Mongabay.co.id

Belajar Benahi Tata Kelola Sawit dari Papua Barat

Aerial shot of illegal peatland forest conversion for palm oil plantation inside Singkil Swamp Nature Reserve. Iemeudama village, Trumon district. South of Aceh.

 

 

 

Papua Barat, satu provinsi di Indonesia yang menjalankan evaluasi perizinan kebun sawit, antara lain, sesuai mandat Inpres tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit (Inpres Moratorium Sawit). Pemerintah di provinsi ini mematahkan alasan banyak daerah yang mengatakan terkendala menerapkan kebijakan ini antara lain, karena tak ada anggaran dan petunjuk teknis minim dari pusat. April lalu, dari hasil evaluasi mengumumkan pencabutan belasan izin perusahaan sawit di Papua Barat.

Hasil evaluasi izin sawit di Papua Barat, dari 650.000-an hektar izin, hanya 70.000 hektar mulai ada tanaman sawit. Beberapa izin lain tidak berjalan sesuai aturan pemerintah.

Benikditus Heri Wijayanto, Kepala Bidang Perkebunan Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Papua Barat berbagi cerita keberhasilan provinsi ini menerapkan Inpres Moratorium Sawit.

Setelah ada kebijakan moratorium sawit 2018, Pemerintah Papua Barat langsung menjalin kerjasama dengan beberapa lembaga, seperti KPK, dan Yayasan Econusa.

Selain mandat Inpres Moratorium Sawit, katanya, evaluasi ini kebun sawit ini juga berlandaskan komitmen rencana aksi gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam inisiasi KPK dan Deklarasi Manokwari, soal provinsi berkelanjutan.

Pemerintah provinsi pun mulai kaji ulang perizinan. Evaluasi mulai dari tiga kategori penting, yaitu, pertama, izin usaha perkebunan berdasarkan aturan Kementerian Pertanian. Kedua, evaluasi izin lokasi kepada Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Ketiga, evaluasi izin pelepasan lahan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Setelah itu, kata  Heri, juga evaluasi di bagian pendataan, mulai mencari kontak perusahaan, hingga pemegang konsesi. Kesulitan dalam proses pendataan karena pemerintah daerah tidak memiliki arsip atau dokumen izin perusahaan sawit, padahal izin sejak 2010. “Setelah data kita kumpulkan dan langsung evaluasi didampingi KPK,” katanya dalam diskusi daring belum lama ini.

Pemerintah Papua Barat menemukan 24 perusahan sawit dengan 681.974 hektar lahan di daerah itu. Hasilnya, setelah evaluasi keluar rekomendasi 14 perusahaan cabut izin. “Rekomendasi tentu kita layangkan ke kabupaten dan kota tempat izin perusahaan,” katanya.

 

Baca juga: Belasan Izin Kebun Sawit di Papua Barat Dicabut

Hutan adat di Sorong, Papua, terbabat perusahaan untuk kebun sawit. Foto: Pemuda Mahasiswa Iwaro/ Mongabay Indonesia

 

Perusahaan tak penuhi syarat

Dia bilang, ada 8-10 poin wajib terpenuhi oleh perusahaan perkebunan sawit untuk mendapatkan izin operasi, antara lain, memiliki sumber daya manusia, sarana prasarana, menerapkan teknologi, dan membangun kebun.

“Rata-rata perusahaan yang kita cabut tidak memiliki semua persyaratan itu, tetapi mereka dapat izin,” kata Heri.

Selain itu, katanya, peraturan daerah bupati atau gubernur di Papua Barat mendukung pencabutan izin ini. Meskipun hanya cabut 14 izin, 10 perusahaan sawit di Papua Barat lain sedang proses evaluasi karena ditemukan beberapa perusahaan berizin tetapi banyak belum penuhi syarat walaupun sudah menanam. Ada juga target tanam tidak sesuai aturan.

“Ada juga perusahaan yang tidak memikirkan kesejahteraan petani di sekitar lokasi untuk plasma juga banyak yang belum memenuhi, ada juga yang sudah menanam tetapi belum ada HGU (hak guna usaha).”

Pemberian izin kebun sawit, kata Heri, harus jadi perhatian semua pihak karena izin ini memerlukan banyak instrumen, seperti HGU, analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan lain-lain.

“Kemudian banyak ditemukan instansi ada moratorium tetapi tidak dibarengi pengawasan yang baik, padahal dalam inpres ini ada catatan untuk kita mengawasi izin yang sudah diterbitkan.”

Persoalan data ini juga jadi perhatian KPK, banyak pemerintah daerah tidak mendokumentasikan izin dengan baik. “Salah satu keutamaan inpres ini Papua Barat memiliki data konkrit hingga evaluasi bisa dilakukan dengan baik. Data ini juga dibagikan kepada kabupaten-kabupaten supaya bisa untuk pengawasan,” katanya.

Terlebih, katanya, kewenangan teknis berada di kabupaten dan kota, misal, pelaporan berkala wajib setiap pertiga bulan. Ketika tak ada laporan, berdasarkan Inpres Moratorium Sawit, pemerintah harus menindak.

Kalau ada perpanjangan moratorium, katanya, harus ada tim untuk evaluasi. Karena banyak persoalan sektor sawit, mulai dari perizinan, kesejahteraan petani, pemanfaatan kayu dan lain-lain. “Tim terpadu sangat perlu untuk evaluasi.”

Inda Fatinaware, Direktur Eksekutif Sawit Watch, mengatakan, komitmen pemerintah Papua Barat perlu diterapkan di daerah-daerah lain bahkan pemerintah pusat.

Sejak 19 September lalu, kebijakan moratorium izin sawit sudah selesai selama tiga tahun. Tak ada penjelasan dari pemerintah pusat soal kebijakan ini. Pemerintah pusat, katanya, harus memperpanjang inpres moratorium sawit.

“Yang kita temukan di lapangan, terjadi pola kerja yang tidak sinkron, pemerintah daerah dengan pusat. Bisa dikatakan pemerintah pusat tak menyentuh daerah setelah Inpres Moratorium ditetapkan, ini juga jadi kendala.”

Dia contohkan, dalam Inpres Moratorium Sawit ada kewajiban pemerintah melaporkan reguler enam bulan perkembangan evaluasi izin sawit. “Sampai sekarang kami tidak tahu apakah laporan itu ada atau tidak. Kalau ada tentu ada basis melihat perkembangan moratorium ini.”

Bustar Maitar, CEO Econusa Foundation mengatakan, esensi inpres moratorium sawit adalah perbaikan tata kelola perkebunan sawit. Kebijakan ini muncul tiga tahun lalu berlandaskan tata kelola buruk, seperti pembukaan perkebunan sawit di lahan gambut, tak ada pendapatan signifikan dari sektor sawit untuk negara. “Ini harus diluruskan melalui Inpres Moratorium itu.”

Pada 2021, inpres ini selesai. Seharusnya, kata Bustar, lanjut atau tidaknya lihat dari indikator tata kelola. “Setelah inpres itu, apakah pendapatan negara meningkat di sektor sawit? Apakah kita sudah pastikan tidak ada lagi sawit di lahan gambut?” Kalau semua itu belum beres, katanya, inpres harus lanjut.

Bustar menilai, inpres tak berjalan dengan baik karena pemerintah pusat dan daerah tak sungguh-sungguh menjalankan untuk perbaikan tata kelola sawit.

Karut marut tata kelola, katanya, sampai saat ini jadi lahan korupsi hingga harus ada upaya membereskan itu. “Karena lebih semrawut tata kelola, lebih enak dikorupsi,” kata Bustar.

 

Baca juga: Dukung Bupati Sorong, Koalisi: Kembalikan Hak-hak Masyarakat Adat

Sawit. Sudah belasan juta lahan/hutan di negeri ini jadi kebun sawit, tetapi masih saja ekspansi dan ekspansi terjadi. Berbagai masalah pun muncul, dari persoalan lingkungan hidup, deforestasi, sampai konflik sosial. Kapankah, tata kelola sawit di Indonesia terwujud? Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

Celah korupsi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melihat banyak celah korupsi di sektor sawit, terutama dari pajak pendapatan negara hilang sekitar Rp20 triliun.

Sulistyanto, Spesialis Monitoring KPK mengatakan, KPK sudah masuk ke sektor sawit sejak 2016 dengan mengawasi perizinan, tata kelola dana perkebunan dan pajak.

KPK menemukan pada sistem perizinan tak ada satupun regulasi yang mengharuskan kementerian saling berkoordinasi. “Karena tidak ada aturan itu jadi celah korupsi dan suap,” katanya.

Banyak kasus terjadi di daerah, kata Sulis, pengusaha sawit berani datang dari pintu ke pintu kepada pemerintah daerah untuk mendapatkan izin pelepasan. Ketika perizinan bersinggungan dengan hutan lindung dan konservasi yang tidak bisa keluar izin, pengusaha memaksa dengan segala cara. “Maka banyak kasus korupsi,” kata Sulis.

Beberapa hal itu masih terjadi meskipun kebijakan moratorium sawit sudah ada sejak 2018.

Belum terimplementasi kebijakan moratorium sawit juga terlihat pada penerimaan pendapatan negara dari pajak.

Data KPK, kalau melihat luasan sawit di Indonesia pajak harus terserap Rp40 triliun. Sekarang baru terealisasi Rp21 triliun. “Potensi pajak itu belum dipungut.”

Sulis mengapresiasi apa aksi Papua Barat. KPK sedang mendampingi lima provinsi lain yang revisi izin perkebunan sawit yakni, Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Papua.

Dia bilang, regulasi di Indonesia sudah banyak, namun dalam implementasi masih meninggalkan catatan.

 

 

Baca juga: Evaluasi Izin Kebun Sawit di Papua Barat, Bagaimana Perkembangannya?

Aksi masyarakat Papua, protes kebun sawit yang banyak mengambil tanah ulayat di Papua. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

*****

Foto utama:  Hutan terbabat untuk jadi sawit, kehidupan masyarakat terlebih mereka yang ruang hidup di dalam dan sekitar hutan/lahan yang akan jadi kebun sawit. Foto: Rhett Butler/ Mongabay Indonesia

Exit mobile version