Mongabay.co.id

Pengelolaan Ruang Laut Bergantung pada Neraca Sumber daya Laut

 

Awal Juli 2021, dunia dikagetkan dengan peristiwa kebakaran yang terjadi pada jaringan pipa gas bawah laut milik Petroleos Mexicanos di Teluk Meksiko, Laut Karibia. Peristiwa tersebut, tak hanya menimbulkan kerugian material bagi perusahaan milik Pemerintah Meksiko itu, namun juga kerusakan ekosistem yang ada di bawah laut.

Kejadian yang menyita perhatian seluruh negara itu, disebut sebagai peringatan yang harus diperhatikan oleh masyarakat dunia, karena dampaknya yang buruk bagi lingkungan di laut. Bagi Indonesia, kejadian tersebut memberikan pelajaran sangat berharga bagaimana mengelola ruang laut bisa dilakukan dengan sangat baik dan hati-hati.

Pakar Ekonomi Sumber daya dari IPB University Prof Akhmad Fauzi menjelaskan, peristiwa di Teluk Meksiko tersebut harus bisa menjadi pelajaran penting, karena aset sumber daya laut adalah sesuatu yang sangat bernilai tinggi.

Jika sampai terjadi kerusakan ekosistem yang diakibatkan oleh kegiatan pemanfaatan ruang laut, maka nilai kompensasi yang harus diberikan atas kerusakan tersebut, pasti akan sangat besar. Nilai tersebut, harus mewakili dari kerusakan ekosistem yang sudah terjadi.

Lalu, apa saja aset sumber daya laut yang bisa dimanfaatkan oleh manusia dan makhluk hidup lainnya? Akhmad Fauzi menerangkan bahwa itu terdiri dari penangkapan ikan, aktivitas menyelam, dan pariwisata bahari/laut yang bisa mengundang banyak orang dari seluruh dunia.

Semua aset tersebut, bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dunia sebagai sumber ekonomi yang bisa meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Termasuk, oleh masyarakat pesisir yang ada di seluruh Indonesia saat ini.

Hanya saja, agar segala potensi di laut bisa terus memberikan manfaat yang panjang, ekosistem yang ada di pesisir dan laut harus senantiasa dijaga oleh masyarakat pesisir, perencana pariwisata, dan industri pariwisata secara langsung.

“Selain dilindungi, juga harus dikembalikan habitat yang rusak untuk bisa pulih kembali,” ungkap dia saat menjadi narasumber dalam Lokakarya Nasional Penyusunan Neraca Sumber Daya Laut Indonesia yang berlangsung pekan lalu.

baca : Ini Tantangan Kondisi Maritim Indonesia untuk Keberlanjutan Perekonomian Laut

 

Siluet aktivitas warga nelayan disenja hari saat di bibir pantai Kondang Merak, Malang, Jatim. Foto : Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Selain potensi yang disebutkan tadi, aset sumber daya laut juga mencakup terumbu karang yang bisa menyaingi hutan hujan di darat sebagai produsen oksigen dan juga penyimpan karbondioksida (CO2). Keberadaan terumbu karang, juga menjadi rumah bagi jutaan makhluk laut yang selama ini ada.

“Satu dari empat hewan di laut, itu pasti tumbuh dan berkembang pada ekosistem terumbu karang,” tambah dia.

Kekayaan laut yang berasal dari terumbu karang, nilainya di seluruh dunia sudah mencapai USD9,9 juta atau mencapai tiga kali lipat dari nilai minyak bumi di seluruh dunia. Dari terumbu karang, laut bisa menyuplai kebutuhan untuk aktivitas penangkapan ikan, pariwisata, restoran, dan juga produk medis.

Tak hanya itu, terumbu karang juga bisa menjaga wilayah pesisir dari serangan badai ataupun ombak dan mencegah kerugian hingga mencapai jutaan dolar AS akibat kerusakan oleh serangan badai, serta bisa menyediakan energi arus laut hingga 90 persen.

Dari semua itu, Akhmad Fauzi menyebutkan kalau masyarakat dunia ternyata sudah memanfaatkan aktivitas penangkapan ikan sebagai kegiatan utama di laut. Bahkan, di masa kini kegiatan tersebut sudah membuat banyak sektor sangat bergantung dan menyebabkan kegiatan tersebut sulit untuk dikendalikan.

“Dengan ketergantungan yang tinggi, memerlukan perencanaan yang matang melalui ocean accounting,” sebut dia.

Perlunya dibuat neraca laut, karena dokumen itu bisa memandu untuk memetakan data sebaran dan besaran dari sumber daya alam yang ada di laut; menjadi alat ukur potensi, daya dukung, daya tampung, dan potensi ancaman; dan sebagai instrumen pengendalian laju ekstraksi.

Selain itu, sebagai tolok ukur implementasi tata ruang; instrumen evaluasi pemanfaatan sumber daya alam laut; dan sebagai sumber pendapatan negara yang terus meningkat nilainya.

baca juga : Transformasi Ekonomi Laut Berkelanjutan untuk Kelestarian Ekosistem Laut

 

Terumbu karang dan biota laut di perairan Nusa Penida, Bali. Foto : Marthen Welly/Hope Spot

 

Jika dokumen neraca laut sudah dibuat, Fauzi menyebut bahwa itu juga akan memberikan peran sangat banyak dalam pembangunan kelautan dan perikanan. Di antaranya adalah bagaimana menyeimbangkan kegiatan perdagangan antara nilai yang dibuat manusia dan yang dibuat oleh alam.

Kemudian, neraca laut juga akan memberikan arahan dalam mengendalikan ekosistem laut sebagai penunjang modal alam, yakni sumber daya laut yang sudah ada. Juga, akan memastikan fungsi vital ekosistem yang sudah ada sejak lama tidak akan hilang.

Tak lupa, Fauzi juga menyebutkan kalau neraca laut akan memandu untuk mengarahkan investasi biru dalam pengembangan kawasan di laut. Dengan cara tersebut, maka pengembangan akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan lingkungan.

“Memberikan ruang integrasi pengembangan kawasan secara lebih berkelanjutan,” pungkas dia.

 

Ekonomi Biru

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Basilio Dias Araujo pada kesempatan yang sama juga menjelaskan bahwa pemanfaatan ruang laut harus dilakukan dengan mengadopsi prinsip ekonomi biru.

Konsep tersebut, diakuinya saat ini sedang menjadi tren di seluruh dunia dan diterapkan oleh banyak negara. Konsep pembangunan ekonomi biru berpusat di sektor laut dengan tetap memperhatikan keberlangsungan ekosistem laut.

baca juga : Perikanan Berkelanjutan untuk Masa Depan Laut Dunia

 

Nelayan menambatkan perahu saat hari menjelang malam. Saat cuaca bagus seperti sekarang ini rata-rata nelayan pulang dengan membawa ikan tangkapan 2 kwintal. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

Adapun, cakupan dari ekonomi biru adalah semua kegiatan ekonomi yang berpusat di laut, melibatkan masyarakat sebagai bagian dari sistem ekosistem integrasi, menciptakan lapangan pekerjaan dan modal sosial, dan inovasi yang berlandaskan kewirausahaan.

Melalui ekonomi biru, akan ada manfaat banyak yang bisa dirasakan oleh masyarakat dunia dan juga alam semesta. Di antaranya adalah meningkatkan kemampuan untuk memantau perkembangan ekonomi biru pada skala nasional dan internasional.

Membantu pengembangan solusi untuk masalah yang teridentifikasi; membantu pengembangan kerangka kerja kebijakan berdasarkan data ilmiah; dan penguatan hubungan diplomatik antar negara yang mendorong percepatan pengembangan ekonomi biru.

Sedangkan Kepala Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial Khafid menambahkan bahwa penyusunan dokumen neraca laut akan memerlukan dukungan spasial secara detail. Di antaranya:

  1. Melaksanakan survei fisik tentang aset sumber daya alam di laut, yang akan menjadi dokumen penyusunan neraca/status fisik/aset;
  2. Melaksanakan valuasi, berupa inventarisasi dan penilaian sumber daya;
  3. Manajemen yang melibatkan Pemerintah, yaitu untuk kepentingan pengelolaan ruang laut;
  4. Kekayaan laut dan gabungan lainnya, yang mencakup sistem keuangan Pemerintah dan statistik nasional.

Saat ini, BIG sendiri sudah memiliki peta terumbu karang nasional, peta habitat lamun nasional, peta karakteristik nasional, dan peta mangrove nasional. Selain itu, sudah ditetapkan juga lokasi-lokasi yang menjadi prioritas untuk dilakukan pendataan secara detail.

Selain Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Anambas di Kabupaten Kepulauan Anambas (Provinsi Kepulauan Riau), dan Taman Nasional Perairan (TNP) Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur (NTT), ada juga TWP Perairan Pulau Pieh (Sumatera Barat), TWP Kapoposang (Sulawesi Selatan), TWP Gili Ayer (Nusa Tenggara Barat), TWP Laut Banda dan AP Kepulauan Aru Tenggara (Maluku), SAP Raja Ampat, SAP Kepulauan Waigeo (Papua Barat), dan TWP Pulau Padaido (Papua).

perlu dibaca : Ini Buah Manis Penerapan Prinsip Berkelanjutan pada Perikanan Tuna

 

Perahu ketek masih menjadi angkutan utama di Sungai Musi untuk jakur Palembang Ilir dan Palembang Ulu. Foto: Ikral Sawabi/Mongabay Indonesia

 

Tentang neraca laut yang tengah disusun saat ini, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (PRL KKP) Pamuji Lestari menjelaskan bahwa neraca laut disusun untuk mendukung investasi berkelanjutan di Indonesia.

Menurut dia, penyusunan neraca sumber daya laut menjadi bagian dari pelaksanaan pengelolaan ruang laut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengelolaan tersebut akan menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dengan ekologi yang berfokus pada kelestarian ekosistem di laut.

Penyusunan neraca laut bisa dilakukan melalui perencanaan ruang laut, integrasi dengan tata ruang darat, pemberian izin untuk kegiatan atau investasi tertentu, dan termasuk melaksanakan monitoring untuk memantau dampak dari semua pemanfaatan yang sudah dilakukan.

“Sehingga pada akhirnya kita dapat memastikan keberlanjutan investasi di wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil,” jelas dia.

Jika sudah berhasil disusun dan diterapkan, nantinya neraca sumber daya laut akan menjadi salah satu instrumen untuk melakukan pemantauan dan mengukur sejauh mana dampak investasi terhadap aset sumber daya laut.

Itu artinya, neraca laut akan mempertimbangkan pemanfaatan ruang laut di masa mendatang, termasuk dari sisi tekanan yang sudah terjadi. Pengendalian tersebut akan mampu menjaga kondisi ekosistem bisa tetap baik, walau aktivitas ekonomi juga terus meningkat.

“Maka penyusunan neraca sumber daya laut ini semakin mendesak untuk dilakukan,” pungkas dia.

 

 

Sejak 2020, Ditjen PRL KKP bersama BIG, Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Keuangan dan mitra lainnya menginisiasi penyusunan neraca sumber daya laut dengan lokasi proyek percontohan di TWP Gili Matra, NTB.

Diketahui, luas laut Indonesia mencapai 6,4 juta kilometer persegi (km2), dengan garis pantai membentang hingga 108 km atau menjadi yang terpanjang kedua di dunia. Di antara laut tersebut, ada 17.000 pulau, dengan delapan provinsi kepulauan dan 327 kabupaten/kota di pesisir.

Menurut Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut (KKHL) KKP Andi Rusandi, ada tiga neraca fisik sumber daya laut yang bisa dinilai, yaitu terumbu karang, mangrove, dan lamun. Ketiga ekosistem tersebut akan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga kesehatan laut.

Deputi Bidang Kemaritiman dan Sumber daya alam Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Arifin Rudiyanto menyebutkan, luasan terumbu karang Indonesia mencapai 25.000 km2, dimana 37 persen saat ini dalam kondisi baik dan 29,9 persen dalam kondisi sangat baik.

Kemudian, tutupan hutan mangrove Indonesia menjadi yang terluas di dunia mencapai 3,3 juta hektare (ha) dan menjadi wilayah asuhan biota pelindung pesisir dari energi gelombang dan erosi. Selain itu, juga mampu menyimpan 950 miligram karbon pada setiap ha.

Terakhir, padang lamun Indonesia luasnya mencapai 293.464 ha dan mampu menyimpan 119.5 miligram karbon per ha. Lamun juga menjadi wilayah asuhan biota pelindung pesisir dari energi gelombang dan erosi, serta menjadi bahan baku berbagai produk.

 

Exit mobile version