Mongabay.co.id

Ekofeminis dari Ladang Masyarakat Adat Bakumpai

Panen padi ladang yang diusahakan Masyarakat adat Pagu dan Modole di Halmahera Utara, adalah contoh padi yang diusahakan mayoritas warga di Halmahera termasuk di Samo. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Bakar lahan, atau membakar apapun berakibat muncul “api dan asap.”  Api dan asap dari pembukaan ladang padi, berbeda dengan pembukaan hutan untuk kebun sawit yang kini menguasai 78% wilayah Kalimantan Tengah.

Berladang jadi pro dan kontra, pasca Kalimantan Tengah diselimuti asap kebakaran hutan dan lahan pada 2015. Berladang disinyalir Pemerintah Kalimantan Tengah, sebagai bagian pemicu kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

Para peladang mendapat peringatan keras melalui Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 15/2010 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah. Bahkan, sempat terjadi penangkapan peladang oleh aparat.

Larangan ini terasa mengada-ngada. Kalau saja diterapkan sebelum 1990-an mungkin masih masuk akal, pada 2015., dari luas wilayah Kalimantan Tengah 15,3 juta hektar, adapun 12,7 juta hektar dikuasai investor, antara lain HPH, sawit, atau pertambangan (Mongabay, 2015).

Negara memilih menertibkan peladang dan mengesampingkan “esensi” berladang sebagai kearifan lokal tentang kehati-hatian mengelola alam. Sementara korporasi perkebunan sebagai penguasa lahan terbesar, justru tidak menjadi perhatian pemerintah.

Ketika mereka mengelola, namun eksploitasi untuk perkebunan atau pertambangan, di tanah gambut atau tanah subur yang sebenarnya cocok untuk perladangan.

Ketika kita membahas perladangan masyarakat adat Dayak, tentu bukan hanya tentang sistem pangan ramah terhadap alam, harusnya juga tentang peran perempuan Dayak dalam berladang dan menjaga alam. Biasa ini luput dari pandangan.

Di tengah kontroversi berladang dengan cara membakar, pengalaman perempuan Dayak di Desa Samba Bakumpai menunjukkan cara berladang ramah alam, dan memperhatikan prinsip ke hati-hatian. Saya memahami ini sebagai praktik ekofeminis perempuan Dayak Samba Bakumpai.

 

Hasil panen padi ladang. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Ekofeminisme dan Malan

Semula saya tak paham ekofeminis itu benda apa. Setelah kurang lebih tiga bulan belajar pada Sekolah Literasi Ekofeminis Musim Hujan 2021, secara mudah saya memahami ekofeminis sebagai suatu teori sekaligus praktik, dimana perempuan berperan sentral dalam menentang sistem kapitalis patriarki, yang serakah, eksploitatif terhadap alam juga terhadap perempuan.

Sistem semacam itu menjadi penyebab kerusakan alam dan menghadirkan bencana ekologis. Manusia adalah bagian dari alam. Merusak alam, maka merusak penghidupan manusia itu sendiri.

Ekofeminis secara kritis melihat relasi antar manusia, sekaligus relasi dengan alam serta mendorong perubahan sistem dan struktur masyarakat yang menempatkan manusia, laki-laki dan perempuan, serta alam menjadi satu kesatuan yang integral-holistik (Dewi Candraningrum 2013, 187).

Semangat ekofeminis ditemukan pada kehidupan sehari-hari. Terdapat serangkaian kegiatan manusia (perempuan dan laki-laki) yang memperlakukan alam dengan kehati-hatian, dan tidak memandang alam sebagi “obyek” eksploitasi. Namun, memandang dan memperlakukan sebagai “subyek” saling terkait, terikat, terhubung, dan berinteraksi dengan manusia hingga berlaku moral bagi alam, alam harus dihormati.

Saya menemukan itu pada kegiatan berladang padi atau dikenal istilah malan di Desa Samba Bakumpai, Kalimantan Tengah. Desa tempat saya lahir, dan besar dari keluarga peladang. Di sana, berladang dilakukan perempuan. Mereka berperan sentral dalam perencanaan dan mengambil keputusan, dibanding laki-laki. Mereka begitu aktif mengelola dan menguasai pengetahuan berladang.

 

Falsafah Dayak, dan malan

Menempatkan malan sebagai kearifan lokal, penting kembali mengingat falsafah kehidupan masyarakat Dayak, yaitu Batang Garing. Falsafah ini sebagai tuntunan kehidupan, berperilaku, dan bertindak terhadap sesama manusia, atau manusia memperlakukan alam.

Dapat dikatakan malan merupakan tindakan yang dituntun falsafah ini. Orang Dayak memiliki pengetahuan tentang moral kehidupan dan adat istiadat yang bertujuan menjaga hubungan manusia Dayak dengan tanah atau bumi demikian pula dengan pepohonan atau hutan sangat erat. Semua itu terungkap dalam sistem adat.

Nilai lokal semacam ini, mendapat tempat dalam pemikiran ekofeminis, karena gerakan ekofeminis sangat memberikan perhatian terhadap relativisme budaya. Dengan begitu, malan di Desa Samba Bakumpai dan kearifan lokal nya yang berprinsip hati-hati, tidak sewenang-wenang mengelola alam, serta mewadahi peran besar perempuan dalam mengelola alam, sebagai kunci ajaran ekofeminis.

 

Mematikan asap dari balik kayu bekas terbakar. Foto: Suryadi/ Mongabay Indonesia

 

Cegah kahutla

Berladang tradisional suku Dayak, dengan cara membakar menjadi syarat wajib dalam membuka lahan untuk berladang, begitupun ladang padi di Desa Samba Bakumpai. Meski aturan ini tidak tertuang formal, namun menjadi kebiasaan turun temurun. Berladang menuai pro dan kontra karena orang-orang hanya fokus terhadap kata “membakar lahan” saja. Tak melihat membakar lahan untuk berladang, berbeda dengan cara membakar dalam membuka lahan untuk kepentingan perkebunan atau pertambangan skala besar.

Sebelum membakar lahan untuk berladang, terlebih dahulu ritual tampung tawar. Ini ritual adat untuk meminta izin pada gana atau roh penjaga lahan agar menyertai proses membuka lahan hingga diharapkan tak terjadi bencana atau celaka.

Selanjutnya, barulah manatak atau tebang pilih rumput dan kayu di atas lahan. Hasilnya dikumpulkan dalam bentuk tumpukan-tumpukan kayu dan rumput. Proses pembakaran hanya pada tumpukan yang sudah mengering, membakar tidak pada seluruh lahan.

Tahapan ini, membantu peladang mencegah jalar api. Membakar pun memperhatikan arah hembusan angin. Kalau kondisi cuaca riwut atau berangin kencang, tidak dilakukan kegiatan membakar, karena khawatir api membesar tidak terkendali, dan percikan api berterbangan. Proses membakar dalam pengawasan para peladang. Karena itu anggota keluarga semua ikut berjaga-jaga di ladang.

Peladang memilih membakar dibanding penggunaan bahan kimia seperti roundup, racun untuk membunuh rumput, juga berbahaya bagi kesehatan manusia kalau terhirup. Selain harga bahan kimia rumput malah, dan lamanya waktu pembusukan rumput maupun kayu kalau tidak dibakar.

Praktik membakar di Desa Samba Bakumpai, diyakini dapat menyuburkan tanah, dan dikategorikan sebagai berladang tebang dan bakar sebagaimana diteliti Douglas Sheil (Melati Kaye dalam CIFOR, 24 Agustus 2014).

Dia menyebutkan, perladangan berpindah–termasuk metode “tebang bakar” dan “tebang arang” — dipraktikkan banyak suku. Dalam metode “tebang dan bakar,” pohon dan tanaman berbatang kayu ditebang dan dibakar sebagai persiapan lahan untuk ditanami . Cara ini menghasilkan nutrisi tanah yang meningkatkan produktivitas untuk sementara.

 

Hasil mengetem padi diletakkan sementara dalam luntung/lanjung. Luntung/lanjung, wadah yang terbuat dari anyaman rotan, biasa digendong sambil memanen padi, Foto: Winda

 

Selaras daur tubuh alam

Mengenai menjaga kesuburan tanah, perladangan di Desa Samba Bakumpai juga menerapkan sistem berladang tidak berpindah-pindah. Hal ini terkait erat dengan waktu berladang hanya setahun sekali selama sekitar tujuh bulan dalam setahun. Mulai Agustus membersihkan lahan, Oktober menanam padi, dan Februari, panen.

Menurut perempuan peladang (Indu Serli dkk, I. R. 22 /3/21), waktu malan hanya berlangsung beberapa bulan dalam setahun, memberikan kesempatan untuk tanah subur kembali. Terutama, saat banjir merendam lahan yang menghasilkan endapan petak balanak.

Dalam ilmu geografi mengenal dengan tanah endapan atau tanah aluvial atau colluvial. Secara alami, perempuan memahami alam, alam diberikan waktu untuk memperbaiki, memperbaharui, menyembuhkan diri, tanpa campur tangan manusia (Asmarani 2018, 131).

Kuatnya pemahaman para peladang terhadap alam, tak lepas dari moral kehidupan dan adat istiadat tentang kewajiban manusia menjaga hubungan dengan alam pada Suku Dayak, untuk mencapai keseimbangan kosmos.

Peladang mempercayai gana berada pada setiap yang ada di alam, termasuk pohon, tumbuhan, tanah, pun padi. Menghormati penghuni alam salah satunya, roh dalam proses berladang, melalui ritual tampung tawar, selain saat membuka lahan termasuk membakar, pun dalam proses perkembangan padi. Roh padi disebut hambaruan parei, yang diasosiasikan berpasangan antara perempuan dan laki-laki. Peladang pun memperlakukan padi seperti merawat anak sendiri. Peladang tidak melewatkan perkembangan padi, dan mereka menguasai tahapan perkembangan, sejak benih hingga siap panen.

Beberapa istilah lokal menggambarkan bagaimana tahapan tumbuhnya padi, antara lain, parei metuh bujang atau kondisi padi fase reproduktif, dan parei metuh batihi atau kondisi padi fase pematangan. Istilah “bujang” dan “batihi” digunakan untuk manusia.

Dalam pemahaman ekofeminis, kita menemukan, padi sebagai subyek, bagian dari alam yang dihormati. Roh padi sebagai ragam makhluk (multispesies) di sekitar kita, yang harus dijaga hubungannya dengan manusia. Karena keseimbangan kosmos berarti menjaga keseimbangan dengan seluruh penghuni alam secara luas.

Kita dapat mengetahui bersama, pandangan ekofeminis dalam praktik perladangan padi di Desa Samba Bakumpai mendobrak beberapa hal yang tidak tersentuh selama membahas sistem perladangan Suku Dayak. Terutama, peran perempuan Dayak yang sangat sentral, prinsip kehati-hatian mengelola dan memperlakukan alam, alam dipandang sebagai kesatuan dengan manusia, serta mengungkapkan cara berladang dengan membakar bukan serampangan mengelola lahan.

Sebaliknya, ia praktik penuh dengan prinsip kehati-hatian secara turun temurun, melekat dalam falsafah hidup , dan diatur adat istiadat masyarakat Dayak, sebagai bentuk peradaban dan etika lingkungan (Keraf 2006, 279).

 

 

*Penulis, Yuliana adalah alumni Sekolah Literasi Ekofeminis Musim Hujan 2021. Tulisan ini merupakan opini penulis.

*****

Foto utama: Ilustrasi. Peladang padi perempuan. Foto: AMAN Malut

 

Exit mobile version