Mongabay.co.id

Petani Kuantan Singingi Kesulitan ke Kebun Kala Perusahaan Sawit Putus Akses Jalan

 

 

 

 

Masalah lahan antara warga petani dan PT Dutapalma Nusantara, Grup Darmex Agro, di Riau, makin memanas. Perusahaan sawit ini memutus akses masyarakat di Kecamatan Benai, Kuantan Tengah dan Kuantan Hilir Seberang, Kabupaten Kuantan Singingi, menuju kebun mereka. Mereka tak dapat lagi menyadap karet, memanen sawit bahkan mengawasi sapi ternak dalam kebun.

Tak ada yang menyaksikan, ketika alat berat menggali parit di perbatasan Desa Kopah, Kecamatan Kuantan Tengah dan Desa Banjar Benai, Kecamatan Benai ini.

Menurut informasi peternak yang diperoleh Darpaus, Kepala Desa Ujung Tanjung, sekitar pukul 11.00 malam, 1 September lalu, orang itu masih lewat di daerah yang dikenal dengan nama Tungku Arang itu.

Paginya, ketika orang-orang hendak mengantar nasi buat penjaga ternak sekaligus menyadap karet, mereka justru terhalang parit.

Darpaus perkirakan kedalaman parit lebih dua meter karena dasar agak berair, lebar sekitar empat sampai lima meter. Dia meninjau lokasi hari itu juga sekitar pukul 8.00.

Tungku Arang, hutan adat Kenegerian Siberakum itu sekarang sudah jadi perkebunan. Dutapalma klaim, daerah itu perbatasan areal meski di sana kebun masyarakat yang jadi urat nadi masyarakat. Tak ada jalan lain lagi untuk pergi ke kebun.

 

Kebun masyarakat yang diklaim masuk HGU Dutapalma. Foto: dokumen warga

 

Bukan kali pertama

Tahun lalu, Dutapalma memutus dua akses lain. Pertama, Dusun Sungai Lintang, Desa Ujung Tanjung, dan Kecamatan Benai, di antara akses lain itu jalur paling utama. Hampir semua warga melewati jalan itu menuju kebun sawit, karet, cari rumput maupun beternak sapi.

Kedua, di Simpang Empat atau Sungai Lintang Mudik, Gunung Kesiangan, desa lain di Kecamatan Benai.

Pada 5 Mei tahun lalu, masyarakat Kenegerian Siberakun—Desa Siberakun, Ujung Tanjung, Banjar Lopak, Pulau Kalimanting, Pulau Tengah dan Desa Gunung Kesiangan—ramai-ramai mendatangi kantor kebun Dutapalma dengan menyeberangi parit.

Mereka hendak menjumpai manager, Ahmad Fauzi. Yang ada hanya Muhammad Jais. Sebagian warga menghampiri alat berat yang tak berapa jauh dari kantor kebun. Mereka bermaksud meminta operator alat menimbun kembali parit yang memotong akses ke kebun.

Tak ada siapa pun. Karena makin emosi, beberapa orang mulai melempar eksavator dengan batu dan membakarnya.

Sebulan kemudian, Kepolisian Resort Kuantan Singingi, bertahap menangkap empat orang, yakni, Hardianto, Dariusman, Zalhendri dan Yahya Haumi. Selain mereka, polisi lebih dulu memanggil Kades Siberakun, Karnadi.

Polisi menetapkan semuan memiliki peran: baik sebagai pelaku pertama pelempar batu maupun yang memerintah, menyiram bensin dan menyulut api. Sejak itu, mereka tak pernah kembali ke rumah dan vonis empat tahun penjara.

Karnadi pun tak pernah pulang lagi ke rumah, menemui anak dan istrinya. Keberangkatan ke Polres Kuantan Singingi, tanpa sempat pamit dengan istrinya, Armiyulis, 4 Juni lalu sekaligus perpisahan.

Medio Mei 2021, Karnadi meninggal di RSUD Teluk Kuantan ketika jalani masa tahanan dalam Lapas Kelas II B di kabupaten yang berjuluk Bersatu Nogori Maju itu.

Karnadi tak tertolong setelah malam harinya mengeluh sakit di bagian dada. Dokter mendiagnosa dia gagal jantung. Kepergiannya jadi duka mendalam, bukan hanya keluarga, juga Masyarakat Adat Siberakun. Dia dikenang sebagai pejuang tanah ulayat Kenegerian Siberakun.

Masyarakat protes penggalian parit yang memutus jalan ke kebun. Foto: dokumen warga

 

***

Pasca pemutusan jalan itu, Andi Putra, Bupati Kuantan Singingi, menganjurkan masyarakat sementara waktu melewati langsung jalan utama Dutapalma. Sebagian terpaksa tetap pergi ke kebun meski jarak tempuh makin jauh.

Paling tidak, masyarakat Ujung Tanjung mesti menempuh perjalanan sekitar 15 kilometer. Biasa perlu setengah liter bensin, kini jadi dua kali lipat.

Meski keadaan seperti itu, Darpaus memastikan warga menahan diri untuk tak bertindak yang mengarah pada pelanggaran hukum. Belajar dari pengalaman pahit tahun sebelumnya, dia menyelesaikan masalah sengketa lahan itu lewat jalur-jalur pemerintahan.

Darpaus bilang, 6 September lalu , Andi Putra, memanggil sejumlah kepala desa dan camat yang bersinggungan dengan Dutapalma.

Bupati mengabarkan, kalau sudah menyampaikan masalah ini ke Gubernur Riau, Syamsuar. Laporan itu juga diteruskan ke Menteri Agararia dan Tata Ruang, Sofyan Djalil.

Darpaus juga dihubungi Mardianto Manan, anggota DPRD Riau dari Kuantan Singingi. Dia dianjurkan, layangkan surat permohonan penyelesaian perselisihan antara Dutapalma dengan masyarakat, sekaligus bentuk panitia khusus.

Dia meminta, Dutapalma menimbun kembali parit. “Masyarakat menolak keras serahkan lahan. Ninik mamak dan tokoh masyarakat tidak setuju imbauan Dutapalma. Kami bertahan tidak akan menjual lahan.”

Andi Putra, memerintahkan Dutapalma menghubungkan kembali akses masyarakat ke kebun yang telah diputus. Itu disampaikan Kepala Tata Usaha Dutapalma, Muhammad Jais dan Staf Legal Dutapalma, Riki Lukito. Berdasarkan pemberitaan media online, dua orang perwakilan Dutapalma itu membantah telah memutus jalan masyarakat. Katanya, parit yang digali masih di dalam areal mereka dan demi keamanan kebun.

Selain Andi Putra, Komisi I DPRD Kuantan Singingi juga pernah ke kantor kebun Dutapalma, Desa Banjar Benai. Kala itu, karena Dutapalma tak menghadiri panggilan rapat 30 Agustus lalu. Bersama para anggota dewan, juga sejumlah kepala desa, camat, polsek, tokoh masyarakat serta ninik mamak. Rombongan juga ketemu Muhammad Jais.

Edi Sapri, Kepala Desa Banjar Benai, menceritakan, rombongan menuntut dan menyatakan beberapa sikap, berupa, jangan sampai Dutapalma memblokade akses ke kebun, masyarakat tak akan jual lahan, dan jangan ada gangguan apapun terhadap kebun masyarakat. Perusahaan pun harus menarik kembali surat-surat yang dilayangkan beberapa minggu sebelumnya.

Muhammad Jais tidak mengamini langsung permintaan itu. Dia hanya janji, sampaikan permintaan masyarakat ke estate manager. Kenyataan di lapangan setelah itu, masyarakat tak dapat melewati lagi jalan karena ada parit.

Dutapalma tak membalas surat permintaan wawancara Mongabay ke kantornya di Jalan OK M Jamil, Kelurahan Simpang Tiga, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru, 2 September lalu. Seorang sekuriti menyuruh telpon langsung ke nomor kantor untuk mendapat kepastian.

Ketika dihubungi sehari kemudian, seorang perempuan dari dalam telpon mengatakan telah terima surat itu. Katanya, akan mengabari lagi kalau perusahaan berkenan. Sampai berita ini terbit, tak ada kabar.

 

Jalur warga ke kebun ditutup perusahaan, warga pun protes. Foto: dokumen warga

 

Surat desak warga lepas lahan

Sekitar lebih sepekan sebelum pemutusan akses, Amri Yunus, baru saja membersihkan tubuh sepulang dari memotong karet. Sore itu, 22 Agustus lalu. Saat hendak melepas penat di rumah, tiba-tiba dua utusan Dutapalma nongol di muka pintu di Desa Banjar Benai.

Tamu itu memperkenalkan diri dan menanyakan pemilik rumah. Sudir, Humas Dutapalma, yang dikenal Amri, menyodorkan selembar surat. Amri membaca. Sembari mempersilakan duduk dan menyuguhkan segelas air putih.

Surat dari Humas Resource Development (HRD) dan Legal Dutapalma, Muhammad Afdhol, itu memerintahkan Amri menyerahkan lahan dan akan ganti rugi Rp 70 juta per hektar.

Selambat-lambatnya sampai akhir Agustus. Kalau tidak, Dutapalma akan memutus atau menutup semua akses ke kebun yang dianggap bukan jalan umum.

Bunyi lain dari surat itu, Dutapalma menuding masyarakat menggarap lahan dalam hak guna usaha (HGU). Karena itu, imbauan lewat secarik kertas ini dinyatakan sebagai upaya pengamanan aset perusahaan.

Amri, tegas menolak tawaran itu. Dia tidak sudi terima ganti rugi apalagi menjual lahan. Dia menilai, surat itu pemaksaan yang menyusahkan masyarakat. Dia merasa punya hak atas tanah karena lebih awal berkebun di areal yang kini diklaim Dutapalma.

“Kalau perusahaan tetap mengambil tindakan tegas seperti ancaman dalam suratnya, masyarakat pasti akan protes,” katanya, 27 Agustus lalu.

Amri empat beradik punya lahan karet seluas empat hektar warisan orangtua mereka. Umur pohon-pohon di sana hampir 40 tahun. Sebagian telah diperbarui atau tanam ulang. Seluruh keluarga kompak menolak menyerahkan lahan ke Dutapalma. Kebun itu satu-satunya sumber mata pencarian, tak ada pekerjaan lain.

Setelah tamu pamitan, Amri seketika itu juga menghubungi kawan-kawan yang termasuk memiliki kebun di sekitar. Salah satu, Karnalis, mantan Kades Gunung Kesiangan.

Dia mengatakan, belum terima surat serupa tetapi sudah mengetahui imbauan itu yang sudah tersebar luas di masyarakat.

Amri juga memberitahu Kepala Desa Banjar Benai, Edi Sapri. Beberapa hari kemudian, Edi memanggil Amri dan warga lain yang juga terima surat. Hasil pendataan pemerintah desa, sekitar 21 keluarga memiliki 105,5 hektar kebun karet maupun sawit diklaim masuk HGU Dutapalma.

Warga sudah berkebun di sana, rata-rata sekitar 30 tahun.

Edi bilang, Dutapalma mulai mengintimidasi masyarakat. Bertindak sepihak, berupa main klaim dan menetapkan sendiri besaran ganti rugi lahan. Juga menunjukkan sikap arogan dengan berencana menutup jalur masyarakat untuk ke kebun.

“Menurut kami, kurang pas kalau kayak gitu. Masyarakat makin kurang nyaman dengan keberadaan perusahaan. Semua menyatakan tak mau jual,” kata Edi, 30 Agustus lalu.

Selain Amri, Amran, warga Desa Ujung Tanjung, juga terima surat dari Dutapalma. Dia punya lahan empat hektar. Mongabay menghubungi Amran 28 Agustus lalu tetapi dia menyerahkan telepon genggam ke rekannya, Salpentri, untuk beri penjelasan. Mereka tengah nongkrong bersama.

Salpentri duluan sehari terima surat ketimbang Amri. Dia juga terima dari Sudir, yang mengantar langsung ke rumahnya. Dia juga tidak terima dengan permintaan Dutapalma untuk serahkan lahan.

Katanya, jual beli tidak bisa bila ada unsur paksaan. Kalau disertai ancaman, menghalangi masyarakat pergi ke kebun bila menolak tawaran itu. “Seharusnya, perusahaan melindungi petani di dalam. Saya bisa saja menuntut.”

Salpentri mengatakan ke Sudir, tak akan takut karena lahan itu haknya meski nanti masuk alat berat berikut pengawal ke lokasi. Dia punya kebun karet sekitar 11,6 hektar dikelola bersama adik beradiknya.

Sebagai petani yang dituding mengelola kebun dalam HGU Dutapalma, Salpentri mengadu ke ninik mamak dan pemerintah desa.

Dia juga kirim surat itu ke nomor WhatsApp Bupati Andi Putra. Andi langsung membalas dengan mengatakan, telah mengetahui informasi ini. Pemerintah daerah langsung bikin rapat.

Suhardiman Amby, Wakil Bupati Kuantan Sengigi gerak cepat dengan menyurati camat dan perintahkan koordinasi dengan kepala desa terkait.

Salpentri bilang, ada lima petani di Ujung Tanjung, yang terima surat dari Dutapalma. Semua pemilik kebun karet ini jauh lebih awal menguasai lahan di sana yang mereka kelola turun temurun.

Dia dan petani lain tidak ingin diganggu. Sebaliknya, perusahaan mesti memfasilitasi masyarakat dan tetap berdampingan mengelola kebun.

Selama ini, kata Salpentri, Dutapalma kerap membeli tanah masyarakat. Dengan cara begitulah perusahaan terus memperluas areal kelola. Sebagian warga enggan menjual lahan. Dutapalma dinilai minim perhatian terhadap ekonomi dan sosial masyarakat.

Ketika Mongabay menghubungi para petani itu, belum ada pemutusan jalan oleh Dutapalma. Berdasarkan tenggat waktu dalam surat kepada masyarakat, batas akhir penyerahan lahan akhir Agustus. Memasuki September, Dutapalma memutus akses jalan masyarakat.

“Bagaimana menghidupi keluarga kalau tidak ke kebun?” kata Darpaus, via telpon, 8 September lalu.

 

 

******

Foto utama:  Warga  berdiri pada tepian parit yang digali Dutapalma. Sebelumnya,  itu jalur masyarakat lalu-lalang ke kebun. Foto: dokumen warga

Exit mobile version