Mongabay.co.id

Peran Teknologi Diperlukan untuk Penyelamatan Badak Sumatera

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007, yang sejak 2 November 2015 sudah berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Populasi badak sumatera [Dicerorhinus sumatrensis], saat ini hanya terpantau di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL], Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Taman Nasional Way Kambas, dan Kutai Barat [Kalimantan Timur]. 

Dalam webinar “Penerapan Teknologi dalam Konservasi Badak Sumatera” pada Selasa [21 September 2021] diketahui bahwa tahun 1991, diperkirakan populasi badak sumatera mencapai 536 sampai 920 individu. Namun, pada 2001 jumlahnya menurun menjadi 216 individu, tahun  2006 sekitar 145 – 200 individu dan pada 2013 diperkirakan jumlahnya kurang dari 100 individu.

Berdasarkan hasil pemantauan, badak sumatera yang berada di KEL, yang terbentang di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara, terpecah dalam beberapa kantong terisolasi. Ada di Leuser bagian barat dan Leuser bagian timur, yang tidak bisa menyatu. 

“Di Leuser bagian timur jumlahnya terbatas, bahkan ada kantong yang sudah tidak berkembang biak,” sebut Dedi Yansyah, Koordinator Perlindungan Satwa Liar Forum Konservasi Leuser [FKL] yang juga Koordinator Konsorsium Badak Utara, anggotanya Forum Konservasi Leuser, ALeRT, Fakultas Kedokteran Hewan [FKH] Universitas Syiah Kuala, dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 

Dedi mengatakan, karena populasi badak di Leuser bagian timur sudah tidak berkembang, dalam Rencana Aksi Darurat Penyelamatan Badak Sumatera diputuskan, akan dipindahkan ke Suaka Rhino Sumatera [SRS].

“Tindakan mendesak yang dilakukan adalah menangkap dan memindahkan ke fasilitas breeding center, yang sudah ada maupun yang akan dibangun. Tidak ada gunanya membiarkannya di alam liar, sebab populasinya yang kecil membuat mereka punah dengan sendirinya, bila tidak ada indikasi breeding,” sebut Dedi. 

Konsep sederhananya adalah badak yang dipindahkan ke SRS diharapkan menghasilkan anak sebanyak-banyak, untuk kemudian disilangkan dengan individu dengan genetik berbeda. Ketika jumlahnya telah mencukupi, akan dikembalikan ke alam, setelah dilakukan kajian kelayakan individu maupun habitatnya. Untuk Leuser bagian barat, proteksi individu badak dan habitatnya terus dilakukan, termasuk menambah aktivitas tim patroli dan kegiatan pendukung.

“Kami di FKL memiliki 28 tim patroli, bekerja sama dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL] dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan atau Kesatuan Pengelolaan Hutan [KPH] untuk membantu menjaga habitat alami badak di Leuser,” ungkap Dedi. 

Baca: Penyelamatan Badak Sumatera di Leuser Prioritas Utama

 

Harapan, badak sumatera kelahiran Cincinnati Zoo, Ohio, Amerika, 27 Mei 2007. Sejak 2 November 2015 berada di SRS Way Kambas, Lampung. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Kritis

Dosen Fakultas Kedokteran Hewan [FKH] Institut Pertanian Bogor, Muhammad Agil mengatakan, badak sumatera adalah badak berambut yang paling primitif dari Genus Dicerorhinus yang hanya ada di Indonesia. International Union for Conservation of Nature [IUCN] telah memasukkan statusnya dalam kategori Kritis [Critically Endangered]. 

“Kita tidak memiliki banyak waktu, harus segera menyelamatkannya,” terangnya.  

Agil menyebutkan, populasi badak menurun sangat cepat, di Taman Nasional Kerinci Seblat populasinya sudah tidak ditemukan lagi. Bahkan, badak sumatera dinyatakan punah di Semenanjung Malaysia. 

“Diperlukan tindakan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan dari kepunahannya.”

Agil menambahkan, hasil riset dan pengumpulan data dari 2000-2017 menunjukkan, sejumlah badak yang berhasil ditangkap dari alam untuk diselamatkan, ternyata sulit berkembang biak. 

Ada juga ketidaknormalan pada organ dan saluran reproduksinya, seperti tumor atau kista. 

“Hal ini juga terjadi pada badak tersisa di alam, dengan jumlah yang sedikit kemungkinan besar mengalami kesulitan untuk bertemu pasangan.” 

Menurut Agil, dalam kondisi normal sebagian besar badak sumatera juga mengalami kesulitan untuk bunting, karena embrio tidak dapat berkembang dan mengalami kematian dini. Ini seperti yang terjadi pada badak Emi di Amerika Serikat [yang sudah mati], serta pada badak Ratu di SRS Way Kambas.

“Untuk menyelamatkan sumber genetik badak sumatera, perlu segera diaplikasikan Assisted Reproduction Technology [ART] dan Bio-bank.” 

Baca: Teknologi 3D Hadirkan Badak Sumatera di Kehidupan Kita

 

Badak sumatera yang jumlahnya di alam diperkirakan tidak lebih dari 80 individu. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

ART dan Bio-bank merupakan teknologi reproduksi berbantuan yang memanfaatkan sumber daya genetika guna menghasilkan embrio badak sumatera. 

“Teknologi ini dapat dikembangkan dalam beberapa skenario penyelamatan. Termasuk, teknik bayi tabung dengan in vitro fertilization [IVF] dan intra cytoplasmic sperm injection [ICSI], atau teknik kloning dengan induced pluripotent stem cell [IPSC] dari sel-sel somatik [fibroblas],” kata Agil. 

Untuk badak-badak yang mengalami gangguan atau abnormalitas pada organ dan saluran reproduksi, perlu segera dimaksimalkan pemanfaatan teknologi, guna memanen sumber genetiknya. “Embrio dapat langsung digunakan ataupun disimpan, kemudian ditransfer pada betina atau induk pengganti di masa depan sebagai back up.

Meski demikian, sambung Agil, itu bukanlah satu-satunya cara. Proteksi di habitat alami tetap harus dilakukan, bahkan perlu juga dikembangkan perlindungan yang lebih intensif dan efektif. 

“Ini sangat penting, khususnya memastikan keamanan badak di tempat-tempat yang masih menjadi harapan terakhirnya di alam, seperti Leuser,” paparnya.

Baca juga: Totalitas Widodo Ramono untuk Badak Sumatera

 

Kawasan Ekosistem Leuser yang merupakan hutan mengagumkan di Sumatera. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Satwa kebanggaan 

Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem [KSDAE] KLHK, Wiratno mengatakan, badak merupakan satwa kebanggaan Indonesia yang harus kita jaga dengan baik, meskipun banyak tantangannya.  

“Penerapan teknologi dan kerja sama banyak pihak sangat penting dilakukan.” 

Saat ini di Aceh Timur, Provinsi Aceh, tengah dibangun SRS, namun badak di habitat alaminya tetap dijaga dari berbagai ancaman. “Menjaga badak sumatera di habitat alami dengan ketat sehingga tidak terjadi perburuan dan pengrusakan habitat adalah bagian penting yang selalu dilakukan,” ujarnya.  

Wiratno menambahkan, penegakan hukum terkait kegiatan ilegal terhadap badak sumatera terus  dilakukan. 

“Kami juga memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya badak sumatera dan habitat alaminya yang harus kita lestarikan bersama,” paparnya. 

 

 

Exit mobile version