- Penolakan warga Trenggalek atas rencana pertambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara begitu kuat. Bupati Trenggalek, M. Nur Arifin bersama warga juga menolak tambang emas ini. Gus Ipin, membeberkan alasan penolakan tambang dari soal tak sesuai aturan, terancamnya hutan lindung, zona lindung karst, sumber air sampai kehidupan masyarakat.
- Izin usaha produksi (IUP) perusahaan tambang emas mencapai 12.891 hektar, sebanyak 6.951 hektar berada pada kawasan hutan produksi, 2.779 hektar hutan lindung dan kawasan lindung karst seluas 1.032 hektar.Sebagian konsesi di pedesaan seluas 804 hektar, tegalan dan ladang 380 hektar, perkebunan 280 hektar. Kemudian, 209 hektar rawan longsor dan hutan rakyat 170 hektar.
- Sempadan mata air pun terkena konsesi seluas 190 hektar. Permukiman perkotaan 43 hektar, sempadan sungai 33,4 hektar; sawah tadah hujan 27,27 hektar, sempadan embung 24 hektar, sungai 18,78 hektar dengan total mencapai 12.824 hektar.
- Rere Kristanto, Direktur Eksekutif Walhi Jatim mengatakan, Bupati Trenggalek berwenang menolak tambang emas karena khawatir akan dampak buruk terhadap lingkungan hidup dan masyarakat di daerahnya. Karena tanggung jawab pengelolaan dan perlindungan hidup merupakan kewenangan daerah.
Masyarakat Trenggalek, melalui Aliansi Rakyat Trenggalek menggelar diskusi belum lama ini untuk menegaskan kembali penolakan mereka atas rencana tambang emas di kabupaten yang berada di Jawa Timur itu. Bupati Trenggalek, M. Nur Arifin turut hadir dan siap pasang badan menolak tambang emas. Dia membeberkan bermacam alasan pertambangan emas PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) itu harus ditolak.
“Dari sisi regulasi, jelas sudah tidak masuk,” kata Gus Ipin, sapaan akrab sang bupati.. Regulasi di sini, katanya, Peraturan Daerah (Perda) Trenggalek Nomor 12/2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Pada 2019, izin produksi perusahaan keluar. Hasil tumpang susun izin usaha produksi (IUP) SMN, mencapai 12.891 hektar, sebanyak 6.951 hektar berada pada kawasan hutan produksi, 2.779 hektar hutan lindung dan kawasan lindung karst seluas 1.032 hektar.
Bukan itu saja. Sebagian wilayah konsesi berada di pemukiman pedesaan seluas 804 hektar, tegalan dan ladang 380 hektar, perkebunan 280 hektar. Kemudian, 209 hektar rawan longsor dan hutan rakyat 170 hektar.
Ada juga sempadan mata air seluas 190 hektar, permukiman perkotaan 43 hektar, sempadan sungai 33,4 hektar, sawah tadah hujan 27,27 hektar, sempadan embung 24 hektar, sungai 18,78 hektar dengan total mencapai 12.824 hektar.
“Artinya, kalau sudah ngomong tata ruang wilayah, sebenarnya ada pidana yang bisa dikenakan karena melanggar peruntukan. Karena kalau baca di KUPZ (ketentuan umum peraturan zonasi), disitu jelas tidak ada yang boleh untuk kawasan tambang. Boleh dimanfaatkan terbatas seperti untuk pendidikan,” katanya.
Dia tidak bisa membayangkan bila wilayah-wilayah yang memiliki fungsi lindung ini ditambang. Apalagi, merujuk dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) perusahaan, penambangan dengan cara open pit.
Bahkan, sekalipun skenario penambangan close pit, dia yakin lingkungan sekitar pasti terdampak. “Bayangkan ada kawasan lindung dan bentang karst lindung. Kalau itu digali, jaringan sumber-sumber mata air pasti mati.”
Risiko daya rusak itulah yang membuat dia bersikukuh menolak rencana penambangan SMN. Terlebih, merujuk hasil kajian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Kabupaten Trenggalek termasuk zona risiko tinggi bencana. Terutama, tsunami karena lokasi berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Baca juga: Bupati Trenggalek Siap Pasang Badan Tolak Tambang Emas
Batalkan izin, bupati berwenang lindungi daerahnya
Menyusul IUP produksi SMN, Pemkab Trenggalek telah berkirim surat ke KESDM di Jakarta. Pemerintah Trenggalek meminta, izin ditinjau ulang bahkan dibatalkan.
Ipin bilang, akan tetap mengawal agar SMN tidak berkegiatan di wilayahnya. Karena itu, selain meminta pembatalan izin, pemerintah kabupaten juga berencana menggelar audiensi dengan KESDM. Bahkan, kalau perlu, dia meminta warga tidak segan mengajukan gugatan warga (class action).
“Keadilan kita kejar sampai kemanapun. Selama biodversiti, vegetasi yang menjadi sumber oksigen masih ada, sumber pangan akan tetap ada. Tapi kalau itu ditambang, habis semua.”
Emil Elisitianto Dardak, Wakil Gubernur Jawa Timur, mendukung penolakan warga Trenggalek. “Posisi kami tidak pernah berubah dari awal sebelum jadi wakil gubernur sampai hari ini bahwa dukungan masyarakat adalah yang utama,” katanya melalui WhatsApp.
Rere Kristanto, Direktur Eksekutif Walhi Jatim mengapresiasi langkah bupati yang tegas menolak SMN. Kendati urusan pertambangan kini jadi kewenangan pemerintah pusat, namun, tanggung jawab pengelolaan dan perlindungan hidup merupakan kewenangan daerah.
UU Nomor 32/2019 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) memberi mandat kepada pemerintah daerah terhadap kelestarian lingkungan.
“Artinya, kalau ada hal-hal yang dianggap mengancam lingkungan, tidak sesuai tata ruang kabupaten, itu jadi hak daerah untuk meminta pembatalan,” kata Rere.
Dalam konteks tambang emas SMN, katanya, Pemkab Trenggalek berhak menegaskan sikap. Mengingat sebagian konsesi tambang, tepat berada pada zona lindung karst yang berfungsi lindung. Dengan kata lain, kerusakan kawasan lindung karst, akan mempengaruhi ekologi sekitar.
Begitu juga dengan hutan. Bila ada tambang, khawatir merusak kawasan hutan dan perbukitan, maka itu jadi kewenangan bupati untuk menolak. “Pemerintah daerah atau bupati berhak untuk menolak karena dia berwenang melindungi wilayahnya.”
Regulasi, katanya, memang mengatur ada perubahan atau alih status kawasan hutan. Celah ini biasa dilakukan pengusaha dengan mengajukan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Ia bisa ajukan ubah status fungsi kawasan hutan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Syarat pengajuan itu tak mudah. Selain memerlukan rekomendasi bupati, ada beberapa kriteria harus dipenuhi, seperti apakah perubahan status berdampak pada ekosistem setempat.
“Bagaimana kemiringan, ekosistem, kualitas lahan, kelerengan, kepekaan terhadap erosi, itu semua harus menjadi pertimbangan,” kata Rere.
Satu hal lagi yang mempekuat alasan penolakan tambang SMN adalah keberadaan cagar budaya tak jauh dari lokasi tapak. Padahal, berdasar Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 32/1990, tentang pengelolaan kawasan lindung, cagar budaya termasuk di dalamnya.
Menurut definisi kepres itu, kawasan lindung adalah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungai kelestarian lingkungan hidup mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, nilai sejarah, serta budaya bangsa guna kepentinagn pembangunan berkelanjutan.
Menurut Rere, ada beberapa risiko bila SMN terus menjalankan pertambangan. Dengan metode open pit, penambangan SMN akan mengubah vegetasi dan morfologi kawasan. Dampaknya, ekosistem pasti terganggu, seperti sumber air mati karena wilayah tangkapan air rusak.
Kabupaten Trenggalek, merupakan sedikit dari daerah di Jawa Timur yang sebagian besar wilayah berupa hutan, dan perbukitan. Bentang karst di Trenggalek juga berperan penting memberi daya dukung terhadap keberlangsungan hidup masyarakat.
Baca juga: Was-was Tambang Emas Rusak Trenggalek [1]

Bentang karst, katanya, memiliki keunikan tersendiri karena jenis batuan mudah larut. Hingga banyak menyimpan sungai-sungai bawah tanah. Bila bentang itu rusak, alur hidrologi dipastikan rusak.
“Sumber-sumber juga akan mati. Begitu juga kawasan hutan yang dibongkar, sumber-sumber yang di bawah akan bergantung pada vegetasi di atasnya.”
Penting juga jadi perhatian, katanya, lokasi tapak merupakan daerah tangkapan air yang jadi hulu bagi lima sub daerah aliran sungai). Yakni, sub DAS Brantas mengalir ke utara melalui kota, DAS Panggul, DAS Konang, DAS Nongko, dan DAS Ngemplak yang mengalir hingga ke Pantai Prigi. Dengan begitu, rencana pembukaan tambang emas SMN dipastikan berdampak luas.
Rere bilang, sistem ekologi itu tak berdiri sendiri atau terbatas pada wilayah administratif tertentu. Ia saling berkaitan antara hulu hingga hilir. Dia contohkan, bila penambangan di Karangrejo dan Ngadimulyo–dua desa yang masuk wilayah tapak—dampak tidak terbatas di kedua desa itu.
“Begitu kawasan hulu terbongkar, apalagi karst terpotong, sedimentasi pasti turun. Bagian bawah yang kena. Kalau terpotong, sumur-sumur mati. DAS di bawah pasti terpengaruh. Itu risiko penting yang harus diperhatikan dalam pemberian izin tambang.”
Dia bilang, ketika izin di pusat jadi problematis kala mereka tak paham daya dukung dan daya tampung sebuah wilayah.
Daya dukung, katanya, merupakan kemampuan sebuah wilayah atau kawasan memberi dukungan hidup wilayah itu, seperti air, udara dan energi atau pangan.
“Jadi, poin penting, wilayah itu bukan tempat kosong yang tidak ada manusianya. Kalau daya dukung itu hilang, sumber mati, lahan rusak, hutan dan perkebunan rusak, mau dikemanakan manusianya?” tanya Rere.
Baca juga: Menyoal Izin Tambang Emas di Trenggalek [2]

Picu konflik
Merah Johansyah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, mengatakan, penolakan bupati dan warga Trenggalek layak demi menghindari kerusakan lingkungan hidup lebih parah.
Selain Trenggalek, banyak komunitas di Indonesia tengah berjuang atas kelayakan lingkungan hidup. Hampir semua pertambangan, membuat sengsara warga sekitar hingga memicu banyak konflik.
Celakanya, tren konflik terus meningkat seiring pembukaan pertambangan di Indonesia. Catatan Jatam, selama 2014-2019, ada 71 konflik yang tercatat oleh Jatam.
Khusus 2020, terjadi 45 konflik. Tidak jarang, konflik terjadi bukan hanya melibatkan warga dengan perusahaan tambang tetapi antar warga, kerabat, bahkan keluarga.
“Rangkaian konflik ini disulut masuknya industri pertambangan yang makin banyak dan luas,” kata Merah.
Hingga kini, luas lahan terlibat konflik mencapai 714.692 hektar setara tiga kali luas Hong Kong.
Buntut konflik, katanya, disharmonisasi. Muncul saling gugat dan saling lapor berujung kriminalisasi.
Pertambangan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang sulit pulih kembali. Data Jatam, hingga tahun lalu, 3.092 lubang tambang dibiarkan menganga tanpa reklamasi. Sekitar 814 lubang tambang berada di Pulau Jawa.
Menurut Merah, pemerintah memiliki regulasi yang mengatur kewajiban reklamasi oleh perusahaan tambang. Kenyataan, laju reklamasi tak sebanding dengan izin tambang. Akhirnya, lubang-lubang itu tak ubahnya ranjau darat yang banyak memakan korban jiwa.
Sepanjang 2014-2019, setidaknya 144 nyawa melayang terperosok ke lubang bekas tambang. Khusus 2020, ada 24 korban. “Total terdata 168 orang meninggal sia-sia karena terperosok lubang bekas galian.”
Khusus tambang emas Trenggalek, Merah mendukung langkah warga dan pemerintah melakukan penolakan.
Penolakan itu berdasarkan pada upaya menjaga kelestarian dan keseimbangan ekosistem. Mengingat, Trenggalek yang secara topografi dan geologi, masuk dalam daerah rentan bencana.
“Hampir semua konsesi merupakan daerah tangakapan air. Ada total 1.267 sumber air akan terganggu. Kalau itu digantikan oleh lubang tambang, kehidupan manusia pasti akan susah,” kata Merah.
Baca juga: Daya Rusak Tambang Emas Kala Beroperasi di Kawasan Karst Trenggalek [3]

*****
Foto utama: Rencana penambangan emas oleg PT. SMN dikhawatirkan mengganggu ekosistem karst yang banyak bertebaran di Kabupaten Trenggalek. Tampak salah satu pegunungan karst di Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek. Foto: Widya Andriana