Mongabay.co.id

Gundah Petani Ubi Nagara, Tanaman Banyak Mati, Hasil Panen Turun

 

 

 

 

Nagara merupakan lumbung beragam jenis ubi jalar di Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Ubi di Naraga ini, tumbuh di rawa lebak. Tahun ini, petani Nagara kebingunan karena tanaman ubi banyak mati dan hasil panen pun turun. Hingga kini, mereka belum tahu penyebabnya.

Bakri, petani Nagara menyiapkan jukung (sampan) bermesin cis punya ke kebun di Nagara, hari itu. Dari rumahnya di Desa Baruh Jaya, Daha Selatan, HSS, berjarak sekitar 12 km menuju Nagara.

Sehari-hari, dia biasa bermalam di kebun, bahkan sepekan Bakri hanya pulang sekali ke rumah. Dengan jukung, pulang-pergi perlu tiga liter bahan bakar. Demi hemat biaya, dia pun bermalam di pondok berukuran 3×4 di kebun.

Bakri kini Ketua DPC Serikat Petani Indonesia (SPI) Kabupaten HSS. Dia cerita, sejak kecil sudah jadi petani Nagara, dari kebun turun temurun yang dia rawat bersama keluarga.

“Di lahan 1,5 hektar, saya menanami ubi dengan beragam varietas” kata Bakri, 21 September lalu.

Sebagian besar warga Baruh Jaya, petani. Mereka ada petani ubi, semangka dan kacang-kacangan. “Kalau ubi jadi komoditas kedua setelah semangka.”

Dalam sekali tanam ubi, kata Bakri, satu batang ukuran paling besar hasilkan dua kilogram umbi. Dia tanam ada jenis ubi kentang, ubi wartel, ubi ungu, gumbili ubi, lalu, ubi madu dan ubi madu kristal.

“Sebenarnya, banyak lagi sebutan atau bahasa urang Nagara sini yang menamai ubi-ubi itu. Ada sebutan ubi bawang dan ubi obat.”

Bakri tanam ubi sejak Juli. Selama 3,5 bulan, baru usia siap panen. “Biasa usia ubi 3-5 bulan. Kalau lebih dari itu, bisa retak bagian tubuh ub. Harga bisa jatuh,” kata bapak dua anak itu.

Saat tanam, dia membagi 200-250 batang sakartas, non biji. “Itu tanpa biji, sakartas segitu. Kalau yang berbiji biasa corak loreng dan kuning isi dalamnya.”

Bakri bilang, ubi tanaman bernutrisi tinggi. Di Nagara, ubi hidangan wajib para tamu, bahkan cemilan di tengah rutinitas petani.

 

Petani Nagara, mau panen ubi jalar yang ditanam di rawa lebak. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

 

Panen anjlok?

Hasil panen ubi petani Nagara, berkurang drastis tahun ini. Petani tak tahu apa penyebabnya. Bakri bingung pertumbuhan ubi menurun, biasa panen dapat 10 ton, kini, separuhnya pun tidak.

“Dari 100 petani, paling 5-10 petani yang berhasil memanen dengan jumlah banyak. Sebagian kacuk (mati), kami bingung dengan hasil panen tahun ini,” katanya.

Dia bilang, ini fenomena tak biasa bagi petani Nagara. Bakri melihat ada kejanggalan di lahan mereka, semacam ada perubahan air tetapi dia belum jelas pastinya.

Maslan, petani asal Desa Samuda punya lima hektar ladang ubi juga alami serupa. Hasil panen anjlok.

“Biasanya sebatang ubi tiga kilogram dengan ukuran besar, sekarang jauh, hasil bisa tidak seberapa,” katanya.

Soal harga ubi pun sedang turun. Biasa harga Rp5.500 per kg, kini berkisar Rp2.600. Harga ini, petani jual ke tengkulak.

“Sekarang cuma dapat memanen ubi hanya empat kabat (ikat) atau 800 pohon. Cuma segabang aja hasilnya. Dulu, bisa panen 10 ton ubi, kini cuma dua ton saja,” kata pria kelahiran 1957 itu.

Maslan sempat berpikir ingin mencari lahan baru yang subur agar dapat ditanami dengan baik. Dari temuan awal bersama penyuluh pertanian, kadar pH (potensial of hydrogen) atau kadar keasaman air di lahan gambut hanya 4,5-5.

“Artinya tidak normal, sebaiknya kadar pH tanah mencapai enam ke atas.”

Menurut Maslan, ciri-ciri kerusakan pada tumbuhan ubi, terlihat dari segi tekstur pembengkakan pada bagian batang.

“Banyak tanaman ubi kacuk (mati), terlihat kalau sisi batang itu bengkak,” katanya.

 

Salah satu jenis ubi jalar yang ditanam di rawa lebak Nagara. Foto: M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

 

Tak pelak, pemasukan Maslan pun turun drastis.

Tak hanya ubi yang alami penurunan panen. Tanaman lain di bentang kebun sama pun alami hal serupa.

“Seperti kacang-kacangan yang kutanam delapan kilogram bibit, cuma tiga pikul hasilnya. Sebagian kacang lain tidak dapat terselamatkan, amblas semua.”

Dia pernah raup pemasukan lebih Rp20 juta dalam sekali panen. Sekarang, di bawah 10 Juta.

 

***

Sekitar tahun 1950-an, kata Maslan, ubi Nagara itu jenis gumbili palawan. Jenis ini nyaris tak ada lagi. Bentuk ubi lebih besar, per batang bisa hasilkan enam kilogram.

Dulu, dia biasa melihat orangtua menaruh hasil panen ke Kindai, merupakan wadah penampungan hasil tanaman buah maupun sayuran warga.

“Petani dulu menyimpankan ke Kindai setelah panen, sebanyak apapun hasil lahan yang digarap dapat menampung.”

Orang-orang dahulu di Nagara belum pakai jukung bermesin. Mereka mengayuh, menderek jukung sampai ke perkebunan di Hapau (hutan). Maslan bilang, jarak menuju hapau di Nagara, puluhan kilometer dari kediaman mereka.

“Gumbili palawan itu disungkal atau dibongkah bisa dengan usia enam bulan. Sekarang sudah tidak ada lagi jenis ubi itu.”

Data dari BPTB Balitbangtan Kalimantan Selatan, menyebutkan, ubi Nagara merupakan tanaman menjalar yang sangat adaptif tumbuh di lahan rawa lebak dengan warna daun hijau berbentu segitiga dan berbentuk menjari.

Ubi Nagara tidak hanya mengandung pati (19,79%), juga vitamin C (13,3%), protein (1,42%), dan serat kasar (0,94%). Kandungan gula uni Nagara juga cukup tinggi, mencapai 20,03 0Brix.

BPTB Balitbangtan Kalsel membagi beberapa varietas ubi, antara lain, kyai lama, kyai baru dan maliku. Kedua varietas yang banyak ditanam kyai lama dan kyai baru, maliku jarang karena masa panen sekitar enam bulan.

“Potensi ubi Nagara mencapai 44-45 ton perha, namun di tingkat petani rata-rata baru 10-11 ton perhektar.”

Petani menuju kebun ubi jalan dan tanaman lain di Nagara, dengan menggunakan perahu tanpa mesin. Foto: M Rahin Arza/ Mongabay Indonesia

 

*****

Foto utama:  Petani usai panen, jual ubi jalar ke pengepul. M Rahim Arza/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version