Mongabay.co.id

Masyarakat Adat Marafenfen Terusik Kehadiran TNI-AL

Ritual adat tordauk di Aru. Foto: dokumen Mastaeakar Adat Marafenfen

 

 

 

 

“Bela hutan adat, Masyarakat Marafenfen “digugat” oleh negara.” “Cendrawasih begitu indah hingga siapa saja ingin memilikinya.”

Begitu antara lain poster dari pemuda adat dan mahasiswa yang protes dugaan penyerobotan lahan Masyarakat Marafenfen di Kecamatan Aru Selatan, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku. Aksi pemuda yang tak ingin hutan adat Marafenfen rusak ini bertempat di Kantor Gubernur Maluku, 13 September lalu.

Mereka ini dari berbagai organisasi seperti Gerakan Perhimpunan Mahasiswa Aru (Permaru), Mahasiswa Adat Welihata, Mahasiswa Maluku Barat Daya, dan pemuda adat dari Pulau Buru.

Hujuman Labok, pemuda Aru juga koordinator aksi mengatakan ini solidaritas dan keterpanggilan batin anak-anak adat di Maluku terhadap penyerobotan lahan masyarakat Marafenfen.

Masyarakat Adat Marafenfen, ajukan gugatan atas masalah lahan dengan TNI-AL ini. Mereka gugat antara lain, Pemerintah Maluku, TNI-AL dan BPN, atas dugaan penyerobotan lahan ini. Pemerintah Maluku dan TNI-AL, balik gugat. Sidang bergulir di Pengadilan Negeri Dobo.

Penguasaan lahan oleh TNI-AL, katanya, berhubungan erat dengan perusakan hutan.

Masyarakat Marafenfen dan hutan adat, katanya, tak bisa terpisah satu sama lain. Ia tergambar pada ritual adat pembakaran alang-alang, biasa disebut “jerfara teel.” Tradisi ini digelar setahun sekali.

Ada tradisi menuai hasil alam setelah masa tertentu atau “sasi adat.”

Aksi sama juga berlangsung di Ambon. Aksi ini bersamaan dengan sidang lanjutan kasus dugaan penyerobotan lahan TNI-AL di Pengadilan Dobo, Kepulauan Aru.

Masyarakat meminta Pengadilan Negeri Dobo, adil memutuskan kasus penyerobotan lahan yang berlangsung sejak 1991.

“Kami hanya meminta pengadilan mengabulkan gugatan kami mencabut SK Gubernur Maluku terkait hak lepas tanah. Kami minta negara adil melindungi hutan sekaligus masyarakat adat. Disitu tempat kami hidup baik manusia maupun hewan dilindungi.”

 

 

***

Duapuluh dua Januari 1992, mungkin jadi tanggal ‘sejarah kelam” bagi Masyarakat Adat Mafafenfen.  Mulai hari itu, was-was terus menghantui masyarakat Desa Marafenfen ini karena kehadiran TNI Angkatan Laut di lahan adat mereka.

Selama 29 tahun lebih, Masyarakat Marafenfen berupaya mencari keadilan.

Berbagai cara telah ditempuh masyarakat adat Marafenfen untuk berjuang atas lahan seluas 6.600 hektar kepada TNI- AL, BPN, dan Pemerintah Maluku.

Oca Gaelogoy, perempuan asal Desa Marafenfen merunut perihal pembangunan bandara TNI-AL di petuanan Desa Marafenfen. Ia berawal dari kedatangan sejumlah aparat TNI-AL pakai helikopter pada 1991.

“Saya dengar dari Mama Do. Kakak saya,”kata Oca Geologoy. Oca, adalah adik perempuan mediang Mama Do, pejuang perempuan adat Aru, juga dari Desa Mafafenfen, yang bernama lengkap Dolfintje Gaelogoy ini.

 

Plang yang baru dipasang TNI-AL. Fioto: dokumen Masyarakat Adat Marafenfen

 

Dia cerita, kala itu ayahnya bersama Mama Do sedang di kusu-kusu (padang sabana), kemudian ada helikopter mendarat.

Aparat TNI bertanya soal Kampung Marafenfen. “Almarhum bapak saya menunjuk arah perkampungan, lalu mereka berbalik,” katanya.

Beberapa hari kemudian, mereka mendatangi Pusat Desa Marafenfen dan ada pertemuan. Setelah pertemuan, sejumlah aparat TNI-AL langsung ke lokasi membuat patok batas.

Setelah patok lokasi selesai, aparat TNI-AL baru memberi tahu masyarakat termasuk lapor diri di kepala desa. Setelah itu, mereka kembali ke Jakarta, lalu datang lagi membawa surat dan menyuruh kepala desa tandatangan.

“Kami (masyarakat) kaget, sudah dibuat patok di lahan itu (lokasi bandara), namun kami tidak bisa berbuat banyak,” kata pendeta ini.

Kala itu, militer berseragam lengkap dengan senjata membuat warga takut hingga mengiyakan proses pelepasan lahan.

“Ya, situasi waktu itu zaman orde baru. Masyarakat lihat loreng saja sangat takut. Akhirnya apa yang dilakukan bukan sekadar minta izin, sudah buat patok tanah sekian hektar yang katanya untuk pertahanan keamanan negara.”

Sejak saat itu, warga dilarang melintasi lokasi yang telah dikapling TNI-AL. Masyarakat, kata Oca, mulai kesulitan bertani termasuk berkebun. Mereka pun berembuk dan protes atas lahan itu.

“Sejak Angkatan Laut masuk dengan cara tidak resmi atau tidak sah, lalu ada sikap dari masyarakat membentuk tim untuk berangkat ke Jakarta,”kata Oca.

Warga pun membentuk dua tim untuk ketemu dengan pimpinan TNI AL di Jakarta. Tim pertama berangkat 1992 dan tim kedua 1994. Tak bisa bertemu.

Gagal menemui pimpinan TNI AL di Jakarta, perwakilan masyarakat bertemu Komnas HAM diterima Baharudin Loppa, selaku sekjen.

“Menurut mendiang mama Do, usai pertemuan sekjen menyurati panglima ABRI untuk minta kalau boleh diselesaikan, sebab kalau tidak akan menjadi bom waktu di kemudian hari dan membutuhkan energi yang luar besar, dan itu seperti terjadi sekarang,”katanya.

Tak ada hasil. Perjuangan masyarakat pun dilakukan hingga kini.

“Saat ini [perjuangan] di Pengadilan Negeri Dobo. Semoga negara adil terhadap kami masyarakat adat,” katanya.

Kecamatan Aru Selatan, luas 833,12 km, terbagi dalam 15 desa, Marafenfen, salah satunya. Luas Marafenfen 6.600 hektar, dengan penggunaan lahan untuk bangunan 1,6 hektar dan areal pertanian 6,598,4 hektar.

Data BPS Kepulauan Aru, Aru Selatan 2021, Desa Marafenfen berpenduduk 361 jiwa. Mayoritas warga Desa Marafenfen menggantungkan hidup sebagai petani dan nelayan.

Pertanian merupakan sektor ekonomi utama di Aru Selatan terutama pertanian palawija. Ada juga tanam padi ladang, jagung, ketela rambat, dan umbi-umbian lain. Ada juga kacang tanah dan kacang-kacangan lain.

Sektor perikanan, di Aru Selatan, mayoritas nelayan tradisional dengan perahu tak bermotor 442 unit, dan alat penangkapan ikan terutama jaring insang 83 unit.

 

Masyarakat Adat Marafenfen di Pangkalan Udara TNI AL. Foto: Dokumentasi Masyarakat Adat Marafenfen

 

 

Bandara TNI-AL

Bermodal izin pakai lokasi, TNI-AL bangun bandara dan fasilitas lain pada 1992. Mereka mengantongi izin Pemerintah Maluku kala itu, melalui Surat Keputusan Gubernur Maluku Nomor 591.1/SK/50/92 tertanggal 22 Januari 1992.

Menurut TNI AL, pertimbangan pembebasan tanah melalui panitia pembebasan tanah Dati II Maluku Tenggara pada 1991. Ia terdiri dari instansi terkait diketuai Kepala BPN Kabupaten Maluku Tenggara. Saat itu Kepulauan Aru masih di bawah administrasi Maluku Tenggara.

TNI-AL mengklaim pembebasan lahan diawali pelepasan hak atas tanah oleh Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Desa Marafenfen dengan surat pernyataan pelepasan 20 Agustus 1991.

“TNI AL sudah menindaklanjuti pelepasan hak sesuai rekomendasi panitia pembebasan tanah Dati II Kabupaten Maluku Tenggara dan keinginan Persekutuan Masyarakat adat desa Marafenfen,”kata Brigjen Marinir TNI Said Latuconsina, Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal) IX Ambon, dalam rilis kepada media, 16 September lalu.

Wendry Bothmir, warga Marafenfen mengatakan, bandara dan fasilitas lain TNI-AL berdampak pada kehidupan masyarakat adat. Dari ruang gerak masyarakat terbatas, satwa buruan sulit termasuk burung-burung endemik Maluku dan langka, jadi makin sulit terlihat.

“Jadi, Maranfefen sebelum Angkatan Laut masuk, rusa itu seperti hama, ribuan berkeliaran di hutan itu kadang-kadang masuk kampung. Rusa punya tempat hidup itu di padang savana,” kata Wendry.

Kicauan burung cendrawasih, kakatua hitam, kakatua merah, kakatua putih, kakatua hijau,wallet, bahkan kanguru juga sudah mulai sulit terdengar.

Tradisi adat pun sulit dilakukan. Sejak dulu, masyarakat adat tradisi tordauk, dengan padang savana jadi lokasi ritual adat. Di padang savana itu banyak rusa, dan babi.

Ritual biasa berlangsung September-November tiap tahunnya. “Tiap tahun itu acara bakar alang-alang. Ada alang-alang kecil dan alang-alang besar, yang terakhir tordauk. Nanti alang-alang di pinggir kampung selesai dulu baru puncaknya di tordauk.”.

Said Latuconsina membantah Lanudal dan Pangkalan TNI-AL Aru menutup ritual adat masyarakat Desa Marafenfen.

“Jika ada yang mengatakan demikian siapa? Kapan dan dimana agar dapat menunjukkan bukti. Kita berharap adik-adik mahasiswa tidak terprovokasi dan menyampaikan hal-hal yang tidak sesuai fakta di lapangan,”katanya

Selama ini, dia klaim masyarakat hidup berdampingan dan bersosialisasi secara baik dengan Lanal Aru di Marafenfen.

“Bahkan Lanal Aru/Lanudal sering memberikan bantuan pengobatan kepada masyarakat dan dukungan truk sesuai tujuan masyarakat sekitar.”

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama-sama mengawal proses sengketa lahan komunitas masyarakat adat Marafenfen sejak 30-an tahun.

AMAN memandang, ada dugaan pelanggaran hukum oleh pemerintah daerah saat 1991 itu.

“Akibat perbuatan melawan hukum itu merugikan Masyarakat Adat Marafenfen, mereka ajukan komplein. Sebenarnya, komplein sudah lama, baru beberapa bulan terakhir ini mereka ajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Dobo. Karena jalur-jalur di luar hukum semua sudah ditempuh,”kata Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN 25 September lalu.

 

******

Foto utama:  Ritual adat tordauk di Aru. Foto: dokumen Mastaeakar Adat Marafenfen

Exit mobile version