Mongabay.co.id

Konflik Lahan Pemuteran: Dari Tanah Sengketa Berharap Damara [2]

 

Istilah Damara beberapa kali terdengar saat sejumlah warga berkumpul. Desa Maju Reforma Agraria (Damara) adalah istilah yang dibuat Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Demikian juga wacana yang berkembang di warga Desa Sedang Pasir, Pemuteran, Buleleng, Bali yang puluhan tahun menghadapi sengketa agraria dan kini bersiap menerima distribusi lahan ini.

Regulasi untuk memastikan distribusi lahan tidak produktif pada petani sudah bergaung zaman Presiden Sukarno. Namun, rezim pemerintahan berganti, membuat ketidakpastian.

Sejak tahun 1994, KPA mendengungkan reforma agraria sejati. Reforma agraria ini dilakukan dengan mendistribusikan tanah untuk petani penggarap yang ingin mencapai pembangunan pedesaan berkelanjutan.

Proses menuju Damara ini dimulai pemetaan sosial-ekonomi-budaya, pemetaan wilayah, merancang rencana tata guna lahan/desa, tata produksi hingga konsumsi lokal, serta mendorong beragam inisiatif lokal dari bawah secara kolektif.

Dikutip dari Catatan Akhir Tahun KPA, konflik tanah di tengah pandemi tak berhenti. Dewi Kartika, Sekjen KPA menyebut, sepanjang 2020 sedikitnya telah terjadi 241 letusan konflik agraria akibat praktik-praktik perampasan tanah dan penggusuran. Konflik tersebut tersebar di 359 kampung/desa, melibatkan 135.337 KK di atas tanah seluas 624.272,711 hektar.

Letusan-letusan konflik tersebut terjadi di semua sektor. Sektor perkebunan menjadi penyebab letusan konflik agraria tertinggi sebanyak 122 letusan konflik, kedua sektor kehutanan (41), disusul pembangunan infrastruktur (30), bisnis properti (20), pertambangan (12), gasilitas militer (11), pesisir dan pulau-pulau kecil (3) dan agribisnis (2).

Konflik agraria di sektor perkebunan tercatat naik sebanyak 28%, dari 87 letusan konflik pada tahun 2019 menjadi 122 kasus pada 2020. Sedangkan, sektor kehutanan mencatat kenaikan hingga 100%, dari 20 letusan konflik pada 2019 menjadi 41 kasus pada 2020. Secara angka total, konflik agraria dapat disebut menurun. Namun, penurunan tersebut tidak siginfikan hanya 14%, tidak sebanding dengan minusnya pertumbuhan ekonomi yang penurunannya mencapai 200%.

baca : Konflik Lahan Pemuteran: Resolusi Damai dengan Wana Tani [1]

 

Sekretariat SPSM Desa Sendang Pasir,Gerokgak, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Roberto Hutabarat yang mendampingi warga di Desa Sendang Pasir, Pemuteran, Buleleng, Bali, menyebut banyak krisis agraria di Bali namun ditutupi. Terlebih jika konflik terjadi dengan latar belakang industri pariwisata.

Rasik, salah satu tokoh Serikat Petani Suka Makmur (SPSM), kelompok petani yang mengusahakan hak atas tanah telantar di Sendang Pasir ini mengatakan ia generasi kedua yang mengalami konflik ini.

Pria tengah baya ini mengingat, orangtuanya sudah memulai menanam bahan pangan untuk melawan perusahaan yang memiliki HGU yang hanya memperbolehkan budidaya komoditas yang dinilai bernilai ekonomi yakni kapas dan kelapa. “Tahun 80-an ada busung lapar. Warga dilarang tanam yang lain, mau makan apa?” herannya.

Warga pun mulai tanam pangan yang dibutuhkan sehari-hari seperti jagung, ubi, cabai, dan pisang. Padi tak bisa ditanam karena area ini tidak memiliki saluran irigasi dan sumber air permukaan. Warga tergantung pada air bawah tanah dengan membuat sumur.

Beberapa tahun ini, warga berusaha menanam sorgum, bahan pangan alternatif beras yang sudah punah. Dari ingatannya, sorgum menghilang tahun 1990-an, dampak arus transmigrasi warga ke luar Bali pada tahun 1970-an. Sorgum dinilai lebih tepat karena tahan panas dan tak perlu banyak air.

Revolusi Hijau juga mempermulus punahnya sorgum di Bali. Warga didorong konsumsi beras. Identitas pangan yang adaptif iklim pun berubah.

Rasik mengatakan, dari pengalaman kelompok SPSM, sekali tanam, sorgum dipanen 3 kali. Tapi belum bisa diolah massal.

Ia yakin anah konflik ini pasti diredistribusi (redis) Pemprov. Dari luasnya sekitar 240 ha, sekitar 660 KK menunggu pemberian sertifikat tiba. Peristiwa itu akan menjadi klimaks dari perlawanan warga dan drama penangkapan dan pemenjaraan. Salah satunya, Rasik sendiri.

baca juga :Sentra Daun Pisang di Pusaran Konflik Agraria [2]

 

Rasik di kebun cabai Desa Sendang Pasir, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Petani lain adalah Nyoman Tindu, juga pernah ditangkap. Ia menanam dan bangun rumah di lahan HGU. Pria lanjut usia ini berharap lahan-lahan yang akan diredistribusi tidak dijual tapi digarap untuk lahan pertanian.

Sepanjang mata memandang, tanaman yang paling banyak terlihat di desa ini adalah cabai dan jagung. Lainnya pisang dan ketela. Ternak sapi juga telihat di setiap kebun.

Tantangan lain menurut Rasik dan petani lain adalah memberikan penyadaran generasi muda untuk mengelola lahan garapan. Karena desa berdampingan dengan kawasan pariwisata, alih fungsi lahan bisa saja terjadi.

Saat ini Kepala Desa sudah membuat SK tim penyelesaian sengketa lahan ex HGU PT Margarana di Desa Pemuteran, namanya Tim 13. Kisah panjang tanah sengketa ini termuat dalam dokumen Putusan Pengadilan Negeri Singaraja, Pemerintah Provinsi Bali memenangkan gugatan dan dinyatakan sebagai pemilik tanah seluas 2.469.000 m2 di Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng pada peradilan tingkat pertama sesuai putusan Pengadilan Negeri Singaraja pada Mei 2012. Namun, kasus ini bergulir lama di pengadilan sampai tingkat kasasi pada 2018. Tergugat adalah PT Margarana yang mengelola HGU atas tanah selama 25 tahun.

Warga yang mengolah tanah dan mendiami area tanah sengketa ini sejak zaman Belanda pun mengajukan jadi objek reforma agraria agar petani memiliki hak atas lahan. Tak heran, selama puluhan tahun, perlawanan untuk mendapat akses tanah masih diperjuangkan.

Dirangkum dalam dokumen putusan PN Singaraja tersebut, tanah ini pada zaman pendudukan Belanda tercatat sebagai persil Hal Erpacht No.18 atas nama Henry Nicholas Boon berdasarkan Gouverment Besluit tanggal 25 November 1915 dan tanggal 13 September 1916 No.5.

Setelah proklamasi kemerdekaan RI, tanah dibeli Pemprov Bali seharga Rp200.000 dari ahli waris Henri yang bernama HCO Zimmermann. Kemudian dicatatkan di kantor Kadastral Singaraja pada 21 Desember 1948, kemudian dikenal dengan nama tanah persil Sendang 1 dan II.

baca juga : Konflik Agraria di Bali Utara : Tuntutan Warga Eks Transmigran Timtim [Bagian 4]

 

Aneka poster di areal kebun kolektif pada peringatan Hari Tani Nasional 2021 di Desa Sedang Pasir, Buleleng, Bali. Foto : Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pemda Bali menyerahkan pengelolaan tanah itu pada Yayasan Kebaktian Pejuang (YKP) untuk membantu mereka. Bukan hak atas tanah. Untuk mengelola tanah, YKP membentuk badan usaha dengan nama NV. Margarana yang sekarang jadi PT. Margarana. Perusahaan ini mengajukan HGU di Jakarta dan keputusannya keluar pada 1980. Sertifikat HGU ini berakhir pada 2005.

Pemda Bali mendaftarkan ulang hak atas tanah ini di Singaraja pada 10 Juli 1967. Sesuai UU No.5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, HGU terhapus jika jangka waktu berakhir dan wajib mengembalikan ke negara.

Karena itulah Pemprov Bali menggugat hak atas tanah yang dikelola PT Margarana ini dengan bersurat ke Kakanwil BPN Bali pada 2009 untuk memproses pengembaliannya.

Selain itu, Dewan Pimpinan Daerah Legium Veteran RI Provinsi Bali selaku pembina YKP mengembalikan pengelolaan lahan eks HGU ini pada 2010 secara resmi dengan bersurat ke Gubernur Bali karena sudah tidak memberikan hasil sesuai tujuan semula. Namun PT Margarana menyebut YKP tidak punya hak mengembalikan tanah eks HGU tersebut dan tetap ingin menguasai.

 

Exit mobile version