendiri dengan protes kala ada yang menghancurkan hutan adat, malah terjerat hukum.

“Mereka menjaga wilayah adat. Mereka sudah melakukan tugas dan kewajiban sebagai masyarakat adat untuk melindungi hutan adat.”

Setelah hutan adat hancur, kala hujan, banjir bandang pun melanda Sabuai. Lagi-lagi, masalah ikutan muncul dari kehilangan hutan tetapi tak ada dukungan dari pemerintah setempat.

Kasus Sabuai ini, kata Lenny, harus jadi pelajaran bagi pemerintah dalam menerbitkan izin harus teliti dan berkomunikasi dengan masyarakat adat.

 

 

 

*******

Foto utama:  Berusaha jaga hutan adat malah terjerat hukum. Itulah yang menimpa kedua pemuda adat Negeri Sabuai, Kaleb Yamarua dan Stevanus Ahlawam.

 

 

Exit mobile version