Mongabay.co.id

Cerita dari Pinggir Danau Sentani, Lestarikan Tradisi Seni sembari Jaga Alam

 

 

 

O Bure areooo…

“O Bure areooo….”

Anak-anak ini berulang-ulang menyanyikan lirik lagu berbahasa Sentani ini. Mereka duduk berpasangan di atas pelampung hitam yang bergerak searah arus bergerak dari ujung kali. Wajah mereka tertutup topeng dari cat putih.

Bure are, artinya kita mau pergi, mencari dengan perahu jalan ke hutan, sama–sama pergi untuk kita bawa pulang hasil,” kata Yusuf Ohee, pelatih tari dari Sanggar Napas Danau Sentani (NDS) menjelaskan arti lirik lagu itu.

Anak-anak ini dari sanggar NDS. Mereka sedang beratraksi di Kali Jaifuri. Jaifuri, satu-satu-satunya kali yang mengalir keluar dari Danau Sentani.

Kali ini melewati hutan menuju lautan di sebelah timur. Permukaan berwarna hijau dan mengalir tenang. Dusun sagu dan pohon-pohon mengapit di sepanjang sisinya.

Kadang orang menyebut Kali Yokiwa, karena ini merupakan wilayah Kampung Yokiwa. Berada tepat di ujung timur danau, Kampung Yokiwa bagian dari Distrik Sentani Timur Kabupaten Jayapura, Papua.

Atraksi anak-anak ini menjadi pertunjukan pertama pada acara pembukaan pameran seni bertajuk Romiyea Phuklah.

Romiyea Phuklah bermakna kehidupan manusia yang tak terpisahkan dari alam. Alyakha Art Center, satu gerakan Seni yang digagas sejak 2019 menyelenggarakan pameran ini dari 10-11 September 2021.

Selain atraksi di atas danau, kelompok lain dari sanggar NDS juga membawakan pertunjukan tari berpadu musik dan lagu. Beberapa kelompok seni dari luar Kampung Yokiwa juga ikut meramaikan acara.

Papeda Entertainment, grup tari kontemporer dari Jayapura, membawakan tari dengan judul pohon terakhir. Lewat tari ini, para penari yang berjumlah sekitar lima orang menyampaikan pesan menjaga hutan untuk anak cucu.

Harapan mereka, di masa depan tak akan cerita pohon terakhir.

Pertunjukan seni dari Asmat, Lani Jaya, dan Tolikara makin menambah hangat. Dengan kekhasan tradisi seni masing-masing, menghibur penonton. Kelompok seni dari Lani Jaya membawa lagu-lagu yang biasa dinyanyikan pada malam hari saat perang usai.

Dulu, ketika perang suku masih sering terjadi, malam hari perang berhenti. Kembali ke rumah, kelompok laki-laki berjaga-jaga dengan bernyanyi dan memainkan musik, bersiap untuk melanjutkan perang keesokan hari.

Kelompok seni dari Tolikara, tak kalah menarik. Mereka merias seluruh tubuh dengan material berwarna hitam. Cat putih membentuk motif pada wajah dan badan. Berbagai atribut menghiasi kepala, leher, dan lengan. Beberapa dilengkapi tombak dan kampak.

 

Lima orang berdiri di tengah memainkan alat musik mirip gitar sambil bernyanyi, tiga lainnya berkeliling sambil menari dengan gerakan menyerupai orang-orang yang sedang mengintai. Mereka bernyanyi tentang kampung halaman yang jauh di Tolikara dan perjalanan merantau ke Jayapura.

Dengan busana Asmat, Grup Wompits yang berisikan pemuda-pemuda asal Asmat menyanyikan beberapa lagu. Dengan gitar, tifa, dan gerakan tari khas Asmat, mereka membawakan lagu tentang hutan.

Semua pertunjukan ini semakin menarik karena ditampilkan di alam terbuka, tepat di atas dermaga kali dengan latar sungai dan pepohonan.

Setelah pertunjukan pembuka, para pengunjung menyaksikan pameran. Karya-karya yang dipamerkan adalah hasil dari kegiatan residensi seniman yang menjadi program tahunan Alyakha Art Center.

Program kali ini menghadirkan Bertho Wanma, seniman patung asal Biak yang 10 tahun terakhir belajar dan berkarya di Jogja. Tiga bulan berada di Kampung Yokiwa, Bertho bersama para seniman kampung mengeksplorasi bahan-bahan alami yang tersedia di kampung untuk membuat berbagai karya.

Karya bersama para seniman berupa instalasi patung di tengah kali Jaifuri. Terbuat dari bambu, patung ini menyerupai seorang anak yang memandang ke arah danau sentani dengan jaring tergantung pada pundaknya. Jaring itu berisi sampah-sampah.

Karya ini lahir dari pengamatan Bertho. Sejak hari pertama hadir di kampung ini, dia melihat anak-anak yang tiap hari selalu berada di kali ini. Mereka melakukan berbagai aktivitas, mulai mencari ikan, mandi, memungut sampah atau bermain.

Berbagai karya lain berupa pahatan dan ukiran dari kayu jati dipajang dalam di satu balai terbuka juga berada di tepi kali.

Karya-karya itu mengangkat femonema kerusakan lingkungan dan gaya hidup masyarakat saat ini. Ada juga yang bercerita tentang keseharian masyarakat dan alam sekitar.

Salomo Mimitauw, siswa SMK di Jayapura, membuat dua karya untuk pameran ini. Salah satun karya berupa ukiran seorang yang mendayung perahu.

“Saya proses bikin karya ini dua bulan, trus ini juga dari kayu jati. Pertama kita potong kayu, lalu kasi tajam pahat dan mulai pahat-pahat dia sampai ada ini dia pu hasil.”

Seorang seniman muda lain bernama Renaldi Deda membuat gambar ikan gabus Danau Sentani dan kus-kus pohon. Dia mengerjakan dua karya ini sekitar satu bulan.

“Saya bikin dengan paham besi. Kaka Bertho kasitau, kasi gambar, baru saya yang pahat sampai jadi.”

Ada 16 seniman terlibat dalam pameran ini. Sebagian besar dari Kampung Yokiwa. Mereka adalah Aldy Deda, Brian Suebu, Fredy Monim, Herix Awoitauw, Kamasan Fakdawer, dan Robert Flobetauw. Juga, Salomo Mimitauw, Toni Flobetauw, Yeremias Awoitauw, Delison Jingga, Geroge Deda, Gregorius Asinawor, Deminikus, Geradus Pisa, Yeremias, Dawu, dan Gusti Ohee.

 

Renaldi Deda salah satu seniman dengan dua karnya yang ikut pameran. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Hidupkan tradisi seni

Tidak banyak kampung di Papua, yang bisa menyelenggarakan festival seni mandiri seperti di Kampung Yokiwa. Yokiwa, sebagaimana daerah lain di Papua, kaya seni tradisi. Seni melekat dalam keseharian masyarakat. Dalam perkembangannya, ada yang mulai ditinggalkan, ada yang masih bertahan, dan ada bertransformasi dalam bentuk-bentuk baru.

Di Kampung Yokiwa, ada Sanggar Nafas Danau Sentani (NDS) dan Alyakha Art Center. Anggota sanggar NDS sebagian besar anak-anak dan remaja kampung. Mereka sering tampil dalam berbagai acara di Jayapura, bahkan hingga ke Jakarta.

Setiap festival di kampung, mereka selalu tampil sebagai pembuka. Ciri khas mereka ada busana, alat musik, gerak tari, dan lirik lagu dalam bahasa Sentani.

Yusuf Ohee, sang pelatih mengatakan, kehidupan sekarang jauh berbeda dengan dahulu. Relasi manusia dengan alam yang biasa tampak dari seni-seni tradisi ini sudah berubah banyak. Karena itu, lewat seni tradisi anak-anak di sanggar ini, dia berharap pesan-pesan orang tua tentang kehidupan terus diingat.

Tiupan alat musik yang membuka tarian, katanya, bertanda ajakan kepada semua warga kampung untuk ikut bergembira dan bernyanyi.

“Anak-anak nyanyi di sini, bapa mama (di rumah) juga semua rasa apa yang mereka bawakan. Mereka rasa iyo betul sejak dulu, orang tua saya, tete saya atau bapa saya pernah bicara seperti ini. Hari ini kan hilang. Lewat lagu, lewat tari yang dibawakan, mereka mengingat kembali lagi, di situ ada kehidupan,” katanya.

Seni di Yokiwa ini makin hidup ketika 2019, Alyakha Art Center, mulai dibentuk. Penggagasnya, Markus Rumbino dan Irma Awoitauw. Markus Rumbino, seorang komposer musik dan pengajar di Insitut Seni Budaya Indonesia (ISBI) di Tanah Papua. Lewat Alyakha Art Center, mereka ingin mendokumentasikan musik-musik tradisi di berbagai wilayah adat di Papua.

Program lain dari Alyakha Art Center adalah residensi seniman. Program ini tidak sekadar memfasilitasi seniman membuat karya dengan mengambil inspirasi dengan kehidupan masyarakat, juga mengajak berbagai kreativitas seni dan membuat karya bersama.

Residensi selalu ditutup dengan pameran dan pertunjukan karya yang juga dilaksanakan di kampung.

“Kami melihat potensi kuat di dua kampung ini, Yokiwa dan Puay. Ini satu batu loncatan untuk membaca kebutuhan masyarakat di kampung-kampung ini hingga mengembangkan potensi anak-anak dan potensi alam menjadi karya,” kata Markus Rumbino.

Alykha Art Center, diharapkan menjadi ruang alternatif mengembangkan potensi seni dan sembari latihan berpikir kritis bagi anak-anak kampung.

Irma Awoitauw menyatakan, senin ini kurang mendapat ruang di sekolah-sekolah formal saat ini.

“Kita coba bawa itu dalam satu kemasan yang sederhana tetapi sebenarnya jangka panjang. Kegiatan residensi seniman selesai bukan berarti selesai. Ketika seniman pulang, ada hal-hal yang mereka buat sesuai dengan apa yang mereka sudah terima.”

Dia berharap, Alyakha Art Center terus jadi ruang interaksi antar seniman dengan masyarakat, maupun dengan pihak-pihak dengan latar belakang keilmuan yang lain.

 

Instalasi patung anak di tengah Kali Jaifuri. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Tema lingkungan

Ekosistem Danau Sentani, menjadi daya tarki wilayah ini sedang menghadapi berbagai ancaman. Kerusakan daerah hulu di Pegunungan Cyclop, pencemaran limbah, hingga alih fungsi kawasan di sekitar danau menjadi penyebab.

Maret 2019, banjir bandang yang menghancurkan Sentani dan sekitar, danau meluap. Ribuan rumah warga tergenang. Situasi itu tercermin juga dalam karya para seniman. Tema-tema lingkungan terus diangkat dalam pameran-pameran Alyakha Art Center.

“Karena manusia dan alam dalam perspektif orang Sentani memiliki hubungan sangat erat, tidak bisa dipisahkan. Air, tanah, tumbuhan, itu mempengaruhi kehidupan manusia yang tinggal di wilayah danau Sentani ini,” kata Markus.

Sebelumnya, pada 2019, Alyakha Art Center mengundang Dicky Takndare. Dicky Takndare, pelukis asal Jayapura yang banyak beraktivitas di Jogjakarta. Selama sebulan, Dicky berbagi pengetahuan seni rupa, berbagi cara menggali soal-soal sekitar dan membuat dalam karya. Karya-karya mereka tampil dalam pameran dengan The Khayouw. Khayouw adalah ikan gabus Danau Sentani dengan populasi makin menurun.

Sebagai karya bersama, Dicky dan para seniman kampung membuat replika khayouw sepanjang sekitar 10 meter di tengah Kali Jaifuri. Bahan-bahan dari sampah. Mereka hendak mengirim pesan pada publik bahwa masalah sampah adalah masalah serius bagi lingkungan dan mengancam kehidupan satwa dan manusia.

Mereka juga menampilkan karya-karya individu antara lain lukisan-lukisan yang terbuat dari bahan sampah.

Program residensi kedua pada 2021 ini berhasil mengenalkan bahan-bahan alami di kampung untuk membuat karya.

Bertho Wanma mengatakan, Kampung Yokiwa memiliki potensi kayu jati yang selama ini belum dilirik. Kayu jati banyak terbuang atau hanya jadi kayu bakar. Di sini juga ada bambu dan tanah liat. Bahan-bahan ini akan memiliki nilai jual tinggi jika diberi sentuhan seni.

“Sebenarnya alam menyediakan bahan yang melimpah, cuma kesadaran teman-teman yang belum karena belum ada yang mengenalkan.”

Barnabas Awoitauw, tokoh adat Yokiwa, mengapresiasi upaya-upaya menggali kreativitas seni ini. Dia bangga karena kampung ini terus berkembang menjadi kampung seniman.

“Tahun lalu, bikin ikan gabus besar di sini. Yang gantung itu sampah-sampah semua. Bupati Tanya, kira-kira itu artinya apa? Saya bilang, gabus dulu di Danau Sentani itu enak karena tidak ada sampah. Sekarang sampah sudah merajalela. Danau Sentani air kabur, gabus kita makan tidak enak lagi.”

Kampung Yokiwa, bisa ditempuh kurang lebih 45 menit dari Kota Jayapura. Menuju kampung ini, akan melewati sisi timur Danau Sentani. Hamparan bukit dan danau yang indah akan jadi pemandangan sepanjang perjalanan, hingga bertemu Kali Jaifuri di Kampung Yokiwa.

Yusuf Ohee, pendamping di Sanggar Nafas Danau Sentani mengharapkan kegiatan-kegiatan seperti ini akan terus berlanjut.

“Lewat kebudayaan dan tradisi ini, seniman datang dan ajar bersama kami, mari kita sama-sama lihat sekitar alam kita ini. Kita jaga dan lestarikan, pelihara baik, rawat, dan ajak anak cucu kita, hingga mereka bisa berbuat yang terbaik untuk masa depan.”

******

Foto utama: Penari dari Sanggar Napas Danau Sentani. Foto: Asrida Elisabeth/Mongabay Indonesia

Exit mobile version