Mongabay.co.id

Cerita Petani Perempuan dari Madura

Petani perempuan panen caba. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Peran perempuan di sektor pertanian sangat besar. Satu contoh di Dusun Bates, Desa Ragang, Kecamatan Waru, Pamekasan, Madura, perempuan petani terlibat dalam proses bercocok tanam dari persemaian sampai panen.

Nurhayati Sumani, perempuan tani Bates mengatakan, para perempuan terlibat dalam pertanian mulai menyiapkan benih persemaian, menyiram, menanam, membersihkan hama atau rumput sekitar tanaman, sampai memanen. Tak hanya memanen, bahkan mereka juga memanggul hasil panen dari ladang ke rumah.

Kalau mulai menanam maupun panen, katanya, sanak keluarga maupun tetangga saling bantu. “Urun kerja untuk meringankan dan mempercepat pengerjaan. Tidak pasti berapa orang dalam satu kelompok. Kan kebiasaan warga masih ada ikatan darah, biasa membangun rumah berdampingan. Misal ada 10 keluarga, bisa ada 10 perempuan bergabung urun kerja,” katanya.

Kelompok itu tanpa label, hanya bekerja dari satu ladang ke ladang lain di antara mereka secara bergantian. “Jadi, misal hari ini punya saya, besok bisa pindah ke ladang orang lain.”

Laki-laki petani juga menerapkan sistem urun kerja yang sama. Selama pekerjaan anggota kelompok tidak selesai, akan terus bergantian fokus pada mengerjakan anggota urun kerjanya.

Kalau ada waktu, kelompok urun kerja baik laki-laki maupun perempuan petani, sesekali memenuhi panggilan kerja jadi buruh tani ladang lain di luar kelompok urun kerja mereka. Buruh tani biasa disebut dherrebbhân.

Masodah, perempuan petani lain mengatakan, biasa ambil kerja dherrebbhân. Baginya, jadi perempuan petani harus memecah pikiran, satu sisi harus cekatan bertani dan hampir tiap hari harus ke ladang. Sisi lain, harus menjadi manajer di rumah. Mulai dari urusan kebersihan dan kerapihan rumah sampai mungkin mengatur keuangan untuk kebutuhan keluarga.

“Uang hasil dherrebbhân juga untuk kepentingan bersama di rumah. Suami memang juga bekerja dherrebbhân. Tidak setiap hari. Hasil dherrebbhân saya gunakan membantu keuangan di rumah.”

Hampir semua perempuan petani di sana punya peran sama.

Suyamah, perempuan tani lain menceritakan, perihal peran petani perempuan.

 

Membajak biasa dilakukan laki-laki. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

 

Di daerah Suyamah, Dusun Angsanah Barat, Desa Bangkes, Pamekasan, perempuan petani tak menerapkan urun kerja antara satu sama lain. Misal ada panggilan kerja di ladang milik tetangga, dia tidak menolak. Di sana, sistem pekerjaan demikian, disebut ombhâlân.

Kalau ada kerjaan ombhâlân, dia biasa ajak ibu-ibu lain. Saat musim panen cabai, dia lebih sering menerima orderan ombhâlân.

“Seperti ombhâlân untuk panen cabai, ya setengah hari dibayar Rp40.000 ditambah makan. Kalau sehari penuh Rp80.000.” katanya.

Di kampung Suyamah, cari bibit maupun bahan untuk perawatan tanaman biasa oleh laki-laki.

Siti Inayah, kader petani perempuan Serikat Petani Indonesia (SPI), memandang, perempuan petani memegang peran sangat penting. Setiap pekerjaan yang berkaitan dengan pertanian dalam sebuah institusi keluarga pasti melibatkan perempuan.

Dalam pertanian, katanya, laki-laki dan perempuan itu memiliki hak sama. Mereka bisa sama-sama bekerja di lahan maupun di ladang.

Di Indonesia, katanya, perempuan petani adalah penyedia pangan keluarga dan kebanyakan bisa melakukan pemilihan dan pemulihan benih secara turun temurun.

Seharusnya, peranan ini tak tergeser oleh kapitalisme. Benih-benih yang disediakan ibu-ibu petani perempuan telah dirampas korporat yang menyediakan benih-benih transgenik.

Pada 2014, Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan pertanian berbasis keluarga sedemikian erat dengan ketahanan pangan global. Sampai sekarang, merupakan dekade pertanian berbasis keluarga.

Namun dia khawatir, pertanian berbasis keluarga akan terrampas oleh pertanian-pertanian korporat pertanian.

“Jika ini terjadi, otomatis akan menggeser peran-peran perempuan dalam dunia pertanian. Karena mereka tidak menjadi subyek dalam pertanian tetapi para perempuan petani akan jadi buruh-buruh dari perusahaan-perusahaan itu,” katanya.

Inayah menyinggung soal perempuan petani berhadapan dengan konflik lahan. Dia bilang, keterlibatan perempuan petani dalam menghadapi konflik lahan begitu nampak.

Ketika ada konflik lahan, rata-rata perempuan ikut mengambil bagian dalam pengambilan keputusan bahkan ketika ada demo mereka selalu di garda terdepan.

Bagaimana nasib petani perempuan jika berhadapan dengan budaya partiarki? Dewasa ini, katanya, seiring dengan kesadaran, kesetaraan gender dan pendidikan yang ada di Indonesia, budaya patriarki cenderung berkurang terutama di wilayah Jawa.

Dia contohkan, di Jawa Tengah, Kabupaten Pati, kepemilikan lahan tidak hanya laki-laki tetapi perempuan terutama dalam sertifikat tanah.

“Sebenarnya, bukan hanya budaya patriarki yang perlu dilawan ketika bicara pertanian dari sudut pandang gender, budaya global yang tidak sesuai budaya lokal juga perlu ditentang,” kata representative women articulation untuk petani perempuan La Via Campesina di Asia Tenggara dan Asia Timur ini.

Soal akses pengetahuan pertanian bagi petani perempuan, katanya, dewasa ini anggota Serikat Petani Indonesia khusus perempuan sudah mempunyai kesempatan meningkatkan pendidikan, seperti pendidikan pertanian, pendidikan tentang agroekologi. Bahkan, SPI sebagai anggota La via Campesina juga memberikan akses khusus petani perempuan.

“Di SPI ada yang namanya Woman Articulation La Via Campesina atau Gerakan Petani Internasional. Ada artikulasi untuk petani perempuan.”

 

Perempuan sedang panen bergotong royong. Foto: Gafur Abdullah. Mongabay Indonesia

 

Dardiri Subairi, pegiat lingkungan dari Barisan Ajaga Tanah Ajaga Na’poto (Batan) di Sumenep, memandang, perempuan petani makin terpinggirkan karena begitu masif perampasan ruang hidup mereka.

Yang paling kena dampak dari perampasan ruang hidup tadi adalah perempuan. “Di samping perempuan makin tersingkir dari Sumber sumber ekonomi pertanian, dia makin berat menghadapi beban ganda sebagai seorang ibu rumah tangga sekaligus mencari nafkah,” katanya.

Dari sisi penyedia ketahanan pangan saja perempuan petani begitu berjasa. Perempuan petani memiliki peran luar biasa dalam ekonomi keluarga, terutama sektor pertanian.

Dalam hal perbincangan antara perempuan petani dan konflik lahan di Madura, Dardiri melihat, perempuan perlu didorong tertarik isu agraria.

“Selama ini, isu gender atau feminisme, yang saya lihat, hanya menguntungkan perempuan kelas menengah terdidik. Isu gender jarang digeser ke isu-isu yang riil dialami perempuan kelas bawah,” katanya.

Dalam akses pengetahuan pertanian untuk perempuan petani Madura, mereka hanya merawat kearifan lokal dari generasi sebelumnya. Pengetahuan yang didesiminasi pejabat resmi pertanian bukan membebaskan petani, termasuk petani perempuan. Pihak terkait lebih menyuarakan kepentingan negara dan korporasi macam bibit dan pupuk.

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil Survei Pertanian antar Sensus (Sutas) 2018, petani perempuan di Indonesia sekitar 8 juta orang. Hampir 24% dari 25,4 juta petani adalah perempuan.

BPS juga mencatat, rumah tangga usaha pertanian dengan perempuan sebagai pemimpin dalam rumah tangga sekitar 2,8 juta rumah tangga. Data itu menegaskan, perempuan yang terlibat dalam sektor pertanian cukup banyak dan berpeluang bisa diberi peran strategis sebagai upaya mendukung pertanian.

Menurut Dian Pratiwi Pribadi, dari FIAN Indonesia, perempuan petani, nelayan, atau produsen pangan lain masih dalam posisi subordinat dibanding laki-laki terutama dari sudut pandang kebijakan.

Dia contohkan, perempuan nelayan belum diakui sebagai profesi khusus hingga tidak bisa mengakses program pemerintah.

“Peran mereka makin tidak diakui seiring perkembangan teknologi mekanisasi dan informasi. Dalam pertanian tradisional, perempuan berperan penting dalam merawat benih, membuat pupuk alami, sampai ke pasar menjual hasil tani sambil berinteraksi dengan banyak orang disana sebagai satu modal sosial,” katanya.

Peran-peran ini, tergantikan pabrik dan supermarket seiring menghilangnya modal sosial dan nilai-nilai budaya. Padahal, pertanian subsisten atau skala rumah tangga yang dipimpin perempuan terbukti mampu bertahan dari serangan krisis pangan dan ekonomi.

 

Selamat Hari Tani!

 

*****

Foto utama:  Petani perempuan di Pamekasan, Madura, sedang panen cabai. Foto: Gafur Abdullah/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version