Mongabay.co.id

Rempah yang Membaurkan Berbagai Suku Bangsa di Sungai Musi

 

Baca sebelumnya: Damar, Rempah yang “Merajut” Delapan Anak Sungai Musi

**

 

Sungai Musi bersama delapan anaknya [Sungai Komering, Sungai Ogan, Sungai Lematang, Sungai Lakitan, Sungai Batanghari Leko, Sungai Kelingi, Sungai Rupit, dan Sungai Rawas], didiami berbagai suku. Hampir semua suku tersebut merupakan pembauran masyarakat pendatang dan lokal, yang datang sejak ratusan tahun lalu. Mengapa mereka datang dan menetap di sekitar Sungai Musi?

“Ya, rempah-rempah, yang membuat berbagai suku bangsa datang dan menetap di berbagai wilayah di Sungai Musi maupun anak-anaknya,” kata Retno Purwanti, arkeolog dari Balai Arkeologi [Balar] Sumatera Selatan, kepada Mongabay Indonesia, Sabtu [11/9/2021].

Rempah-rempah tersebut, “Mulai dari jernang [Daemonorops sp], damar [Agathis dammara (Lamb.) Rich.], pinang [Areca catechu], gaharu [Aquilaria malaccensis], kemenyan [Styrax benzoin Dryand.], gambir [Uncaria gambir Roxb], hingga lada [Piper nigrum],” kata Retno.

Berbagai suku bangsa tersebut datang dari masa Kedatuan Sriwijaya, Majapahit, Kesultanan Palembang, hingga pemerintahan Hindia Belanda. “Bahkan gelombang kedatangan ini terus berlangsung hingga pemerintahan Indonesia, misalnya dalam program transmigran,” terangnya.  

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Balai Bahasa Sumatera Selatan, saat ini di Sumatera Selatan tercatat tujuh bahasa daerah, yakni Melayu, Komering, Ogan, Lematang, Kayuagung, Jawa, dan Pedamaran. “Bahasa ini dituturkan pada sejumlah suku yang hidup di sekitar Sungai Musi dan anak-anaknya seperti Sungai Komering, Sungai Ogan dan Sungai Lematang,” kata Budi Agung Sudarmanto, peneliti sastra dan bahasa dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan.

Beberapa nama terkait rempah-rempah, memiliki kesamaan. Salah satunya damar. Hanya lada yang memiliki nama lain seperti sahang dan merica.

Kesultanan Palembang yang menguasai Sumatera bagian Selatan dan Kepulauan Bangka Belitung, saat berbisnis dengan Belanda, bukan hanya mengandalkan timah, juga rempah, khususnya lada.

“Lada merupakan komoditi dagang utama masa Kesultanan Palembang, sehingga proses penanaman dan mekanisme perdagangannya diatur sultan dalam bentuk prasasti dari logam [Layang piagam]. Aturan ini terkait perjanjian perdagangan Kesultanan Palembang dengan Belanda,” katanya. 

Layang piagam diberikan kepada para penguasa di daerah uluan. Layang piagam tertua dikeluarkan Sultan Abdurrahman [berkuasa dari 1662- 1706]. Layang Piagam, selain dikeluarkan sultan Palembang, juga dikeluarkan sultan-sultan dari Banten. “Lampung pernah menjadi perebutan antara Palembang dan Banten terkait lada,” jelas Retno.

Baca juga: Ulu Rawas, Jejak Peradaban Manusia di Sumatera yang Terlupakan

 

Kawasan Ulu Sungai Rawas ini dulunya dipenuhi tanaman rempah, seperti damar. Tapi kini berubah menjadi perkebunan dan dirambah. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hidup harmonis

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, berbagai suku bangsa terus berdatangan ke Palembang. Mereka dibagi tiga kelompok etnis, yakni Arab [Yaman], China dan India.

Di Palembang, para pendatang baru ini ditempatkan pada sejumlah kampung yang berada di Palembang Ulu atau di seberang wilayah pemerintahan Kesultanan Palembang yang disebut Palembang Ilir. Setiap kelompok pendatang ditunjuk seorang kapten sebagai pemimpinnya.

“Meskipun mereka berbeda kampung, tapi hubungan terjalin harmonis. Hingga saat ini belum pernah terjadi konflik antarsuku atau etnis di Palembang. Termasuk konflik agama atau kepercayaan. Banyak masjid tua yang berdekatan dengan klenteng. Berbagai produk budaya pun dilahirkan dari pembauran ini. Mulai dari seni, kuliner, arsitektur rumah, dan lainnya,” kata Henny Yusalia, peneliti komunikasi budaya dari UIN Raden Fatah Palembang, kepada Mongabay Indonesia.

Contohnya makanan pempek, “Makanan ini menggunakan teknik pembuatan makanan China, tapi bahan bakunya dari lokal, serta menggunakan rempah atau bumbu yang biasa digunakan masyarakat China, Jawa dan Melayu. Kaya rasa, seperti gurih, asam, manis dan pedas. Makanya, pempek selalu menjadi menu dalam berbagai perayaan agama, baik Islam, Kristen, Budha maupun Konghucu,” jelas Henny.

Foto Udara: Api Membara di Rawa Gambut Sumatera Selatan

 

Gunung Dempo merupakan wilayah Suku Pasemah yang dikatakan keturunan seorang pangeran dari Majapahit. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pesona rempah

Suku Komering yang menetap di sepanjang Sungai Komering, dikaitkan dengan buah pinang. Dikutip dari okutimurkab.go.id, sebelum abad ke IX, kawasan sepanjang sungai ini banyak ditemukan pohon pinang. Banyak pedagang dari India yang berniaga dengan penduduk setempat.

Sumber lain menyebutkan, “komering” berasal dari nama saudagar pinang dari India yang bernama Komring Sing [Singh]. Makam Komering Sing disebutkan berada di dekat pertemuan Sungai Selabung dan Waisaka, di dekat Muaradua.

Berdasarkan penuturan sejumlah tokoh masyarakat Suku Pasemah [Besemah] seperti di Pagaralam dan Lahat, kepada Mongabay Indonesia, leluhur Suku Pasemah seorang pangeran dari Majapahit. Pada masa lalu, di wilayah Gunung Dempo, mereka mengelola berbagai rempah, seperti damar, kayu manis, gaharu, lada, hingga kopi yang dikondisikan pemerintahan Hindia Belanda.

“Leluhur kami bernama Atung Bungsu. Dia datang dari Majapahit. Ada yang mengatakan puyang kami itu sebenarnya dari sini yang merantau ke Jawa, dan kembali lagi,” kata Budiono [57], Ketua Masyarakat Adat Kedung Samad, kepada Mongabay Indonesia, dua tahun lalu.

Masyarakat adat Kedung Samad menetap di Dusun Tebat Benawa, Pagaralam. Dusun Tebat Benawa yang berada di hulu Sungai Lematang, dipercaya sebagai dusun tertua Suku Pasemah.

Beberapa suku mengklaim sebagai suku asli di Sumatera Selatan. Misalnya Suku Ogan, yang mengaku berasal dari Gunung Dempo. Keyakinan ini juga didukung keberadaan Goa Harimau, yang berada di Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu [OKU]. Pada goa yang berada di tepian Sungai Ogan, ditemukan lukisan dan kerangka manusia purba, yang hidup ribuan tahun lalu. 

Suku Ogan membaur dengan para pendatang [Timur Tengah dan India]. Sebagian keturunannya hidup dalam berbagai dusun di Ogan Ilir. Rempah merupakan mata pencarian mereka, seperti damar dan lada. Namun di masa pemerintahan Hindia Belanda, wilayah ini menjadi sentra getah karet.

Masyarakat di Dusun Meranjat yang berada di Ogan Ilir, kemudian berpindah ke Sungai Komering untuk mengelola atau mengumpulkan damar. “Masyarakat yang pindah tersebut akhirnya membentuk Suku Pedamaran,” kata Retno.

 

Pedamaran dulunya merupakan pusat mengelola getah damar. Kini sebagian besar rimbanya habis menjadi perkebunan sawit. Setiap tahun hampir selalu menjadi langgaran kebakaran lahan rawa gambut. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Pada saat ini, Suku Pedamaran sudah tidak lagi mengelola damar. Wilayah hutan di sekitar Pedamaran sebagian besar sudah habis, dan menjadi perkebunan sawit yang banyak dikelola perusahaan.

Suku Kubu atau Suku Anak Dalam [SAD] mengaku berasal dari Sungai Rawas dan Sungai Rupit. Sebagian keturunan suku ini masih hidup di wilayah Sungai Rawas dan Sungai Rupit.

Berdasarkan bukti arkeologi, di wilayah hulu Sungai Rawas, sudah didiami manusia purba sejak ribuan tahun lalu. Mereka terhubung dengan manusia purba yang pernah hidup di hulu Sungai Batanghari dan Kerinci, Jambi. 

“Suku Kubu, Suku Melayu tertua di Sumatera Selatan, hingga saat ini masih mencari buah rotan  jernang [Daemonorops sp] atau dikenal dragon’s blood, yang resinnya dimanfaatkan sebagai dupa, pewarna dan obat tradisional. Resin jernang ini merupakan komoditas terkenal di masa Kedatuan Sriwijaya, seperti dijadikan dupa dan pewarna,” kata Retno.

Dikutip dari artikel “Damar dalam Jaringan Perdagangan Masa Kerajaan Sriwijaya” yang ditulis Retno Purwanti, di wilayah huluan dan muara Sungai Rawas terdapat tiga situs yang menandakan sebagai pusat pengumpul [collecting centres]. Yakni Tingkip, Lesungbatu, dan Binginjungut. Dari pusat pengumpul tersebut, rempah-rempah dibawa melalui Sungai Rawas dan Sungai Musi untuk sampai ke Palembang.

Retno mengutip pendapat Marsden [1975:159] yang menyatakan damar tumbuh di seluruh Sumatera, seperti Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Lampung. Serta, Wolters [1974] yang menuliskan pegunungan dekat Sriwijaya [Rawas, Lahat, Ogan Komering Ulu, dan Ogan Komering Ilir] menghasilkan damar hitam.

Ditulis Retno, lokasi penghasil damar menurut Marsden dan Kusumohartono, sesuai dengan situs-situs penghasil damar, yaitu Situs Tingkip, Lesungbatu, dan Situs Binginjungut. Situs Tingkip dan Lesungbatu berada tidak jauh dari Sungai Rawas, sedangkan Situs Binginjungut di tepi Sungai Musi.

Pada ketiga situs tersebut, ditemukan getah damar yang menempel pada artefak kayu, serta adanya sejumlah pohon damar yang tumbuh di sekitar situs.

 

Rumah-rumah panggung yang masih bertahan di tepi Sungai Musi, tepatnya di Kampung 14 Ulu, Palembang, Sumatera Selatan. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Mengelola perompak

Catatan sejarah menyebutkan Kedatuan Sriwijaya, merupakan kerajaan yang mampu mengelola para bajak laut atau perompak ini menjadi sebuah kekuatan guna menguasai lautan, terutama di Selat Malaka, Selat Bangka, hingga Selat Karimata dan Selat Sunda.

Ahmad Berkah dalam “Dampak Kekuasaan Maritim Sriwijaya Terhadap Masuknya Pedagang Muslim Di Palembang Abad VII-IX Masehi”, dikutip dari National Geographic Indonesia  menjelaskan karena Sriwijaya mampu mengendalikan bajak laut, jalur pelayaran menjadi aman dan nyaman, sehingga Sriwijaya mendapat pengakuan kedaulatan dari mancanegara.

Cheng Ho beberapa kali berkunjung ke Palembang. Salah satu misinya menangkap Chen Zuyi, seorang pimpinan perompak yang menguasai Palembang pada abad ke-15, yang terkenal hingga ke Tiongkok pada masa Dinasti Ming.

“Kehadiran para perompak itu sangat wajar. Itu menunjukan Palembang dan wilayah sekitarnya merupakan wilayah yang kaya karena perdagangan rempah-rempah,” kata Conie Sema, pekerja seni dan budaya dari Teater Potlot.

“Wilayah yang kaya itu menarik perhatian banyak orang. Bukan hanya saudagar, pedagang, intelektual, tokoh agama, juga para perompak. Jadi, kehadiran perompak tersebut membuktikan pada masa lalu Palembang dan sekitarnya merupakan kawasan ramai oleh perdagangan, termasuk rempah-rempah, yang menarik perhatian banyak suku bangsa dengan beragam profesinya,” katanya.

Conie menyakini jika para perompak ini membaur pada sejumlah suku di Sumatera Selatan, dan melahirkan keturunan. “Buktinya kita sering mendengar kisah tentang tokoh-tokoh jagoan pada sejumlah kelompok masyarakat, yang mungkin sebenarnya seorang bandit atau perompak. Tokoh-tokoh ini mendapatkan ruang yang sama dengan tokoh agama atau pemimpin masyarakat.”

Kemampuan Sriwijaya mengelola atau mengatur para perompak, menjadi sebuah kekuatan, sebuah pelajaran yang berharga. “Pada masa apa pun, termasuk hari ini, bandit akan selalu hadir. Ada gula, ada semut. Beragam semut yang datang,” ujarnya.

 

 

Exit mobile version