Mongabay.co.id

Air Mata Bengawan Solo

Selain untuk mencuci kain tenun, sungai Bengawan Solo di Desa Parengan, Kecamatan Maduran, Kabupaten Lamongan, Jatim digunakan warga untuk menangkap ikan. Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

 

“Bengawan Solo…Riwayatmu ini…Sedari dulu…Jadi perhatian insani…Musim kemarau…Tak seberapa airmu…Di musim hujan…Air meluap sampai jauh…”

Begitu alunan lagu Bengawan Solo, karya Gesang. Terdengar mengalun.

Mendengarkan kembali lagu Bengawan Solo, sama dengan membuka lembaran buku sejarah. Walau kini bisa jadi amat berbeda.

Bengawan berarti sungai besar. Sementara Solo, merujuk pada Desa Sala atau sekarang dikenal dengan Kota Solo. Bengawan Solo berarti sungai besar yang jadi entitas Kota Solo.

Pada masa pendudukan Belanda tahun 1940, Gesang muda bersantai di tepian Bengawan Solo menyaksikan betapa besar sungai ini.

Sungai dengan air begitu jernih. Ikan-ikan meloncat riang. Sungai ini juga tempat warga Solo mandi atau sekadar melepas penat dengan memancing ataupun bermain air.

Solo, tempat saya tinggal sedari kecil, kini menyisakan pertanyaan mengenai aspek penghargaan terhadap air. Termasuk, pertanyaan soal air jernih kebanggaan Kota Solo, yang kini hilang.

Di rumah-rumah warga, air disuplai langsung dari Sungai Bengawan Solo. Terhitung sejak 2018, keran-keran kami mengucurkan air berwarna cokelat tak berbau. Kami menyebutnya air teh. Bila hujan turun deras, air berubah jadi seperti kopi beserta ampasnya.

Sehari-hari, kami gunakan air Bengawan Solo untuk mandi, mencuci atau berwudhu. Boleh dibilang, sensasi mandi dengan air tercemar rasanya seperti sedang lulur dengan serbuk kerikil jalanan. Pakaian pun bernasib tak jauh berbeda. Makin lama, pakaian putih kian menguning.

Beragam kerisauan berkecamuk.

Sewaktu kecil, saya pernah menonton televisi yang menayangkan perjalanan puluhan kilometer para perempuan dan anak-anak kecil di Afrika untuk mendapatkan akses ke air bersih. Saya pikir, peristiwa ini hanya terjadi di negara miskin dan bergurun seperti Afrika. Anggapan itu keliru. Di negeri yang dijuluki negara maritim saja, air bersih harus membeli.

Berbagai kepeluan masih gunakan air Bengawan Solo, tetapi untuk minum maupun keperluan memasak warga bergantung pada air galon. Setiap tiga hari sekali, rumah kami membeli satu galon Rp20.000. Bila keuangan sedang menipis, ganti air isi ulang Rp5.000.

Bisa bayangkan bagaimana nasib keluarga dengan ekonomi tak mampu. Warga harus membayar mahal atas sebuah kebutuhan dasar yang sejatinya tersedia gratis oleh alam.

 

Tanah ambles di bantaran Sungai Bengawan Solo. Petugas setempat mengatakan, selama musim kemarau tahun 2020 sudah ada delapan titik longsor. Foto: Falahi Mubarok/ Mongabay Indonesia

 

Penyebab dan peta pencemaran

Sebetulnya pencemaran air di Bengawan Solo sudah berlangsung sejak lama. Makin hari makin parah. Pada 2019, Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWSBS) melaporkan, 27% Bengawan Solo mengalami pencemaran berat. Sisanya, masuk pencemaran ringan hingga sedang.

Satu sumber pencemaran Bengawan Solo diduga dari limbah alkohol (ciu) di Sukoharjo.

Sukoharjo, merupakan daerah sekitar Soloraya yang jadi sentra pembuatan alkohol dengan industri sampai 200 unit. Karena tak miliki instalasi pengolahan limbah, usaha alkohol ini membuang limbah ke saluran irigasi sawah yang bermuara ke Bengawan Solo.

Limbah berwarna hitam pekat dan berbau alkohol inilah yang diduga antara lain menyebabkan mabuk dan matinya ikan secara massal di Bengawan Solo pada Oktober 2019.

Fenomena ini bahkan membuat ikan sapu-sapu yang tergolong paling kuat menahan limbah juga ikut mati. Kondisi ini memicu penghentian aliran air selama beberapa hari ke 16.000 pelanggan PDAM yang tersebar di Semanggi, Jebres, dan Jurug.

Mirisnya lagi, kehadiran kampung batik dan pabrik tekstil juga meramaikan perubahan warna air di Bengawan Solo. Pada petang hari, biasa warga bantaran sungai menjumpai warna pelangi dan bau busuk di Bengawan Solo.

Informasi minim dan muncul pipa siluman pada pabrik-pabrik besar menyebabkan 12.000 pelanggan PDAM di Blora, Jawa Tengah, juga terdampak pencemaran.

Selain limbah industri, Bengawan Solo juga tercemar karena ada kepercayaan mitos suleten. Suleten adalah mitos di tanah Jawa yang meyakini semua pakaian bayi akan menyatu dengan jiwanya. Mereka yang mengamini mitos ini percaya, kulit bayi akan gatal dan terbakar manakala sampah popok dibuang dan dibakar di tempat pembuangan akhir. Alhasil, mereka menghanyutkan sampah popok ke sungai.

Letak Bengawan Solo, yang melintasi 15 kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur, menjadi sasaran empuk bagi suleten. Dalam satu temuan awal 2020, misal, Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton) mendapati 1/500-an popok dibuang begitu saja dari atas Jembatan Gawan, Sragen, Jawa Tengah.

Potret ini juga nampak sampai aliran Bengawan Solo yang terletak di Bojonegoro, Jawa Timur.

Sampah popok bukanlah hal sepele. Komposisi yang terdiri dari plastik (50%) dan super absorbent polymer atau SAP (42%) menjadikan sangat berbahaya bagi kualitas dan ekosistem air di Bengawan Solo. Terutama SAP, ia merupakan polutan yang apabila terkena air akan berubah bentuk jadi gel. Gel ini akan mempengaruhi hormon ikan, menjadikan interseks (berkelamin ganda), dan mengancam kepunahan ikan-ikan di Bengawan Solo.

Akumulasi pencemaran Bengawan Solo, kian diperparah kemunculan masalah klasik yakni sampah plastik. Dari atas jembatan, warga merasa bebas melempar beragam kemasan plastik seperti. Plastik-plastik itu terbawa sampai jauh, akhirnya ke laut.

Laut Jawa, menjadi titik perhentian sampah plastik Bengawan Solo ini. Tumpukan plastik ini lambat laun akan tergerus jadi mikroplastik (partikel berukuran 0,33-5 mm).

Tim riset Ecoton pada Januari 2021, menemukan fakta ada distribusi merata kandungan mikroplastik di hulu hingga hilir Bengawan Solo. Tertinggi, bagian hilir sebesar 115-179 partikel per 100 liter.

Mikroplastik ini sangat berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Mikroplastik dapat mengganggu pembuahan biota air maupun memperlambat bakteri pengurai limbah dalam menjalankan tugas. Bila ia termakan ikan atau hewan perairan lain- dapat mengikat logam berat berbahaya di sekitar dan meracuni manusia yang menyantapnya.

Jejak pencemaran Bengawan Solo, turut pula dihantui beragam penyakit kulit dan musibah. Warga bantaran sungai atau yang berkulit sensitif menderita gatal-gatal hingga yang terparah, kulit mereka melepuh.

Ketika musim penghujan, air di Bengawan Solo meluber dan menyasar ke rumah-rumah warga.

 

Sungai Bengawan Solo pada musim kemarau. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Solusi hulu hilir

Menengok fakta pencemaran air di di Bengawan Solo, kita seperti menelantarkan esensi air sebagai sumber kehidupan. Air untuk minum, habitat biota air ataupun solusi higienitas di kala pandemi korona sekalipun. Kini, tak ada cara lain untuk menyelamatkan air sungai selain mengupayakan solusi lintas sektor yang disebut solusi hulu-hilir.

Pertama, restorasi sungai dengan nano bubble. Nano bubble ialah alat yang memanfaatkan gelembung oksigen berukuran nanometer untuk mengurangi senyawa polutan berbahaya di dalam air limbah agar jadi lebih aman dan tidak mencemari sungai.

Gelembung oksigen yang sifatnya stabil ini akan meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam air hingga memudahkan penguraian bakteri penyebab bau maupun membunuh bakteri patogen.

Karena bersifat ramah lingkungan, teknologi ini dapat diterapkan di sepanjang aliran Sungai Bengawan Solo. 

Kedua, mendorong kebijakan pemerintah yang agresif. Kebijakan agresif pemerintah daerah dan pusat memainkan andil utama dalam upaya pemulihan air Sungai Bengawan Solo. Beberapa dapat diterapkan antara lain, menghentikan sementara atau permanen industri yang mencemari sungai, membatasi penggunaan plastik sekali pakai, memberi denda warga yang mengotori sungai, dan menerapkan tarif cukai industri atau produsen plastik.

Kebijakan-kebijakan ini perlu diiringi usaha pemerintah dalam menyediakan tong-tong sampah di sekitar sungai, menaruh drop box khusus pembuangan popok, memasang, dan melakukakan pengawasan CCTV di sejumlah titik bantaran Bengawan Solo.

Ketiga, melibatkan tokoh masyarakat. Penanggulangan pencemaran berdasarkan mitos perlu melibatkan tokoh masyarakat, budayawan, dan tokoh agama. Karena sifatnya turun temurun dan tak ada bukti kebenaran, maka perlu pendekatan sugestif oleh tokoh yang dirasa dekat atau dipercaya masyarakat guna mengikis budaya itu. Dengan begitu, perlahan masyarakat bisa meninggalkan mitos keliru itu.

Keempat, mengajarkan ekofilia di sekolah-sekolah. Ekofilia adalah konsep tentang kepedulian, kedekatan dan koeksistensi positif antara manusia dan alam dengan basis ilmu psikologi. Seperti pepatah ‘tak kenal maka tak sayang’, pengajaran ekofilia di sekolah-sekolah akan membantu pengenalan esensi sungai dalam kehidupan maupun membangun etika terhadap sungai sejak dini.

Penerapan ekofilia di dalam pendidikan adalah aset bagi keberlangsungan hidup sungai masa mendatang.

Sejauh ini, ada banyak hal dapat kita pelajari dan tindak lanjuti dari pencemaran air di Bengawan Solo. Lewat lagu Bemgawan Solo,  kita diajak memikirkan kembali penghargaan pada air. Betapa kita harus mulai bergotong-royong membangun ekosistem sungai kebanggaan warga Solo ini. Agar ke depan, anak cucu tahu kalau lagu Bengawan Solo, bukanlah sekadar nyanyian.

 

*Penulis:  Hayunda Lail Zahara, adalah  relawan dari World CleanUp Day. Tulisan ini adalah Juara III kompetisi esai “Menghargai Air” Unesco Jakarta 2021. Tulisan ini adalah opini penulis.

 

 

Referensi:

[1]: Isnanto, Bayu Ardi. 2019. 27 Persen Aliran Bengawan Solo Tercemar Berat. https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-4705725/27-persen-aliran-bengawan-solo-tercemar-berat

[2]: Rachmawati. 2019. Bengawan Solo Tercemar Ciu, Diklaim Ada 200 Unit Industri Kecil Alkohol di Sepanjang Sungai. https://regional.kompas.com/read/2019/11/09/07070091/bengawan-solo-tercemar-ciu-diklaim-ada-200-unit-industri-kecil-alkohol-di?page=all

[3]: Nugroho, Puthut Dwi Putranto. 2019. Limbah Ciu, Tekstil, hingga Kotoran Babi Cemari Bengawan Solo, Air Jadi Hitam Pekat. https://regional.kompas.com/read/2019/11/27/19594311/limbah-ciu-tekstil-hingga-kotoran-babi-cemari-bengawan-solo-air-jadi-hitam?page=all

[4]: Hidayat, Reja. 2020. Pencemaran Bengawan Solo: Limbah Alhokol, Popok, Ayam, Babi… https://tirto.id/pencemaran-bengawan-solo-limbah-alhokol-popok-ayam-babi-flaK

[5]: Mahdi, Dedi. 2020. Sungai Bengawan Solo Dipenuhi Sampah Popok, Warga Mengeluh Bau. https://news.okezone.com/read/2020/07/06/512/2241707/sungai-bengawan-solo-dipenuhi-sampah-popok-warga-mengeluh-bau

[6] Ihram. 2021. Mikroplastik Bengawan Solo Mengalir Sampai Jauh. https://ihram.co.id/berita/qoaqkz385/mikroplastik-bengawan-solo-mengalir-sampai-jauh

[7]: Kim, Mi-Sug., Kim, Chung-Il., Han, Mooyoung., Lee, Jae-Wook and Kwak, Dong-Heui. 2020. Effect of Nanobubbles for Improvement of Water Quality in Freshwater: Flotation Model Simulation. Separation and Purification Technology, 241: 11.

*****

Foto utama: Warga tangkap ikan di Sungai Bengawan Solo . Foto: Falahi Mubarok/Mongabay Indonesia

Exit mobile version