Mongabay.co.id

Geliat Pengelolaan Hutan di Nagari Paru

 

 

 

 

Ilhendra Gunawan, pemuda Nagari Paru, sesekali masuk hutan mencari rotan. Hari itu, dia tengah mencari-cari batang kecil panjang berduri dan memapasnya.

“Kalau ada pesanan saja [baru ambil rotan],” katanya.

Kalau tak ada yang pesan rotan kadang dia pakai untuk keperluan pribadi.

Andes, pemuda Paru yang lain juga ikut masuk hutan mencari rotan. Sesekali dia bersama Iel menarik bersama-sama rotan yang kelewat panjang.

Bersama mereka ada Sahirman, Datuak Gadang Jolelo, merupakan juru kunci rimbo. Sejak muda dia sering masuk hutan mencari rotan atau buah-buahan.

Kalau ke hutan, dia kadang bertemu rusa dan ungko. Harimau sekali berhadap-hadapan sebentar dan saling menjauh satu sama lain.

“Cari rotan paling satu jam masuk ke hutan itu udah banyak,” katanya.

Sahirman berharap, generasi muda bisa memanfaatkan maksimal potensi hasil hutan bukan kayu di Nagari Paru ini.

Pengambilan rotan juga tak sembarangan. Rotan bisa diambil hanya yang berumur tua atau panjang empat meter. Pemanfaatan pun biasa jadi tali pengikat pagar persemaian padi atau pagar rumah dan kebun, untuk kincir, keranjang, tikar hingga jemuran. Rotan juga untuk bahan anyaman dan dijual.

Sunarto, perajin anyaman rotan di Nagari Paru, Kabupaten Sijunjung, Sumatera Barat mengatakan, sering masuk rimba dan menganyam rotan sejak 2003. Dia baru benar-benar aktif menganyam setelah 2014, ketika ada pelatihan memproses rotan untuk diolah.

Dia hanya menganyam ketika ada pesanan. Rotan yang digunakan jenis dari luar Nagari Paru. Dia beli di Padang karena kebutuhan mesin yang tak memadai di Nagari Paru.

Bila nagari ingin memproduksi besar-besaran, katanya, perlu mesin untuk memproses rotan. “Kalau kita pribadi saja ya nggak sanggup. Satu unit harga ada Rp150 juta, apalagi untuk bikin rotan pitrik ini, sudah tanya di Cirebon harga Rp125 juta. Itu komplet alat untuk bersihin rotan.”

Meski begitu, Sunarto tetap mengerjakan pesanan. Pesanan datang dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sijunjung, ada pula dari Dinas Kehutanan. Dosen Universitas Andalas juga ada pesan. Harga anyaman bervariasi.

“Ada yang Rp150.000 seperti (boneka) ini. Ada juga Rp5 juta seperti lemari ini,” katanya.

Harga ditentukan dari berapa banyak modal habis hingga tingkat kesulitan membuat produk.

 

 

Baca juga: Menjaga Rimbo Larangan, Merawat Sumber Pangan Nagari Paru

Kerajinan dari rotan. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Sunarto adalah seorang parimbo atau orang yang sering pergi ke hutan dan menemukan setidaknya ada 100 jenis rotan. Rotan sago, menurut dia berkualitas bagus. “Itu tanpa dipelitur atau tanpa dipernis sudah mengkilap. Asal tidak kena hujan dan panas saja,” katanya.

Kalau memang ada dukungan usaha mikro kecil menengah, bukan tak mungkin akan menyerap sekitar 20 pekerja untuk menjalankan usaha ini.

Iskandar, Wali Nagari Paru mengatakan, mereka memperjuangkan status rimbo larangan ini ke Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup sejak 2001 atau 2004. Akhirnya, mereka mendapatkan status hutan lindung atau rimbo larangan itu sekitar 2014.

“Dengan itu kita berhak memanfaatkan hutan dengan tidak merusak. Seperti memanfaatkan HHBK seperti rotan, jasa lingkungan, bahan obat-obatan, buah-buahan dan bisa untuk ekowisata,” kata Iskandar.

Penelitian Nunung Puji Nugroho dan Dona Octavia dalam Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam menyebutkan, tingkat keanekaragaman produk HHBK di Nagari Paru, ada 98 jenis.

Pemanfaatan rotan setidaknya ada delapan kategori, seperti untuk pangan, obat, kerajinan, pewarna, resin atau getah, bangunan, ritual adat dan lain-lain.

Dalam penelitian itu, ditemukan 18 jenis rotan, sembilan masuk daftar 20 jenis HHBK dominan. Beberapa jenis rotan teridentifikasi bernama rotan sikai (calamus sp.) paling banyak sekitar 149 tanaman, rotan semut (Daemonorops verticilliaris) dan rotan udang (Calamus spectabilis BI).

Il dan Sunarto banyak menemukan rotan tunggal dan rotan sago yang disebut-sebut punya kulitas paling bagus.

Yuki Alandra, peneliti dari Universitas Padjadjaran mengatakan, ada jenis rotan lain seperti manau (Calamus manan Miq), rotan batu (Calamus diepemhorstii), rotan buau, dan rotan sega (Calamus caesius Blume), Juga, rotan udang (Korthalsia echinometra Beccari), rotan lilin (calamus blumi), rotan jernang (Daemonorops didymophylla) dan rotan sikai dengan daun untuk atap pondok sawah.

“Produk dari kami anyaman rotan ini. Rotan melimpah. Bisa berton-tonlah keluarnya. Itu akan kami kembangkan melalui kelompok-kelompok masyarakat dalam menopang ekonomi masyarakat.”

Iskandar bilang, potensi kerajinan rotan ini masih belum lancar. Dukungan pemerintah juga belum maksimal. Kerajinan ini, katanya, perlu biaya besar namun bantuan pemerintah belum ada. Tak sampai 1% APBD habis untuk membantu industri nagari ini.

“Kalau bisa semua kantor pemerintahan bisa menggunakan anyaman rotan dari Paru,” katanya.

 

Ilhendra Gunawan, pemuda Nagari Paru, mencari rotan di hutan. Foto: Jaka HB/ Mongabay Indonesia

 

Ketika Mongabay berkunjung ke rumah wali nagari dan Ketua Karapatan Adat Nagari (KAN) terdapat kursi dan meja tamu berahan dasar rotan.

Iskandar bilang, kursi itu hasil karya orang Paru. Dia menunjuk beberapa kursi di ruang tamu yang terbuat dari rotan. Harapannya, setiap kantor pemerintahan di Sijunjung, gunakan produk rotan dari Nagari Paru.

 

Ekowisata

Hujan turun. Iskandar memandang keluar. Kemudian dia lanjut cerita rencana-rencana untuk memaksimalkan potensi hutan.

Dia katakan, izin status rimbo larangan ini berlaku 35 tahun. “Kalau kita masih mempertahankan hutan ini, izin bisa diperpanjang dengan mengajukan permohonan lagi,” katanya.

KLHK, menyatakan, nagari bisa mengembangkan hasil hutan lain seperti jasa lingkungan. Jasa lingkungan seperti air minum, walau pun menurut Iskandar, ada sumber air yang rusak.

KLHK melihat ada peluang wisata lingkungan yang besar. “Kami punya gua-gua yang bagus dan area yang bisa ditanami buah yang bisa menopang ekonomi masyarakat.”

Pembukaan jalan ekowisata sudah ada dua km. Mereka mempersiapkan camping ground.

Rencana mereka kalau jadi, anak-anak sekolah di nagari tetangga akan diundang untuk kemah di situ. “Bisa memetik buah dan mengadakan acara di situ,” katanya.

Selain itu, di Nagari Paru, juga punya banyak ngalau atau gua yang saling menyambung. Banyak warga sering mandi di sungai yang mengalir dari gua.

Mereka harus tetap mempertahankan pohon-pohon besar seperti meranti (Shorea sp), timbalun (Hopea cengal), bayur (Pteruspermum javanicum) dan pohon besar lain yang ada di hutan paling dalam.

Rimbo larangan juga menyimpan beberapa tanaman langka. Andes, Sekretaris Kantor Wali Nagari mengatakan, sempat menemukan anggrek hitam. Anggrek itu pernah dipamerkan di Abu Dhabi dan dikatakan berasal dari Nagari Paru.

Menurut peneliti Yuki , Alandra, ada bunga bangkai jangkung (Amorphallus decussilvae), anggrek sumatera (Vanda sumatrana) dan anggrek hitam (Coelogyne pandurata).

Iskandar mengatakan, warga memegang teguh pepatah lama Minangkabau. “Pohon batangnyo tampek basanda, ureknyo tampek baselo, daunnyo tampek balinduang.” (batangnya tempat bersandar, akar tempat duduk bersila dan daun tempat berlindung).”

 

 

*Laporan ini atas dukungan dari Dana Jurnalisme Hutan Hujan (Rainforest Journalism Fund) bekerjasama dengan Pulitzer Center.

 

Rotan, salah satu hasil hutan bukan kayu dari Nagari Paru. Foto: Jaka HB/Mongabay Indonesia

 

*****

Exit mobile version