Mongabay.co.id

Merawat Mata Air, Menjaga Pasokan Air Bersih Salenrang

 

 

 

 

 

Mata air di kaki Bukit Bulu Ballang, bersumber dari gua bermulut kecil. Untuk memasukinya harus berjalan jongkok sekitar 50 meter. Setelah itu, akan menemukan ruang cukup lapang.

Gua ini memanjang sekitar 200 meter. Di bagian inilah beberapa lubang penuh air. Penduduk sekitar menyebut sumur. Ada lima sumur dalam gua itu, masing-masing kedalaman antara 10-40 meter.

Masyarakat Salenrang, Sulawesi Selatan, dulu gunakan sumur-sumur itu sebagai sumber air bersih. Persediaan air melimpah tak pernah kering, meskipun kemarau. Kalau musim hujan, air melimpah dan meluap ke mulut gua.

Warga membuat tanggul kecil di depan mulut gua, hingga menyerupai kolam kecil. Pada pagi hingga jelang sore, kolam ramai pengunjung untuk mencuci dan mandi.

Nahar, ingat betul suasana saat itu. Sejak kecil, dia ingat gua itu jadi tujuan ambil air bersama orangtuanya. Dua kali sehari, pagi dan sore dia membawa jerigen, dan mandi di pinggiran kolam. Setelah mandi, dia berjalan di antara pematang sawah dan empang, membawa air bersih sejauh dua km.

Kalau debit air kecil, warga akan memasang pipa, atau menjulurkan bambu ke sumber air. Pada bagian dalam gua beberapa orang akan menimba air dan mengalirkan melalui saluran pipa untuk ditampung.

“Saya kira, lebih berharga Bulu Ballang, tetap ada. Air tetap tersedia dalam gua. Soal bagaimana caranya mengambil itu soal lain.”

 

Daeng Are’, penjaga Gua Bulu Ballang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Akses air bersih

Di mulut Gua Bulu Ballang, ada bangunan hijau dengan atap seng yang terbuat dari beton. Di dalamnya, adalah instalasi listrik kapasitas 7.500 watt, dengan kabel menyeruak memasuki mulut gua. Aliran listrik tersambung pada dua mesin air celup (mesin pendorong) dan sebuah mesin pengantar di luar gua.

Ada dua pipa karet menerobos keluar dari mulut gua, sebagai pipa induk. Sekitar 200 meter dari gua, di sebuah bukit, bangunan lain ukuran 4×5 meter dengan tinggi dua meter. Bagian atas ada dua tandon air kapasitas 3.000 liter. Air gua itu ditampung di sana, lalu beberapa pipa lain terpasang menuju pemukiman.

Kini, Nahar bisa dengan mudah memutar kran air di samping rumahnya, untuk mengisi beberapa kotak akuarium budidaya cupang dan gupi. “Sebelumnya, budidaya seperti ini sulit, bahkan tidak memungkinkan. Karena air jauh dan bahkan harus beli,” katanya.

Pada 2017, Pemerintah Desa Salenrang mulai merintis pembangunan jaringan pipa air bersih. Secara swadaya, mereka berhitung. Melalui anggaran desa, cair Rp107 juta.

Anggaran itu untuk membangun bak tampungan dan mesin pendorong. Proses berjalan, bak air hanya bisa terisi sekitar 30 cm, atau sejangkal orang dewasa. Isinya, hanya mampu mencapai 10 kubik. Ketika ujicoba, daya dorong sangat kurang, hanya mampu mengaliri beberapa rumah tangga.

Warga yang bermukim sekitar tiga km dari jarak bak penampung, tak mendapatkan air, atau bisa sampai ke rumah sekitar pukul 02.00 dinihari.

Tahun itu, Syahrir jadi semacam koordinator penyediaan air bersih di desa. “Dari pengalaman itu, benar. Kita harus berbuat dulu, lalu evaluasi dan kemudian berbuat lagi. Kami akhirnya temukan kalau ini soal daya dorong dan kapasitas penampungan,” katanya.

Akhirnya, pada 2019, setelah periode kepala desa sebelumnya, dia terpilih jadi Kepala Desa Salenrang. Dia memulai visi dan target jadikan desanya mandiri air.

Anggaran desa kembali teralokasi Rp280 juta buat menambah kapasitas reservoir (penampungan air) jadi 50 kubik. Jaringan pipa terpasang sudah 300 meter.

Pada 2020, desa ini kemudian menargetkan jaringan pipa sampai 15 km, buat menjangkau penduduk desa. Mereka tertatih, hanya mampu memasang 2,5 km jaringan.

Syahrir dan tim menghitung anggaran untuk mencapai target pipa itu. Setidaknya, perlu Rp690 juta.

Melalui program penyediaan air bersih dan sanitasi masyarakat (Pamsimas) mereka mendapatkan bantuan Rp245 juta. Akhirnya, sisa anggaran Rp450 juta jadi tanggungan pemerintah desa.

“Jadi, kami membangun kolaborasi. Kalau hitungan kami dengan anggaran total itu, menggunakan anggaran desa itu bisa tiga tahun baru tercapai,” katanya.

“Pelan-pelan, saat ini jaringan pipa sudah 80% terpasang. Akhir tahun, saya kira 15 km itu terpasang dan memutari desa.”

 

Tempat penyimpanan air. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Saat ini, jaringan pipa terpasang sudah 700 rumah, dengan jarak terjauh lima km, garis lurus. “Ada sumber air bersih. Selain mata air Bulu Ballang, akan diaktifkan juga mata air di De’de Leang dengan dua mesin,” kata Syahrir.

Di De’de Leang, katanya, kapasitas air lebih besar. “Itu sudah pernah berjalan, karena ada kerusakan mesin, saat ini berhenti.”

Bagaimana sistem air bersih warga ini berjalan? Pengelolaan diserahkan ke Badan Usaha Milik Desa (Bumdes). Setiap pelanggan, membayar biaya pemasangan kilometer Rp350.000 dan mendapatkan tiga batang pipa ½ inci gratis.

Penghitungan pemakaian air sesuai kebutuhan rumah tangga dan dibayar perbulan ke Bumdes.

Ikhwan, warga kampung Rammang-rammang juga mengelola kedai kopi dan rumah makan mengatakan, pakai air “PDAM Salenrang” jauh lebih hemat, ketimbang membeli.

“Kalau dulu kami beli air. Di rumah saya pake dua tandon ukuran 1.200 liter, jadi sekitar 2.400 liter, itu paling lama satu minggu. Harga Rp90.000,” katanya.

Sebulan, dia isi sampai empat kali. Pengeluaran khusus air saja sekitar Rp360.000. Kalau pakai jaringan pipa desa paling Rp170.000. “Jadi, sangat jauh bedanya.”

Syahrir juga meyakini itu. Di depan rumahnya, ada sebuah tandon air. Sebelum jaringan pipa air desa ini beroperasi, dia membeli air bersih Rp100.000 untuk memenuhi tangki air dan habis dalam tiga hari.

“Setiap bulan, kami bisa mengeluarkan uang Rp900 ribu untuk kebutuhan air saja. Itu pun mandi harus hemat-hemat. Saya mandi itu pake satu ember saja. Sekarang, saya nikmati betul. Saya buka kran dan air mengucur. Mandi sepuasnya dengan bersih. Enak sekali. Sebulan saya bayar Rp80.000.”

Desa Salenrang ada 1.350 rumah, dengan 1.530 keluarga. Dengan asumsi setiap pelanggan membayar iuran air Rp50.000, setiap bulan Bumdes Salenrang mengelola sekitar Rp67, 500 juta.

“Ini akan jadikan Bumdes berdaya. Setiap tahun akan mengelola Rp800 an juta. Uang itu akan diputar untuk pemeliharaan, hingga usaha lain seperti pemberdayaan pangan,” kata Syharir.

 

Desa Salenrang masuk Kecamatan Bontoa, Maros. Wilayah ini biasa dikabarkan alami kekeringan saat kemarau. Warga kekurangan air dan hanya menggunakan air seadanya dari sumur keruh. Kini, Salenrang mulai mau keluar dari stigma itu.Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Secara administrasi, Desa Salenrang masuk Kecamatan Bontoa, Maros. Wilayah ini biasa dikabarkan kekeringan saat kemarau. Warga kekurangan air dan hanya menggunakan air seadanya dari sumur keruh.

Kini, Salenrang mulai mau keluar dari stigma itu. “Orang-orang dulu mengenal wilayahnya. Ada tempat air yang tidak pernah kering, ada juga mata air yang kering kalau kemarau,” kata Daeng Are.’

Daeng Are’, berusia sekitar 60 tahun. Rumah tak jauh dari Gua Bulu Ballang. Kini, dia jadi penjaga keberlangsungan mata air.

“Waktu ada listrik, orang-orang yang rumahnya dekat, beli pipa. Lalu kasi masuk ke dalam gua, terus mesin air (untuk mengisap) di rumah. Pemakaian juga tidak setiap saat karena butuh listrik mahal juga,” katanya.

Tak heran di mulut gua ratusan pipa paralon berwarna putih, menjulur. “Jadi ada yang masih pake pipa ini. Tapi ada juga yang sudah berhenti karena sudah ada jaringan air ini. Lebih murah,” katanya.

Mata air Bulu Ballang, sangat penting bagi penduduk sekitar hingga harus terjaga. Pada perayaan-perayaan syukur tertentu, warga menggelar ritual di depan mulut gua. “Bulan lalu, kami memotong kambing. Di makan bersama juga di tempat ini,” kata Are’.

Ritual-ritual semacam itu, oleh beberapa warga dinyatakan sebagai puncak syukur untuk bumi yang telah menyediakan limpahan sumber daya.

“Sekitaran gua itu akan kembali ditanami tanaman yang dapat menyimpan air, seperti aren dan bambu. tentu saja, bagian penting Bukit Bulu Ballang, akan dijaga ketat agar tidak terbuka,” kata Syahrir.

 

Tempat penyimpanan air bersih warga dari hasil dana kolaborasi, swadaya masyarakat dan anggaran desa. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

******

Exit mobile version