Mongabay.co.id

Bencana Ekstrem, Laporan IPCC dan Antisipasi Dampak Perubahan Iklim

 

Ada krisis besar nan panjang yang tengah mengancam. Akan lebih besar dan panjang dari pandemi Covid-19 ini.

Belakangan, beranda media sosial saya didominasi oleh segala drama penanganan pandemi, gejolak di Afghanistan, diskursus ‘childfree’, dramatisnya jendela transfer sepak bola Eropa di awal musim ini, dan perlakuan media terhadap seorang mantan narapidana pelecehan seksual. Ditambah dengan hidup yang lebih berat di masa krisis ini, saya berasumsi sebagian besar dari kita mungkin juga tak sempat hirau dengan ‘alarm’ yang saat ini menyala di banyak sudut dunia.

Di bulan Juli 2021, banjir hebat menyapu sejumlah wilayah Eropa; dari Perancis, Belanda, Belgia, Jerman, hingga Austria. Awalnya saya mengira negara-negara ‘maju’ dengan teknologi dan tata ruang yang matang ini tak akan bisa terdampak banjir seperti ini, namun ternyata tidak demikian sekarang. Banjir ini adalah salah satu bencana alam terburuk bagi Eropa dalam 50 tahun terakhir. Sebanyak 230 orang dilaporkan meregang nyawa.

Juli 2021 kemudian menjadi bulan paling panas secara global yang pernah tercatat. Gelombang panas melanda Mediterania, memicu kebakaran yang hingga kini masih melahap hutan-hutan dan merusak pemukiman di Italia, Yunani, Turki, Portugal, Spanyol, Macedonia Utara, hingga Maroko dan Algeria di Afrika utara. Di seberang Atlantik, kebakaran hebat juga tengah berkobar di California dan Kanada. Seluas 700.000 hektar lebih lahan terbakar di California, melahap hampir 3000 bangunan, terus meluas dan belum tertangani penuh hingga kini.

baca : Perlu Aksi Segera dan Serius Atasi Krisis Iklim

 

Petugas pemadam kebakaran sedang memadamkan api di wilayah California, Amerika Serikat, pada Juni 2021. Foto : AP via indianaexpress.com

 

Ketika wilayah barat Amerika masih berkutat dengan api, sisi timurnya kini harus berhadapan dengan badai Ida, yang tengah memporak-porandakan Louisiana dan negara bagian sekitarnya. Ida adalah badai paling intens kedua yang pernah menerjang Louisiana setelah Katrina pada 2005. Bergerak ke timur laut, air kini juga menggenangi New York dan Washington DC.

Kembali ke gelombang panas yang menerjang Eropa, api yang lebih besar kini juga masih melahap hutan-hutan taiga di Siberia sejak bulan April 2021. Sampai pertengahan Agustus 2021, luas lahan yang terbakar di sana mencapai 18 juta hektar, melampaui rekor kebakaran hebat di sana pada 2012. Musim kering kali ini pun masih belum berakhir.

Menurut data dari Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) milik Uni Eropa, kebakaran di Siberia saja tahun ini telah melepaskan lebih banyak karbon dari pada emisi karbon Jerman dalam setahun. Ini belum termasuk emisi dari kebakaran besar di tempat lain. Sejumlah ahli mengkhawatirkan apabila tren ini terus berlanjut, akan jauh lebih banyak karbon yang terlepas dari gambut di lingkar Arktik, yang kini menyimpan hampir setengah dari karbon organik di dalam tanah bumi. Yang membuatnya lebih mengerikan, mencairnya lapisan es di Arktik juga berpotensi melepaskan virus dan bakteri yang telah terkubur di bawahnya selama ribuan hingga jutaan tahun. Wabah karena mencairnya es ini sangat mungkin terjadi.

baca juga : Indonesia dan Laporan Penilaian Keenam IPCC, Bagaimana Harusnya Kita Berubah?

 

Potongan daratan es Gletser Collins yang mencair di Antartika, kemungkinan dampak dari perubahan iklim yang sedang terjadi. Foto Eskinder Debebe / PBB dilisensikan di bawah CC BY-NC-ND 2.0.

 

Kita Harus Bersiap

Walau pun jauh dari ekstremnya kejadian-kejadian iklim di Eropa dan Amerika, Indonesia juga mengalami beberapa cuaca buruk dalam setidaknya dua bulan terakhir. Pada awal Agustus 2021 kebakaran terjadi di Taman Nasional Komodo, disinyalir karena kondisi yang panas dan terlalu kering. Hanya berselang sebulan, banjir bandang menerjang kabupaten Ngada, NTT, pada 4 September 2021, dipicu oleh intensitas hujan yang tinggi, padahal awal September biasanya masih termasuk musim kering.

Di tempat tinggal saya di Bali, pada awal Agustus 2021 kami mengalami beberapa hari hujan lebat disertai angin kencang. Ini jarang terjadi di bulan Agustus di tahun-tahun sebelumnya. Bagi sebagian orang, cuaca seperti itu mungkin cuma tentang perlunya mengenakan jas hujan saat hendak keluar, atau soal stok pakaian dalam yang kritis karena kebanyakan masih basah di jemuran. Namun ini sangat berbeda bagi mereka yang menggantungkan hidup langsung dari ritme alam.

Bagi pekebun lahan kering di Bali timur, yang bergantung pada hasil buah mete, mangga, dan nira siwalan, hujan disertai angin di bulan Agustus adalah bencana. Musim kering adalah saat dimana komoditas ini menghasilkan bunga dan membentuk buah. Hujan deras disertai angin kencang dapat menyebabkan bunga-bunga mete dan mangga rontok, membuat hasil panen jauh turun menjelang akhir tahun. Untuk pekebun skala kecil, ini adalah tekanan yang besar bagi penghidupan mereka, berdampak langsung terhadap pemenuhan kebutuhan pokok, biaya kesehatan keluarga, dan pendidikan anak.

perlu dibaca : Banjir jadi Langganan, Walhi: Bencana Ekologis Perlu Penanganan Serius dan Terintegrasi

 

Pertanian lahan kering di Kabupaten Karangasem, Bali menjadi salah penghidupan paling rentan terhadap perubahan iklim. Foto : I Wayan Adi Mahardika

 

Panel Antar Negara untuk Perubahan Iklim (IPCC) bulan lalu merilis Assessment Report yang ke-6. Laporan tersebut menjadi peringatan akan gentingnya kondisi iklim saat ini, dan proyeksinya ke depan.

Suhu permukaan global terus naik dalam empat dekade terakhir. Pada periode 2011-2020, bumi 1,9o C lebih panas dari pada kondisi pra industri (1850-1900). Pemodelan terhadap suhu permukaan bumi di masa depan juga menunjukkan hasil yang suram. Dalam skenario dengan emisi karbon paling rendah pun, diproyeksikan kenaikan suhu permukaan global akan mencapai 1,5o C dalam waktu dekat (antara 2021 – 2040), hingga 1,6o C dalam jangka menengah (2041 – 2060). Tanpa penurunan emisi CO2 yang signifikan, sangat mungkin kita akan melampaui kenaikan 2o C di atas suhu pra industri.

Laporan dari IPCC ini menegaskan bahwa suhu permukaan global yang lebih tinggi akan menimbulkan cuaca kering dan basah yang lebih intens, serta kejadian-kejadian iklim ekstrem yang lebih sering terjadi. Beberapa wilayah dunia diproyeksikan akan mengalami peningkatan curah hujan dan banjir, termasuk Asia Tenggara. Kekeringan pertanian dan meteorologis juga akan semakin buruk dan lebih sering terjadi. Perubahan-perubahan pada cuaca ini akan turut mengubah ekosistem, mengganggu ketersediaan air bersih, produksi pangan, penghidupan bagi banyak orang, dan merusak infrastruktur.

Di tengah urgensi untuk menekan emisi karbon, upaya adaptasi kini juga mutlak harus benar-benar mendapat prioritas semua pihak, mengingat kenaikan suhu dan dampak ikutannya yang tak terelakkan lagi.

Pemerintah Indonesia telah menerjemahkan ancaman dampak perubahan iklim ini ke dalam strategi adaptasi di berbagai sektor, dari kehutanan, pertanian, infrastruktur, hingga kebencanaan. Namun, strategi-strategi ini tidak bisa dibiarkan hanya berjalan secara top-down. Masyarakat tidak boleh sepenuhnya tergantung pada instruksi, pendampingan, bantuan, atau berbagai program yang turun dari pemerintah pusat.

baca juga : Tumpukan Pekerjaan Rumah untuk Hindari Bencana Iklim

 

Personil Marinir Surabaya mengirimkan makanan ke warga terdampak banjir akibat Kali Lamong meluap di Desa Iker-Iker, Kecamatan Cerme, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, Rabu (16/12/2020). Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Krisis iklim memang tidak adil, ketika kelompok-kelompok penyumbang emisi yang tidak signifikan akan menerima dampak yang lebih berat. Namun kita tidak memiliki banyak pilihan. Dalam keterbatasan daya finansial dan kapasitas negara, kita harus giat membangun ketahanan sendiri.

Di tingkat pemerintahan paling bawah, pemerintah desa harus selalu mempertimbangkan dampak perubahan iklim dalam setiap penyelenggaraan tahunannya. Desa atau kampung yang selama ini memiliki akses air bersih yang hanya sekedar cukup, misalnya, harus segera berinovasi, mengupayakan agar kebutuhan air tetap terpenuhi dalam berbagai skenario cuaca ekstrem. Begitu pula dengan aspek lain seperti irigasi dan tata kelola lahan. Semakin penting untuk memantapkannya guna meminimalkan risiko banjir, tanah longsor, menimbang kondisi curah hujan ekstrem yang diproyeksikan akan makin sering terjadi di region Asia Tenggara.

Masyarakat yang bergantung langsung pada hasil alam cenderung lebih rentan terhadap dampak meningkatnya suhu bumi. Petani, misalnya, harus dari sekarang mengkaji ketahanan hasil dari komoditasnya dalam jangka pendek dan menengah. Diversifikasi komoditas dengan mempertimbangkan daya adaptasinya menjadi hal yang sangat krusial.

Disrupsi terhadap pertanian dan perkebunan berarti terganggunya ketersediaan pangan. Penduduk di area pedesaan yang memiliki lahan harus mulai membangun pola pikir untuk senantiasa dapat menjamin makanan keluarga dari lahan sendiri. Sebagian besar dari orang-orang yang kelaparan di dunia berprofesi sebagai petani. Kelaparan ini terjadi karena fokus penggunaan lahan petani yang terlalu besar untuk produk yang dapat dijual, dan tidak memanfaatkannya dengan baik untuk menghasilkan makanan untuk konsumsi keluarga sendiri.

Upaya untuk beradaptasi terhadap dampak perubahan iklim adalah sebuah marathon. Efek kejutnya mungkin tidak akan seperti pandemi Covid-19 yang datang tiba-tiba, namun ini akan menjadi perjuangan yang berat dan panjang.

 

Petani menyiapkan lahan untuk ditanami jagung di Sendangharjo, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

***

 

*I Wayan Adi Mahardika, Koordinator Hutan dan DAS Conservation International Indonesia. Artikel ini merupakan opini penulis

 

Exit mobile version