Mongabay.co.id

Persoalan Lahan Masyarakat Rantau Kasih vs Perusahaan Kayu, Ada Penyelesaian?

Persoalan lahan antara perusahaan kayu dan warga Rantau Kasih sudah ada titik penyelesaian? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Persoalan lahan tak kunjung usai di negeri ini. Tumpang tindih antara ruang hidup warga dan izin perusahaan terus terjadi, salah satu di Rantau Kasih, Kabupaten Kampar, Riau. Para perempuan adat Rantau Kasih, bertahan di tenda untuk menghalang alat berat perusahaan kayu PT PT Nusa Wana Raya (NWR) merobohkan tanaman mereka pada 16 Agustus lalu. Terutama perempuan, anak-anak maupun lansia, hampir satu minggu berada di bawah tenda. Mereka bertahan.

Para laki-laki bolak-balik menyediakan konsumsi dan segala kebutuhan. Mereka turut memantau dan berjaga di luar tenda. Beberapa malam hujan sempat mengguyur tenda dan orang-orang di dalam tidak bisa tidur karena kebasahan.

“Kami bersatu demi memperjuangkan tanah nenek moyang kami. Sebagai penduduk asli di sini, kami ingin hak-hak kami dikembalikan. Demi masa depan anak-anak kami. Tolong pada pemerintah, pedulilah pada kami masyarakat kecil. Kami tidak ingin kaya. Hanya sekadar untuk pendidikan anak-anak kami,” kata Safitri, perempuan adat Rantau Kasih saat ditemui Mongabay di dalam tenda, 20 Agustus lalu.

Dia minta pemutihan lahan setelah mengetahui kebun sampai pemukiman berada dalam konsesi NWR. Suami mereka sudah berkali-kali berunding dengan perusahaan.

Alat berat justru masuk dan bekerja membuka lahan. Karena itu, dia dan perempuan lain berinisiatif berhadapan langsung untuk menghindari kontak fisik antara suami mereka dan pekerja NWR di lapangan.

“Kami tidak ingin ada kriminalisasi. Biarlah kami yang berjuang. Berusaha biar tanah kami kembali,” kata Safitri.

Maryati, perempuan lain, mengatakan, sekitar empat hektar kebun karet telah tumbang oleh alat berat perusahaan. Pohon-pohon karet itu sudah belasan tahun dikelola. Dia yang menebas dan membersihkan lahan dengan manual bersama suami dan anak tertuanya. Mereka mengangkut bibit karet dengan gerobok dari rumah ke lahan.

“Tak ada masalah dengan siapa pun waktu awal-awal kami berkebun,” kenang Maryati yang hampir kehabisan suara gara-gara meneriaki operator alat berat agar ke luar dari lokasi.

Satu-satunya tantangan Maryati dan masyarakat Rantau Kasih lain saat berkebun hanya gajah. Sering dan banyak tanaman mereka rusak kala mamalia dilindungi itu melintas. Namun, katanya, hal itu hal biasa bagi mereka.

Berbeda dengan tantangan saat ini. Pohon-pohon karet tua milik masyarakat hampir habis tergusur perusahaan.

 

 

Para perempuan dan anak-anak Rantau Kasih, berjuang di tenda untuk menjaga lahan mereka. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

Safitri pun membandingkan pengalaman menghadapi gajah dan perusahaan. Gajah hanya mencomot tanaman, perusahaan selain tak hanya menumbang tanaman masyarakat juga merampas tanah mereka.

“Hewan saja masih ingat pada masyarakat. Makan tanaman sekedarnya. Masih mau kita usir. Kalau perusahaan justru mengancam.”

Lahan Safitri belum terkena imbas atas pembukaan areal oleh alat berat NWR. Kebun karet masih jauh di seberang lokasi yang sudah dibersihkan dan ditanami akasia. Dia merasa ikut terpanggil untuk berjuang bersama-sama masyarakat mempertahakan kebun.

Cahyo, Humas NWR yang kerap berada di lapangan, menepis tuduhan mengenai penggusuran pohon-pohon karet masyarakat. Dia bilang, mereka hanya membersihkan semak belukar dan pohon-pohon karet di dalamnya yang tidak produktif, atau sudah dirusak gajah dan tidak pernah dideres masyarakat.

Mereka buka areal di situ karena bagian dari RKT NWR. “Kami tak ada menumbang karet yang masih dideres masyarakat.”

Selain membersihkan areal kerja untuk tanaman baru, NWR juga menanam akasia di sela-sela tanaman sawit yang baru berbuah pasir. Masyarakat melihat, pertumbuhan akasia itu sangat cepat. Satu bulan sejak ditanam tinggi sudah 40 cm. Mereka perkirakan, delapan bulan ke depan bisa mencapai tiga meter. Perkembangan itu justru mengalahkantanaman sawit warga. Ada juga satu hamparan sawit mati dini.

Kata Qodri, sekitar 14 batang sawit menghitam diduga karena kena racun. Sayangnya, tak ada satu orang pun yang lihat pelakunya. Sekitar lima sampai enam hektar kebun karet juga sudah tumbang, rata-rata usia lebih 20 tahun.

Saat ini, katanya, belum semua kebun kena imbas atas pembukaan areal kerja baru NWR. Mereka mewanti-wanti, alat berat akan kembali bekerja dan terus merayap ke lahan lain bahkan pemukiman.

Cahyo meyakinkan, alat berat mereka tak bekerja lagi sejak berseteru dengan masyarakat. Perusahaan, katanya, tidak ingin berhadapan apalagi melawan para perempuan. Perihal akasia yang ditanam di sela-sela tanaman sawit milik masyarakat, kaanya, tindakan itu tidak salah. Lahan itu merupakan kawasan hutan dan sesuai peruntukan tanaman pokok NWR, bukan sawit.

Qodri tetap mengungkapkan ketidakpercayaan pada NWR karena terlalu sering berbohong. Dalam pertemuan yang dimediasi Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesejateraan Rakyat Setda Kampar, perusahaan pemasok akasia ke PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), itu sempat berjanji tidak akan mengganggu kebun masyarakat.

Kenyataan di lapangan justru berbeda. Semula alat berat memang membuka belukar, lambat laun merambah ke kebun sawit yang ditanami masyarakat. Sejak itulah ketenangan masyarakat jadi terusik.

Gara-gara itu juga, para perempuan di Rantau Kasih sempat hidup di tenda menjaga agar kebun turun-temurun yang mereka kelola tak kena alat berat perusahaan.

“NWR tak ada sosialisasi. Menyakitkan sekali. Sebaiknya, NWR sosialisasi RKT terlebih dahulu. Ada semacam ganti rugi atau kebijakan lain dari RKT yang dikeluarkan,” kata Qodri, via saluran telepon, 20 Agustus.

Cahyo kembali menyangkal tuduhan itu. Jauh hari, NWR sudah memberitahu masyarakat lewat papan pengumuman maupun spanduk. Dia kerap mengingatkan masyarakat, terhadap areal kerja maupun izin perusahaan ketika menemukan masyarakat menggarap lahan di atasnya. Selain itu, komunikasi formal juga sering dilakukan dengan pemerintahan desa setempat. Semua itu, katanya, hal teknis.

 

Spanduk yang dipasang warga sebagai bentuk protes kepada perusahaan yang mulai membersihkan kebun warga untuk tanam akasis. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Ada penyelesaian?

Perempuan-perempuan Desa Rantau Kasih, Kecamatan Kampar Kiri Hilir, Kabupaten Kampar, Riau, akhirnya meninggalkan tenda, 21 Agustus lalu. Mereka kembali ke rumah masing-masing.

Hari itu, Kepala Seksi Pengaduan dan Kepala Seksi Penegakan Hukum, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Riau diutus Gubernur Syamsuar menemui masyarakat. Pemerintah berjanji menyelesaikan masalah lahan itu.

Sehari setelah peringatan HUT RI ke 76, Pemerintah Kampar telah merundingkan sengketa lahan itu. Hasilnya, pemerintah desa, kecamatan dan perusahaan akan mendata tanah-tanah yang dikuasai dan diolah masyarakat dalam rencana kerja tahunan (RKT) maupun izin NWR. Teknis pelaksanaan dan tenggat waktu dibahas kemudian di Kantor Camat Kampar Kiri Hilir.

Rapat lanjutan inii diselenggarakan Selasa 24 Agustus. Selain camat, musyawarah ini juga dihadiri KPH Sorek, DLHK Riau, Polsek, perwakilan perusahaan, tokoh masyarakat dan ninik mamak Rantau Kasih.

Al Qodri Syam, Kepala Dusun Sei Belanti menyaksikan langsung, rapat siang itu sudah menunjukkan titik terang penyelesaian masalah. Ditambah tanggapan pemerintahan provinsi dan tim yang diutus ke lapangan beberapa hari sebelumnya. Mereka menyepakati, terlebih dahulu akan verifikasi dan identifikasi masyarakat Rantau Kasih secara utuh terutama yang memiliki lahan di sana.

Pemerintah desa juga diminta menyiapkan segala administrasi kependudukan. Pendataan ini akan disesuaikan di lapangan. Tim akan mengecek langsung ke lokasi. Saat ini, kata Qodri, penduduk di Rantau Kasih sekitar 600 jiwa dari lima dusun. Kemudian akan disesuaikan dengan kebutuhan seperti fasilitas umum, fasilitas sosial, pemukiman atau lain-lain karena semua itu berada dalam konsesi NWR, termasuk lahan-lahan kelola.

Dian Citra Dewi, Kepala Seksi Pengaduan dan Penyelesaian Sengketa DLHK Riau, mengatakan, pemerintah akan mencari skema atau mekanisme tepat sesuai Undang-undang agar masyarakat dapat berkebun dan perusahaan terus melanjutkan kegiatan sesuai izin usaha yang dimiliki.

“Bahan mentah untuk verifikasi administrasi sudah diperoleh namun perlu disaring lagi sesuai batasan-batasan kepemilikan lahan. Akhir bulan ini akan pengecekan langsung,” katanya.

 

Pemukiman warga dari relokasi oleh pemerintah Rantau Kasih, Kabupaten Kampar, Riau. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Pangkal masalah

Semula, Kampung Rantau Kasih berada di tepian Sungai Kampar Kiri. Karena sering terendam banjir kala sungai meluap, Pemerintah Kampar memindahkan masyarakat ke dataran lebih tinggi. Berjarak sekitar 700 meter ke atas dari bibir sungai. Kala itu, tahun 2000, bersamaan dengan penetapan Rantau Kasih sebagai desa definitif. Sebelumnya, ia masuk bagian Desa Sungai Pagar.

Pemerintah menyediakan rumah dari kayu. Bentuk dan ukuran mirip tetapi tidak menyediakan lahan garapan seperti program transmigrasi. Masyarakat Rantau Kasih tetap melanjutkan pengelolaan kebun turun menurun mereka. Kemudian, berangsur-angsur menebang hutan dan membuka lahan baru untuk beladang dan berkebun karet.

Berbekal bantuan bibit karet bagi masyarakat miskin dari Pemkab Kampar, berkebun jadi tantangan masyarakat karena harus berhadapan dengan gajah—yang memang daerah jelajahnya. Tanaman mereka, terutama karet, tak pernah dapat dinikmati sepenuhnya karena kerap diserang gajah.

Menurut Qadri, ketidakberdayaan masyarakat ketika menghadapi gajah juga karena kurang kompak saat memulai tanam. Jadi, gajah harus ditanggulangi sendiri-sendiri pemilik kebun.

Solusinya, masyarakat terus menerus menyisip bibit-bibit karet baru pada bekas tanaman yang dirusak gajah. Hanya beberapa batang karet tersisa yang dapat dideres hingga saat ini. Sampai akhirnya, masyarakat kompak dan berangsur-angsur beralih ke sawit.

Pertimbangannya, harga karet makin merosot, sawit diyakini lebih menjanjikan. Umur sawit saat ini rata-rata empat tahun dan sudah menuai hasil.

Selain berkebun, masyarakat Rantau Kasih juga masih menjalankan kearifan lokal dalam mencari ikan di sungai. Mereka mengenal sistem lelang suak atau danau-danau kecil di sekitaran Sungai Kampar Kiri.

Ikan-ikan di dalamnya hanya boleh diambil oleh satu orang pemenang lelang pada tahun itu. Pememang wajib membayar uang lelang ke desa. Model itu jadi penyumbang pendapatan asli desa (PAD) yang masih tetap berlangsung hingga saat ini, selain ponton sebagai alat penyeberangan sungai.

Agustus ini, mestinya lelang suak sudah diumumkan oleh tokoh masyarakat dan ninik mamak Rantau Kasih. Gara-gara kekisruhan masalah lahan, agenda tahunan ini sedikit terganggu. Pasalnya, mereka sudah 20 tahun lebih bermukim dan mengelola kebun di sana, ternyata lahan itu sudah berizin.

Sebagai masyarakat yang tinggal di kampung tertua di Kampar Kiri dan pernah jadi bagian dari Kerajaan Gunung Sahilan, mereka tak pernah bayangkan, pemukiman hasil kebijakan relokasi pemerintah ternyata sudah pemerintah berikan izin kepada NWR.

NWR punya izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHKHT) berdasarkan SK.241/Menhut-II/2007 seluas 26.880 hektar. Hamparannya, terletak di Blok Pelalawan dan Blok Kampar. Berdasarkan RKT saat ini, luas areal kerja NWR sekitar 4.000 hektar untuk kedua blok. Perkampungan dan pemukiman Rantau Kasih masuk dalam RKT.

Cahyo bilang, di blok Pelalawan sudah dibersihkan semua untuk persiapan tanam akasia baru. Blok Kampar hanya dapat dibuka dan dibersihkan sekitar 150 hektar, gara-gara masalah tumpang tindih RKT dengan pemukiman masyarakat yang berujung keributan. “Cuman, kami memang tidak akan mengerjakan di perumahan-perumahan masyarakat itu.”

Kebijakan pemerintah daerah dan pusat ini menjadi dilema tersendiri bagi Qodri. Menurut dia, satu sisi Pemerintah Kampar menunjukkan perhatian terhadap masyarakat yang kerap tedampak banjir. Sisi lain, pemerintah pusat menetapkan areal yang mereka tempati dan olah sebagai areal kerja perusahaan.

Qodri hanya meminta pada pemerintah, supaya memikirkan kesejahteraan masyarakat yang secara ekonomi jauh dari sejahtera. Tambah susah lagi, ketika berkebun tergusur.

“Pemerintah mesti tinjau ulang kebijakannya. Kalau ada pemukiman harus dipikirkan perkembangan ekonominya, termasuk wilayah pertanian dan perkebunan sebagai sumber mata pencarian.”

Tangkas Marisi H, Kasubbag Administrasi Kewilayahan Kampar, mengakui pemukiman masyarakat berada dalam kawasan hutan termasuk konsesi NWR. Saat pemindahan, pemerintah daerah merujuk pada peta tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) juga belum ada paduserasi hingga belum teridentifikasi sebagai konsesi NWR.

Pemerintah Kampar tengah menyelesaikan persoalan masa lampau ini, mengikuti skema penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan atau PPTKH. Masyarakat melalui pemerintah desa diminta mengusulkan. Sekarang, pemerintah kabupaten dalam tahap pemetaan sebagai satu syarat diajukan ke Tim PPTKH provinsi.

Setelah verifikasi, disampaikan ke kementerian untuk dikeluarkan dari kawasan.

 

Bibit akasis mulai tanam di sekitar sawit. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

 

*****

Foto utama: Persoalan lahan antara perusahaan kayu dan warga Rantau Kasih sudah ada titik penyelesaian? Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version