Mongabay.co.id

Kala Hakim Putus Bebas Pemilik Sawmill yang Terjerat Kasus Kehutanan di Riau

Setelah putusan hakim praperadilan membebaskan Wilman, truk dan kayu sitaan pun dikembalikan. Foto: Foto: dokumen Balai Penegakan Hukum Sumatera

 

 

 

 

Wilman, Direktur CV Basit Eshan Abadi (BEA), menghirup udara bebas, 23 September lalu. Dia sempat dikurung 40 hari di rumah tahanan Mapolda Riau, sebelum memenangkan praperadilan melawan Balai Pengamanan dan Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) Wilayah Sumatera Seksi II.

Wilman, berdomisili di Jalan Karya Mandiri, Kecamatan Bukit Raya, Pekanbaru ini punya bisnis pengolahan kayu di Desa Lipat Kain Selatan, Kecamatan Kampar Kiri, Kampar, sejak 2017.

Tommy Manik, hakim tunggal pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, menerima seluruh permohonan pemilik sawmill itu. Alasannya, penyidik terlambat menyerahkan surat pemberitahuan mulai penyidikan (SPDP). Sebagaimana hukum acara pidana, mestinya tidak lebih tujuh hari setelah surat perintah penyidikan keluar.

Sprindik terbit 1 Juli, SPDP keluar 5 Juli. Wilman baru mendapat salinan SPDP pada 13 Agustus, lewat kuasa hukum, Muskarbed Tujuh Delapan. SPDP yang dikirim penyidik dari Jambi pada 5 Juli, via Pos Indonesia, tidak sampai.

Hakim menyatakan, penetapan tersangka, penangkapan dan penahan jadi tidak sah dan cacat hukum.

Tommy mengatakan, dalam penetapan tersangka, semua prosedur hukum harus berdasarkan pada perlindungan dan penegakan hak asasi serta konstitusional, termasuk hak mendapatkan informasi secara fair.

Karena tidak dipatuhi Pasal 109 KUHAP pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No 130/PUU-XIII/2015, hak-hak Wilman terabaikan karena tidak dapat menyiapkan diri secara mental mengajukan keberatan sebelum penetapan tersangka.

“Memerintahkan pada termohon (penyidik) segera mengeluarkan pemohon (Wilman) dari rumah tahanan negara. Memulihkan hak-hak pemohon dalam harkat serta martabatnya. Membebankan biaya perkara kepada negara,” kata Tommy Manik, dikutip dari berkas putusan.

Semestinya, putusan pada Selasa namun hakim undur sehari untuk menyempurnakan materi putusan. Alasannya, isi putusan tidak boleh keliru karena akan langsung publis. Terlebih lagi, putusan praperadilan sifatnya berkekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lanjutan lagi.

 

Baca juga: Terjerat Kasus Pidana Kehutanan, Pemilik Sawmill Ajukan Praperadilan

Kayu sitaan karena tak sesuai dokumen dari sawmill Wilman, yang diamankan petugas. Foto: dokumen Balai Penegakan Hukum Sumatera

 

Membingungkan

Mongabay, kemudian mengunduh putusan itu dari Direktori Putusan Mahkamah Agung, Jumat 24 September. Ada yang membingungkan dari pertimbangan hukum hakim mengenai SPDP ini. Halaman 65, paragraf ketiga, hakim menyebut penerimaan SPDP oleh Wilman belum melewati tenggat waktu tujuh hari. Sementara pada halaman 67 juga paragraf ketiga, hakim justru menyatakan sebaliknya.

Irene Wismeri, Panitera Pengganti dalam perkara ini, menyarankan Mongabay melapor ke bagian informasi Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) terlebih dahulu untuk mendapatkan penjelasan.

Seorang perempuan yang bertugas di bagian itu, mengatakan, Tommy Manik memerintahkan agar menemui Hakim Estiono.

Estiono, berbelit saat beri penjelasan dan tidak konsisten dengan jawabannya. Semula, katanya, halaman 65, paragraf ketiga, bukan pertimbangan hukum hakim. Kalimat itu masih jalan atau nalar hakim untuk sampai pada putusan.

Dia juga katakan, pertimbangan hukum hakim bukan pendapat hakim. Padahal, pertimbangan hukum hakim mulai dari halaman 57. Kalau bukan pendapat hakim, lalu apa namanya? “Pertimbangan hukum,” jawab Estiono.

Kemudian kalimat pada halaman 65, paragraf ketiga, katanya, merupakan pendapat penyidik (termohon). Pada bagian itu, hakim tidak menyebut atau menjelaskan sumber kutipan. Katanya, hakim tidak wajib melakukan hal itu karena dianggap sah-sah saja.

Mongabay membaca kembali berkas jawaban penyidik. Tidak ada kalimat penyidik yang menyatakan, penerimaan SPDP oleh Wilman belum melewati tenggat waktu tujuh hari. Seperti yang disebut Estiono.

Dalam jawaban penyidik hanya dua kali menyinggung soal SPDP. Pertama, halaman tiga. Penyidik justru tidak ingin mempersoalkan SPDP karena ia bukan obyek praperadilan. Kedua, halaman 11-13. Penyidik hanya menjelaskan bahwa mereka sudah berkoordinasi dengan penyidik kepolisian ketika menyampaikan SPDP ke jaksa.

Panjang lebar-lebar bicara, penjelasan Estiono berubah lagi. Katanya, pendapat hakim mulai dari bagian pertimbangan hukum. Berbeda dengan penjelasan sebelumnya. Ketika diingatkan kembali, dia menepisnya lagi dengan alasan lain bahkan malah menyinggung amar putusan. “Iya, betul. Tapi hakim tidak langsung menyatakan bersalah. Sudah masuk pertimbangan tapi belum kesimpulan.”

Estiono tidak beri jawaban yang pasti. Berulangkali ditanya nada bicaranya mulai tinggi. Bahkan dia sampai mempersoalkan latar belakang pendidikan saya yang bukan sarjana hukum. Sebelum menyudahi wawancara pada Senin 27 September, pagi itu, dia juga punya jawaban baru lagi. Bahwa, halaman 65, paragraf tiga, baru merupakan pertimbangan awal hakim.

 

Truk yang disita bersama kayu muatan yang diduga ilegal itu. Foto: dokumen Balai Penegakan Hukum Sumatera

 

Ada kesalahan?

Raynaldo G Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menduga, ada kesalahan dalam penulisan pertimbangan hukum pada bagian itu. Sebab, tak mungkin hakim menyatakan sah SPDP, sementara dia mengabulkan permohonan praperadilan. Hakim harus mengakui kekeliruan dalam penulisan ini.

“Konstruksi pertimbangan ini (hakim) sangat membingungkan. Satu sisi mengatakan, SPDP sudah diterima selama rentang tujuh hari, sisi lain mengatakan sudah lewat batas waktu. Ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Sangat mengecewakan publik yang menantikan putusan,” kata Dodo, sapaan akrabnya, via telpon, 28 September lalu.

Boy Jerry Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan Walhi Nasional, juga menilai hakim tidak cermat karena ambigu dalam menuangkan pertimbangan hukum pada bagian itu.

Bila hakim memang membahas mengenai tenggat waktu penyerahan SPDP, mestinya tak ada kesalahan redaksi karena pertimbangan awal sampai akhir, hakim selalu memframing persoalan ini.

Kendati begitu, kata Boy, mestinya hakim mengenyampingkan persoalan SPDP. Menurut dia, meskipun administrasi penyidikan itu jadi hal formil penting, persoalan lingkungan tidak cukup dengan perspektif norma belaka.

Hakim harus memperhatikan pertimbangan lingkungan dan kemanusiaan termasuk potensi kerugian negara.

“Semestinya hakim menggunakan prinsip in dubio pro natura. Toh, kalau kita baca prosesnya, tindak pidananya ada,” katanya 28 September 2021.

Boy juga nilai penyidik lalai karena tidak menjalankan proses penegakan hukum sesuai ketentuan. Mestinya, SPDP diserahkan langsung pada orang yang bersangkutan. Bila ada halangan, surat pemberitahuan itu bisa titip pada pejabat setempat, seperti ketua RT.

Kalau SPDP hanya kirim via pos, penyidik mestinya melampirkan bukti bahwa surat itu telah diterima orang yang dituju. “Itu, bisa dicek dan diminta langsung ke kantor pos.”

Boy mengkritik kerja penyidik seperti ini karena dianggap fatal. Hanya karena remeh-temeh itu, penyidik kalah sebelum berperang. Padahal, kediaman Wilman dan Balai Gakkum Wilayah Sumatera Seksi II sama-sama di Pekanbaru, hanya berbeda kecamatan.

Boy mendorong penyidik segera keluarkan sprindik baru dan mulai tahapan penyidikan dari awal. Penyidik harus hati-hati dan benar-benar mematuhi KUHAP. Periksa ulang alat bukti.

Meski Wilman menang, tidak menggugurkan tindak pidananya. Kasus ini, katanya, tidak boleh berhenti sampai praperadilan meski ada kelalaian dari penyidik.

Selanjutnya, penyidik juga harus menyita lagi truk dan kayu. Sekalipun amar putusan pertama hakim mengabulkan seluruh permohonan Wilman, tetapi tidak ada rinci menyebut pengembalian truk maupun kayu-kayunya.

Lagi pula, obyek praperadilan yang dimohonkan Wilman melalui kuasa hukum adalah mengenai penetapan tersangka, penangkapan dan penahanan. Tidak ada soal penyitaan.

Dia bilang, Siti Nurbaya,Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan harus memimpin pemulihan kerugian negara karena pengambilan kayu-kayu dari kawasan hutan. KLHK dapat menerapkan ketentuan tindak pidanan pencucian uang, untuk menjerat pelaku yang terlibat praktik jual beli kayu ilegal dari kawasan hutan. Putusan Mahkamah Konstitusi terakhir, sudah memberi jalan untuk itu.

Ihwal Sprindik, penyidik Beth Venri mengatakan, tim penyidik telah koordinasi bersama kejaksaan. Mereka menilai, kecil kemungkinan menyelesaikan kasus ini karena sprindik yang terbit 1 Juli 2021 akan habis masa berlakunya. Kewenangan penyidik hanya dibatasi 90 hari. “Untuk sementara kita eksekusi dulu keputusan praperadilan,” katanya, 29 September 2021.

Selain itu, kemungkinan penerbitan sprindik baru juga dianggap penuh kendala.Untuk memulai penyidikan dari awal lagi para saksi sulit dicari maupun didatangkan. Contohnya, ketika berkas penyidikan sampai ke kejaksaan untuk meminta petunjuk, penyidik sebenarnya sempat memanggil beberapa saksi, seperti sopir dan kernet. Mereka tidak pernah hadir.

Sejak itu, kata Beth, tidak pernah ketemu lagi dengan orang-orang yang telah diperiksa. Sopir disebut berdomisili di Sijunjung, Sumatera Barat. Markas penyidik di Jambi. “Kami agak realistis sedikit. Kalau memang ada peluang terbuka untuk itu, kenapa gak?”

 

Bagaimana dengan kayu?

Setelah mengeluarkan Wilman, 27 September lalu, penyidik juga mengembalikan truk Colt Diesel Mitsubishi Canter kuning berikut kayu olahan yang diamankan di Dinas Kehutanan, Jambi.

Koordinator Penyidik, Suharno Eka Saputra, barang-barang itu diterima langsung oleh pemilik truk, Andre. Muskarbed membenarkan informasi itu.

Malam itu juga, kayu-kayu gergajian pindah ke truk yang ≠baru dengan nomor polisi BA 9952 KU. Ia akan diangkut ke pemesan semula, UD Kayu Mas, Jalan Garuda, Kecamatan Larangan, Tegal, Jawa Tengah.

Wilman juga mengganti nota angkutan baru dengan nomor 005/NA/BEA/IX/2021. Ia dikeluarkan bersamaan dengan pengembalian truk berikut kayu. Satu keterangan yang berubah adalah mengenai jumlah kayu olahan. Semula 616 keping jadi 571 keping. Volume masih sama yakni 9,3820 meter kubik.

Soal penyerahan kembali truk dan kayu itu, Beth beralasan demi kepastian hukum. Tidak ingin dituduh merampas karena tidak memiliki alasan dan dasar penyitaan.

Pembatalan penetapan tersangka oleh Hakim Tommy Manik membuyarkan upaya penyidik, setelah berbulan-bulan membuktikan kasus pengangkutan kayu dari sawmill Wilman yang tidak sesuai dokumen. Padahal, penyidik tinggal menunggu pemberitahuan dari Kejaksaan Tinggi Jambi, bahwa, hasil atau berkas penyidikan sudah lengkap.

 

HUtan Riau yang masih terjaga. Apakah kayu-kayu tanpa dokumen itu berasal dari hutan-hutan di Riau ini?  Foto: Zamzami/ Mongabay Indonesia

 

Hasil penilaian: kayu baru tebang

Hasil penilaian dan pengamatan Regianto, ahli pengukuran dan pengenalan jenis kayu, Balai Pengelola Hutan Produksi (BPHP) Wilayah IV, Jambi, yang disampaikan Suharno Eka Saputra ke Mongabay, menguak fakta-fakta penting pasca penangkapan dua sopir pengangkut kayu, Beny dan Mais.

Regianto terlebih dahulu menguji kayu gergajian dalam truk yang ukuran bervariasi. Seluruh 571 keping dengan volume 9.304,8 meter kubik. Ia terdiri dari dua kelompok, meranti: 195 keping dengan volume 2,2136 meter kubik dan kayu keruing 47 keping sama dengan 0,6676 meter kubik. Adapun kelompok jenis rimba campuran berupa kayu kempas sebanyak 329 keping sama dengan 6,4236 meter kubik.

Setelah menghitung, mengukur dan mengamati sejumlah kayu dalam truk dengan Nomor Polisi BA 8178 KU itu, Regianto mencocokkan dengan Nota Angkutan Nomor Seri 0024/NA/BEA/VI/2021 tertanggal 25 Juni atas nama CV BEA yang disita penyidik. Hasilnya, terdapat perbedaan antara fisik kayu dengan keterangan dalam dokumen.

Perbedaan itu antara lain, volume kayu dalam nota angkutan 9,3820 meter kubik hasil pengukuran 9,3048 meter kubik, sortimen dalam nota 13 sedangkan hasil pengujian 28. Panjang kayu dalam nota empat dan tiga meter tetapi hasil pengukuran hanya empat meter. Begitu juga keping kayu. Catatan dalam nota angkutan justru lebih banyak, yakni, 616 keping.

Muskarbed mengaku, kayu yang diangkut itu diperoleh dari hasil lelang. Setelah ahli meneliti surat angkutan lelang (SAL) No. 01/SAL/-KB/I/2021 tertanggal 4 Januari 2021 dan No. 03/SAL/-KB/I/2021 tertanggal 5 Januari 2021, jenis kayu itu juga berbeda.

Lampiran SAL menjelaskan, jenis kayu mahang dan sendok-sendok. Setelah diamati dengan kaca pembesar, kayu dalam truk jenis kempas, keruing dan meranti.

Berarti, meskipun Wilman mengganti nota angkutan dengan mengubah kepingan kayu, ttapi volume dan jenis kayu tetap tidak sesuai hasil pengamatan ahli.

Regianto menjelaskan, bahan baku kayu olahan jadi gergajian di truk baru produksi atau baru tebang. Pernyataan itu sekaligus membantah pembelaan Wilman dan kuasa hukumnya, yang mengatakan memperoleh kayu dari hasil lelang di Kejaksaan Negeri Kuantan Singingi.

Merujuk berita acara penjualan langsung barang rampasan kejaksaan negeri itu, kayu-kayu lelang yang diperoleh Wilman sebelumnya telah berkekuatan hukum tetap berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Rengat No. 425/Pid.B/LH/2017 dan Pengadilan Negeri Teluk Kuantan No. 60/Pid.B/LH/2019. Jadi, kayu-kayu yang pernah ditangkap itu merupakan hasil tebangan lama bukan baru.

Menurut Regianto, kayu bulat yang sudah lama tebang akan berubah warna bahkan terjadi pembusukan pada gubalnya, hanya tersisa teras kayu. Apabila, diolah rendemen pun akan lebih sedikit. Lebih parah bila jenis kayu lunak. Gubal dan teras akan cepat membusuk dan lapuk.

Kondisi ini, katanya, tidak ditemukan pada kayu dalam truk yang diamati satu per satu oleh Regianto dan ahli lain, Endro Prasetyo.

Supintri Yohar, Direkur Hutan, Auriga Nusantara, beri tanggapan atas masalah ini. Dia bilang, kalau ada perbedaan seperti itu, penegak hukum harus melacak asal-usul kayu dalam truk dan ke mana kayu-kayu bulat hasil lelang diangkut. Kayu-kayu legal akan mudah ditelusuri dengan model lacak balak bahkan sampai ke tunggul bekas tebangan. Apalagi, kayu-kayu yang memang benar diperoleh dari hasil lelang.

“Kalau pun mereka (BEA) punya lahan atau sumber kayu berizin, penegak hukum bisa cek apakah di konsesi mereka ada jenis kayu yang mereka angkut,” katanya via WhatsApp, 27 September lalu.

Selain itu, kayu bulat dari hasil lelang tak akan berubah jenis meski diolah atau gergaji. Jenis kayu, katanya, menentukan jumlah dan besaran PNBP atau setoran ke negara. Ukuran kayu juga makin kecil setelah digergaji atau tidak sama lagi dengan ukuran dan bentuk bahan bakunya. Karena itu, dokumen penyerta saat mengangkut kayu harus sama dengan bukti fisik.

“Saya pikir perlu pengawasan rantai pasok atau peredaran kayu di Indonesia. Mulai dari konsesi, pengolahan atau industri, pengangkutan hingga penjualannya.”

Dengan begitu, katanya, penting pengawasan dari konsesi karena akan diketahui jenis-jenis kayu. Juga menghindari pencampuran kayu ilegal dan legal, termasuk menjaga kredibilitas pasar kayu Indonesia.

 

 

 

******

Foto utama: Setelah putusan hakim praperadilan membebaskan Wilman, truk dan kayu sitaan pun dikembalikan. Foto: Foto: dokumen Balai Penegakan Hukum Sumatera

Exit mobile version