- Konflik manusia dengan macan tutul kembali terjadi di kawasan hutan Sanggabuana, Jawa Barat, yang terpicu ternak warga dimangsa macan yang lapar karena ruang hidupnya makin terdesak. Pada umumnya, macan tutul itu kemudian diburu dan dibunuh
- Kawasan hutan Sanggabuana sejak lama terindentifikasi sebagai kantung populasi macan jawa di luar kawasan konservasi karena habitatnya yang cocok untuk hidupnya. Bahkan dulu, lebatnya hutan Sanggabuana disebut sebagai “Kalimantan-nya” di jantung Jawa Barat.
- Untuk melindungi populasi macan tutul yang makin terdesak, Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi dalam pertemuan dengan KLHK mendorong wilayah Sanggabuana diubah statusnya menjadi taman nasional baru.
- Peneliti ahli utama Litbang Hutan KLHK Hendra Gunawan berpendapat kawasan Sanggabuana lebih tepat jadi kawasan ekosistem esensial yang bisa diterima semua pihak sebagai konsep pengelolaan sumber daya hayati dan ekosistem
Kebutuhan masyarakat untuk mempertahankan hidup memengaruhi populasi satwa terancam punah di Jawa Barat. Sebagian besar wilayah di Tatar Sunda kini menghadapi konflik antara manusia dengan macan tutul jawa.
Di pertengahan September 2021 yang kering, konflik itu terjadi lagi. Predator terakhir dengan nama latin Panthera pardus melas keluar dari habitat liarnya di kawasan hutan Sanggabuana milik Perum Perhutani Karawang, Jabar. Motifnya serupa dengan banyak kasus yang terjadi selama 30 tahun terakhir, yakni dipicu lantaran ternak warga dimangsa macan yang lapar.
Di kanal YouTube Kang Dedi Mulyadi milik Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi, menunjukan bawah kandang-kandang ternak milik warga berada di dalam kawasan hutan. Agaknya, kemiskinan adalah faktor utamanya. Disamping biasnya kontrol tata ruang, menyebabkan daya jelajah macan semakin terdesak.
“Biasanya ada dendam dari masyarakat ketika ternaknya dibunuh sehingga dipasang jerat dan racun,” kata mantan Bupati Purwakarta itu yang kemudian mengganti 24 ekor domba milik warga setempat.
Menurut Dedi Mulyadi, motif berkurangnya populasi macan jawa bukan diburu untuk dijual kepada kolektor, tetapi karena konflik. Hal ini menandakan bahwa keberadaan satwa dilindungi itu kalah oleh kebutuhan mendesak sebab semakin banyaknya populasi penduduk di suatu tempat.
Dedi khawatir hilangnya satu bagian rantai makanan hilang, seperti macan, mempengaruhi kehidupan hutan dan manusia di sekelilingnya. Mungkin sekarang belum terlihat bentuknya tetapi suatu saat pasti akan terjadi, katanya.
baca : Konflik Manusia dengan Macan Tutul Jawa Belum Berakhir
Kawasan Sanggabuana memang sudah sejak lama terindentifikasi sebagai kantung populasi macan jawa di luar kawasan konservasi. Peneliti ahli utama Pusat Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Hendra Gunawan merupakan salah satu yang sempat meneliti pada tahun 2013. Hasilnya, hutan yang mencakup wilayah Karawang, Purwakarta, Cianjur dan Bogor itu merupakan satu lansekap yang cukup luas. Dulu saking rapatnya orang menyebut Sanggabuana sebagai “Kalimantan-nya” di jantung Jawa Barat.
“Kriteria kawasannya memang sesuai dengan karakteristik habitat satwa endemik seperti macan tutul,” ucap Hendra ketika ditelepon pada Senin (20/9/2021).
Penemuan itu tak jauh beda dengan pengalaman Penggiat Alam Liar, Bernard T Wahyu Wiryanta. Lebih dari tujuh tahun mengamati satwa endemik di Sanggabuana, ia acapkali menemukan macan tutul mati ditembak pemburu hingga kabar turun gunung karena kelaparan. Namun, semua peristiwa itu menguap begitu saja tanpa ada atensi apapun dari pihak terkait.
“Baru kasus macan tutul betina dewasa ini yang punya atensi. Itu pun karena ada pejabat yang peduli dan mau menindaklanjuti,” tutur Bernard dihubungi terpisah.
Penemuan kasus macan tutul itu dari hasil rekaman kamera jebak yang dipasang oleh tim Sanggabuana Wildlife Expedition yang dilakukan sejak Juli 2020.
Ada total 22 kamera jebak dengan rincian 20 kamera dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) KLHK dan dua kamera pinjaman dari Dedi Mulyadi, yang dipasang di kawasan Sanggabuana. Dua dari total 22 kamera jebak dengan sensor gerak dan infra merah yang dipasang selama 21 hari itu akhirnya membuahkan hasil. Visual perawakan kucing besar teridentifikasi pada tanggal 9-12 September 2021 lalu.
Berdasarkan temuan tersebut, Bernard yang merupakan koordinator tim Sanggabuana Wildlife Expedition mewanti-wanti pemerintah untuk ambil sikap menyelamatkan satwa negara. Selain itu, Dedi Mulyadi dalam pertemuan dengan KLHK mendorong wilayah Sanggabuana menjadi taman nasional baru.
“Usulan perubahan status telah disampaikan oleh Kang Dedi. Harapannya Sanggabuana segera menjadi kawasan konservasi,” tegasnya.
baca juga : Meredam Konflik Macan Tutul Jawa dengan Manusia
Melabrak batas administrasi
Sebetulnya temuan satwa di Sanggabuana mengingatkan terhadap laporan Bank Dunia tahun 2005 silam. Lembaga internasional itu mengungkapkan bahwa 80 persen satwa liar terancam punah berada di luar kawasan konservasi dataran rendah.
Meski begitu, sebetulnya Indonesia punya badan yang menaungi persoalan tersebut yakni Direktorat Bina Ekosistem Esensial KLHK. Direktorat ini mengurusi keragaman hayati diluar kawasan konservasi.
Perihal perubahan status Sanggabuana, Hendra punya pandangan berbeda. Ia berpendapat kawasan ekosistem esensial memungkinkan bisa diterima sebagai konsep pengelolaan sumber daya hayati dan ekosistem yang bisa lebih efektif diterima pemerintah, swasta, dan masyarakat setempat.
“Penerapan kawasan ini mementingkan kehati (keanekaragaman hayati) sekaligus mengizinkan pemanfaatan sumber daya alam yang memperhatikan pelestarian, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan ekosistem lestari,” kata Hendra.
Peralihan pengelolaan justru akan sulit terlaksana bila melihat minimnya partisipasi aktif dari pemerintah daerah. Apalagi Sanggabuana secara administrasi dikelola lebih dari satu kepala daerah.
Pertimbangan lainnya adalah KLHK sudah punya 57 taman nasional yang pengelolaannya di pusat. Belum lagi proses birokrasi yang tidak mudah dan relatif lama.
Perlu dipertimbangkan juga adalah sikap Perum Perhutani yang belum tentu mau dan setuju tentang ide seperti yang diusulkan itu. Tentu saja pertimbangannya adalah faktor ekonomi. Kecuali, kawasan itu tak begitu menguntungkan dari aspek bisnis, mungkin Perhutani sukarela melepaskannya.
“Adapun dalam regulasi, Perhutani punya skema untuk melindungi hutan yaitu bisa dijadikan hutan lindung atau hutan produksi terbatas. Dalam kontek macan tutul, misalnya, skema itu memungkinkan juga diterapkan,” jelas Hendra. “Itu sangat membantu nantinya dalam sertifikat kayu dan punya nilai plus bila jual di pasar dunia.”
baca juga : Pertaruhan Nasib Macan Tutul Jawa dengan Manusia
Kendati kawasan konservasi esensial merupakan opsi paling masuk akal bagi Hendra. Namun, peralihan status menjadi taman nasional bisa saja terwujud. Asal, ada keterpaduan kepentingan semua pihak.
Yang terpenting, Hendra menambahkan, tiap pemerintah daerah diharapkan punya profil induk pengelolaan keanekaragaman hayati. Tujuannya, mengintegrasikan peta area penyelamatan ekosistem dalam aturan.
Mengingat, kegiatan konservasi sumber daya alam di Indonesia saat ini hanya terkonsentrasi pada kegiatan preservasi, dan belum mencakup pengelolaan sumber daya itu sendiri. Sementara dalam pelaksanaannya, kegiatan itu masih memandang faktor manusia sebagai faktor perusak.
“Kawasan berstatus konservasi setingkat cagar alam maupun suaka margasatwa potensi kerusakannya cukup memprihatinkan,” terang Hendra.
Berdasarkan hasil observasi Mongabay-Indonesia, Cagar Alam Sancang Kabupaten Garut mengalami degradasi cukup parah. Dimana sirkulasi manusia begitu masif. Puncaknya, banteng jawa (Bos Javanicus) punah di habitatnya itu.
Dampak dan Perubahan
Begitu juga di Suaka Margasatwa Gunung Sawal Kabupaten Ciamis, Jabar, konflik manusia dan macan jawa seolah tak berujung. Dikutip dari laman Gudang Ilmiah IPB University, tercatat selama juni 2018 hingga Maret 2020 terjadi 10 kasus konflik. Mongabay-Indonesia juga sempat menulusuri beberapa lembaga konservasi yang menjadi tempat titip rawat macan tutul. Hasilnya kebanyakan satwa tak pernah kembali ke habitat alaminya. Malahan nasibnya berakhir di lembaga konservasi.
perlu dibaca : Ironi Kematian Macan Tutul Jawa di Kampung Sudajaya
Sebelumnya, Ornitolog Universitas Padjadjaran, Johan Iskandar, menegaskan bahwa hutan adalah sebuah tempat penting. Barangkali tak banyak orang tahu rusaknya hutan ditambah perubahan iklim berdampak terhadap migrasi burung yang melewati wilayah Jawa Barat.
Maraknya pestisida, membuat banyak burung pemangsa, seperti elang jawa, mengalami cacat karena memakan burung yang terkontaminasi zat kimia. Padahal burung adalah indikator kualitas lingkungan sekaligus penentu musim yang berguna bagi manusia.
Johan bilang sangat menyedihkan ketika banyak burung yang bermigrasi berpengaruh terhadap aktivitas manusia. Kapinis atau layang-layang asia (Hirundo rustica), misalnya, bisa menjadi penentu musim tanam. Ada burung kakanghot (Cuculus micropotus) penentu awal tanam sawah dan ladang serta burung terik laut (Charandus mongols) penentu awal yang bagi nelayan baik mencari ikan.
Ekosistem
Sesungguhnya relasi antara makhluk sedemikian kompleks, saling terhubung dan ketergantungannya dengan amat dinamis. Agaknya, banyak orang tahu tentang apa itu keanekaragaman hayati. Tetapi sebenarnya, kebanyakan orang tak pernah tahu atau barangkali tak ingin mengerti akan apa hakikat keanekaragaman hayati. Padahal ekosistem ada agar kehidupan semua makhluk hidup menjadi mungkin.
Tanpa disadari, pertumbuhan penduduk telah memberikan tekanan demikian berat pada keanekaragaman hayati. Menurut Lembaga Konservasi Dunia, IUCN, lebih dari 300 juta orang hidup di kawasan hutan. Sehingga tekanan terhadap hutan menjadi sedemikian besar ketika fungsi hutan direduksi menjadi fungsi jangka pendek. Padahal, hutan yang lestari jauh lebih besar dan lebih luas manfaatnya.
Sialnya, ketika pembangunan terus berlangsung pesat, ekosistem beserta keanekaragaman hayatinya justru terus bergerak ke arah krisis. Ancaman datang dari degradasi lahan dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan. Itu merupakan produk dari aktivitas manusia.
baca juga : Macan Tutul Jawa, Sang “Penjaga” Hutan yang Semakin Terdesak Hidupnya
Fungsi suatu ekosistem juga seolah dilupakan. Ekosistem berfungsi menyediakan oksigen, air, tempat berlindung dari bencana serta menjaga kestabilan iklim.
Secara budaya juga demikian. Ekosistem merupakan tempat untuk melakukan aktivitas spiritual bagi penduduk asli atau lokal. Seperti Sanggabuana yang dipercaya oleh masyarakat Sunda sebagai patilasan Prabu Siliwangi yang kesohor dengan laku lampah yang berbudi dan penuh kasih. Nyatanya, tak cukup kuat menahan sifat keserakahan.
Di ujung telepon, Hendra mengingatkan bahwa ekosistem ibarat tempat menopang hidup manusia. Namun, semua fungsi ekosistem itu telah tergusur. Agaknya, kerusakan hutan dan kepunahan satwa adalah tentang etika dan moral manusia masa kini.