Mongabay.co.id

Was-was Masa Suram Era UU Cipta Kerja

 

 

 

 

Tahun lalu, pemerintah bersama DPR mengesahkan Undang-undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja. Berbagai protes dan penolakan terhadap aturan hukum yang meringkas puluhan aturan (omnibus law) seakan tak terdengar.

Ketika Rancangan UU Cipta Kerja dibahas di parlemen, demonstrasi muncur di berbgai daerah di Indonesia. Mereka menentang dan menggaungkan #Reformasi Dikorupsi. Mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi yang berdemonstrasi, ditanggapi dengan represi aparat kepolisian. Ratusan demonstran–kalau tak ingin menyebutnya ribuan– babak belur.

Para akademisi pun mengkaji draf RUU itu penuh teliti. Mereka menemukan banyak kekeliruan. Dari proses penyusunan serba kebut hingga substansi UU Cipta Kerja itu sendiri. Peraturan turunan dari omnibus law ini pun sudah bermunculan.

Mengapa Undang-undang itu telah menyulut protes begitu luas? Mereka yang mengkaji dan menolak menilai, UU ini bak karpet merah buat investor, dengan menebus nasib masyarakat marjinal, petani. komunitas adat, buruh, dan lingkungan hidup di Indonesia.

“Undang-undang ‘Cilaka’ ini sesungguhnya bukan hendak menyelesaikan problem-problem sosial ekonomi politik, yang dihadapi masyarakat, kata Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dalam Konferensi Nasional Reforma Agraria (KNRA) 2021, akhir pekan lalu.

UU ini, katanya, sebenarnya menempatkan masyarakat di ujung tanduk karena motor penggerak ekonomi dan sumber-sumber penghidupan rakyat itu, diserahkan kepada korporasi atau para pemilik modal. “Gampangnya, UU ini memudahkan praktik-praktik dan proses-proses perampasan tanah berskala besar.”

Menurut Dewi, pemerintahan Joko Widodo, cenderung mengedepankan tanah, sumber daya alam, dan penduduk yang begitu besar, sebagai daya tarik investasi.

“Tidak heran terkait agraria, sumber daya alam itu kurang lebih ada 19 UU yang sudah direvisi, ditambah, dihapus,… untuk memperkuat kepentingan tanah bagi pemilik modal,” katanya.

Posisi tanah dalam UU Pokok Agraria, katanya, memiliki fungsi sosial, sebaliknya, di dalam UU Cipta Kerja. “Karena tanah tidak mempunyai fungsi sosial lagi tetapi diproyeksikan sebagai komoditas.”

Karena komoditas jadi komersil, transaksi hanya para pemilik modal atau yang punya relasi kekuasaan. “Masyarakat hanya sebagai obyek pembangunan, bukan aktor pembangunan. Dia adalah sumber upah murah.”

UU Ciptaker, katanya, juga membangkitkan domein verklaring yang sudah mati bersama pemerintahan kolonial Hindia Belanda, sebelumnya sempat tersemat dalam RUU Pertanahan.

 

Baca juga: Mempertahankan Lahan dari PT TPL, Warga Adat Natumingka Luka-luka

Pengakuan dan perlindungan kepada masyarakat adat minim, datang UU Cipta Kerja. Bagaimana nasib mereka era UU ini nanti berlaku? Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Bahayakan masyarakat adat

Erasmus Cahyadi, Deputi Advokasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, pembuatan UU ini juga tidak memasukkan paradigma hak asasi manusia.

“Dalam konteks masyarakat adat, absennya paradigma HAM dalam penyusunan UU Ciptakerja tampak nyata dari sifatnya yang sangat diskriminatif.”

Di mana letak diskriminatif itu? Erasmus bilang, UU Cipta Kerja hanya memudahkan investasi untuk menguasai tanah, sementara masyarakat adat kuasai wilayah justru sulit. “Ini ibarat, dua derap langkah yang tak selaras. Satu berlari begitu kencang dan satu terseok-seok.

Dalam lima tahun terakhir, catatan Erasmus, hutan adat yang ditetapkan belum melewati 60.000 hektar. Bahkan, dua dekade terakhir, pengakuan tanah ulayat hanya mencapai 20.000-an hektar.

“Itu menunjukkan, memang UU Cipta Kerja bersifat diskriminatif dan berbahaya terhadap kelangsungan hidup masyarakat adat,” katanya.

Kenapa berbahaya? “Karena di tengah kecepatan yang sifatnya diskriminatif tadi, kecepatan investasi, sisi lain ketidakjelasan hak masyarakat adat, maka wilayah-wilayah adat itu jadi rentan, makin rentan untuk diambil alih, dirampas.”

Situasi demikian, katanya, bukan menciptakan pekerjaan bagi masyarakat adat, justru menghilangkan pekerjaan-pekerjaan tradisional mereka.

Padahal, kata Erasmus, pekerjaan-pekerjaan tradisional masyarakat adat sudah mendapatkan perlindungan dalam perangkat hukum HAM internasional, salah satu, Konvensi Ilo 111.

“Itu bukti yang menunjukkan, UU Cipta kerja ini tidak memperhatikan hukum HAM di dalam proses penyusunan. Hasilnya, bersifat diskriminatif dan membahayakan masyarakat adat juga lingkungan hidup.”

 

Baca juga: Banjir Kritik Pengesahan UU Cipta Kerja, Pemerintah Kejar Target Bikin Aturan Turunan

Setelah UU Cipta Kerja, penegakan hukum pada korporasi perusak hutan dan lingkungan tak lagi bisa langsung pidana atau perdata, tetapi dengan sanksi administrasi. Akan makin baikkan bagi lingkungan hidup, atau sebaliknya? Foto: Yitno Supraptp/ Mongabay Indonesia

 

Impunitas korporasi perusak lingkungan

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi Nasional berpendapat, UU Cipta Kerja memberikan impunitas terhadap korporasi, maupun perusak lingkungan.

Pada masa Orde Baru, dalam Undang-undang yang terkait lingkungan hidup, hak-hak masyarakat atas informasi, partisipasi, keadilan, hingga menyatakan ketidakpuasan terhadap proyek investasi itu tercantum. Dengan UU Cipta Kerja, hak-hak itu, justru melemah.

Dia mencontohkan, dalam proses perizinan via online single submission (OSS), investor tak perlu lagi mensosialisasikan atau berkonsultasi, bahkan minta persetujuan kepada masyarakat lokal.

“Itu nggak akan ada lagi. Karena mereka cukup membuat secara online. Mendaftar. Men-submit dokumen-dokumen. Mengenai perlindungan terhadap lingkungan? Mereka hanya mengatakan berkomitmen.”

Selain itu, kata Yaya, sapaan akrabnya, UU Cipta Kerja turut memberangus segala prinsip-prinsip tata kelola lingkungan hidup. Misal, prinsip terkait pencemar-membayar. “Kan ini bukan hanya sekadar membayar, tetapi harus mempertanggungjawabkan hasil dari perbuatannya,” katanya.

Prinsip kehati-hatian juga hilang. Ketika perusahaan melanggar hukum karena kebakaran hutan ataupun deforestasi, tak bisa langsung terjerat pidana tetapi sanksi administratif.

“Setelah mereka membayar denda, boleh beroperasi kembali.”

Kondisi ini, katanya, bisa sangat merugikan alam Indonesia. Apalagi, selama in proses-proses penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi itu sangat sulit. Apatah lagi, kala korporasi benar-benar mendapat tameng. “Mereka [bisa] benar-benar imun dari berbagai jeratan hukum.”

 

Baca juga: Kala Pemerintah Keluarkan Aturan Limbah Batubara Tak Masuk B3

Di Dusun Lambolo, Desa Ganda Ganda, Petasia, Morowali Utara, Sulawesi Tengah, warga protes kana asap dari pabrik smelter. Mereka akhirnya, ngungsi di DPRD Morowali Utara, sebagai aksi protes atas pencemaran lingkungan hidup di wilayah mereka. Foto: Jatam Sulteng

 

 

Hancurkan imunitas sosial-ekologi

“UU Cipta Kerja menghancurkan imunitas sosial ekologi,” kata Merah Johansyah, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang. Dia mengibaratkan, macam virus Sars-Cov-2, penyebab pandemi COVID-19, yang masuk dan mengancam kehidupan warga.

Isi dan klausul dalam UU Cipta Kerja, katanya, berbahaya dan memperluas laju daya rusak pertambangan. Mengeluarkan limbah abu batubara (fly ash, bottom ash) dari daftar bahan berbahaya dan beracun, satu contoh Merah.

Adalah PP 22/2021, turunan UU Cipta Kerja dari 49 aturan. “[Juga] menghapus limbah slag nikel, bahkan juga limbah sawit. Itu artinya, keselamatan rakyat sudah diabaikan, yang dikedepankan keselamatan korporasi,” katanya.

“Jadi bisnis harus berjalan, caranya [memberi] diskon besar-besaran terhadap seluruh instrumen atau pranata perlindungan. Jadi, yang disajikan atau dijanjikan Undang-undang ini masa depan penuh racun.”

Bagi Merah, UU Cipta Kerja tak ubah kitab hukum oligarki, salah satu korporasi tambang. Dalam berbagai klausul UU itu, keselamatan korporasi tambang dijamin, dengan memberi insentif fiskal maupun non-fiskal.

“Kita lihat antara pasal UU Cipta Kerja menyebut, ada insentif royalti sampai-sampai 0% bagi perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi.”

UU Cipta Kerja juga mengancam inisiatif baik untuk moratorium tambang, dengan mendorong peraturan gubernur. Setahu Merah, upaya moratorium tambang, mulai digerakkan di sejumlah daerah di Indonesia. Dia memprediksi, inisiatif ini akan menguap.

“Karena sentralisasi kewenangan dan pemerintah pusat sekarang memberikan kewenangan perizinan pintunya pada BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) dan dibuka seluas-luasnya.”

 

Melawan amanah konstitusi

Dalih UU Cipta Kerja, awalnya buat menjamin usaha mikro, Kecil, dan menengah masyarakat terus berjalan. Tidak menurut pandangan Endriatmo Soetarto, Guru Besar Agraria Institut Pertanian Bogor University.

“Apalagi kelompok-kelompok usaha pedesaan, yang terdiri dari petan, nelayan dan warga desa lain senyatanya mereka juga banyak berkontribusi terhadap produksi pedesaan selama ini. Ini menurut saya, sangat mengkhawatirkan.”

UU Cipta Kerja, katanya, selaras dengan kebijakan neoliberalisme ekonomi dan saling bertentangan dengan perintah konstritusi Indonesia, yaitu Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan, perekonomian disusun berdasarkan asas kekeluargaan dan UU Pokok Agraria.

Selain mengancam reforma agraria, desentralisasi kekuasaan dari pusat ke daerah dan otonomi daerah untuk mengatur diri, terancam keok setelah UU Cipta Kerja. Padahal, dua ide itu merupakan anak kandung reformasi, setelah Rezim Soeharto, runtuh.

“Dengan UU Cipta Kerja itu semua hilang. Jadi, banyak dampak … pada hal-hal lain yang sebetulnya mengabaikan perjalanan panjang sejarah bangsa dan negara ini. Jadi sudah waktunya menurut saya kita hentikan dengan kekuatan yang ada pada kita.”

 

 

******

Foto utama: Masalah lahan antara masyarakat adat Natumingka, di Sumatera Utara, dengan perusahaan kayu PT TPL. Masalah meruncing Mei lalu, sempat bentrok dan belasan warga Natumingka, luka-luka. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version