Mongabay.co.id

Setelah Buron 4 Tahun, Bos Sawit Pembalak Hutan Lindung Tertangkap

Puluhan ribu hektar hutan di Sumut sudah dikuasai korporasi jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Mungkin pepatah ini cocok buat Maman Suherman, Direktur PT Kaliau Mas Perkasa (KMP). Setelah buron sejak 2017, pria 60 tahun itu akhirnya ditangkap Tim Tangkap Buronan (Tabur) Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, dibantu Kejaksaan Agung.

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 92K/Pid Sus LH/2017 tertanggal 21 Juni 2017, Maman terbukti sah dan bersalah melakukan tindak pidana mengerjakan kawasan hutan tak sah. Dia ditangkap di bilangan Jakarta Selatan, Selasa, 27 September 2021.

Masyhudi, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar, mengatakan, berdasarkan putusan Mahkamah Agung, Maman vonis tiga tahun penjara, denda Rp750 juta atau subsider tiga bulan penjara. “Setelah putusan dia lari,” katanya.

Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakkan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mengapresiasi Kejati Kalbar dan Kejagung yang menangkap buronan kejahatan hutan.

“Ini menunjukkan komitmen jaksa untuk menghentikan kejahatan yang merugikan negara, sangat serius,” kata Roy, sapaan akrabnya.

KLHK, katanya, masih mendalami keterlibatan pelaku lain, dan mengembangkan kasus dengan menghitung kerugian negara dampak pembalakan perusahaan sawit itu. Kerusakan hutan untuk perkebunan sawit, kata Roy, merupakan kejahatan serius yang harus dihukum seberat-beratnya.

 

 

Pembalakan liar

Kasus pembalakan hutan lindung yang melibatkan perusahaan sawit pimpinan Maman yang terletak di Desa Kaliau, Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalbar ini berawal dari 2011. Saat itu, Tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalbar menemukan fakta berupa tanaman sawit, jalan utama, dan jalan blok KMP masuk dalam Taman Wisata Alam Gunung Melintang.

Saat memeriksa titik koordinat dengan global position system (GPS) terhadap jalan utama dan jalan blok perkebunan sawit KMP di Desa Sentaban, Kecamatan Sajingan Besar, Sambas, perusahaan sudah merambah TWA Gunung Melintang seluas 1.003 hektar.

Rinciannya, 706 hektar di dalam Izin lokasi perkebunan KMP, dan 297 hektar di luar izin lokasi perkebunan. Keduanya, masuk taman wisata alam. KMP tidak mengantongi izin pelepasan kawasan hutan.

Gunung Melintang, secara administratif di Kecamatan Paloh dan sebagian kecil di Sajingan Besar, Sambas. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: 107/Menhut-II/2013 tertanggal 12 Februari 2013, luas 21.172 hektar.

Wilayah ini merupakan habitat beragam fauna seperti monyet ekor panjang, trenggiling, enggang dan reptil.

Berdasarkan data BKSDA Kalbar, wilayah ini dulu HPH PT Yamaker. Menurut Daerah Operasi III Singkawang, BKSDA Kalbar, dalam website-nya, sebelum penetapan status, di Gunung Melintang, tepatnya di Dusun Setinggak, Desa Sebubus, Kecamatan Paloh, Sambas, ada pemukiman penduduk yang bercocok tanam sahang, karet dan durian.

Ada juga pelebaran jalan di Desa Sungai Bening, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas sekitar 6,4 km dan lebar 12 meter.

Perambahan kawasan hutan ini melanggar Pasal 27 UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Berdasarkan keputusan pengadilan, tanaman sawit KMP di kawasan hutan itu harus dimusnahkan dan kembali kepada negara serta dilakukan rehabilitasi.

 

Masyhudi, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalbar (kanan) dan Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kiri), saat jumpa pers soal penangkapan direktur perusahaan sawit yang sudah buron empat tahun. Foto: Aseanty Pahlevi/ Mongabay Indonesia

 

Banyak masalah

KMP tak hanya mencaplok kawasan hutan. Perusahaan ini juga berkonflik dengan masyarakat dua kecamatan, Galing dan Sajingan Besar, Sambas. Perusahaan masuk sejak 2008, dan dianggap buka kebun dengan merampas lahan masyarakat.

Warga pun telah menempuh berbagai cara untuk mendapatkan kembali lahan mereka. Pemerintah daerah memberikan perintah agar perusahaan menghentikan aktivitas. Tak tanggung-tanggung, surat perintah penghentian aktivitas ini terbit oleh tiga bupati berbeda, selama periode mereka memimpin berturut-turut.

Terakhir pada Februari 2020, DPRD Sambas masih rapat kerja dengan birokrasi di pemerintah daerah, untuk mencari solusi kasus lahan antara warga dan KMP.

Kasus lahan ini mencatatkan sejarah beberapa kejadian, seperti pembakaran mes perusahaan pada 2013, dan aksi unjuk rasa melibatkan ratusan petani pada 2017.

Teraju Foundation, lembaga riset sumber daya alam di Kalimantan Barat, menilai, karut-marut tata kelola perkebunan sawit dalam kawasan hutan tidak bisa terlepas dari ego sektoral dan kepentingan oligarki dalam penguasaan sumber daya alam di Indonesia.

“Pemerintah belum ada aksi untuk menertibkan agar korporasi mengembalikan kawasan itu kepada negara, tak hanya jeratan untuk individu, tetapi perusahaan pun harus mendapatkan sanksi denda, serta berkewajiban perbaikan kawasan hutan, dengan menghutankan kembali areal yang telah dibabatnya,” kata Agus Sutomo, Direktur Teraju Foundation, kepada Mongabay.

Data Dinas Perkebunan Kalbar, ada 23 perusahaan sawit mengajukan izin pelepasan kawasan kepada KLHK, lantaran konsesi tumpang tindih dengan kawasan hutan.

Informasi menyebutkan, KMP merupakan satu dari 23 perusahaan itu. “Sekarang tergantung menteri, seharusnya jangan diloloskan permohonannya [pelepasan kawasan hutan], kan sudah terbukti unsur pidananya,” kata Tomo.

Pemerintah kabupaten dan provinsi juga harus segera mengkaji ulang usulan izin pelepasan kawasan hutan ini.

Dalam penegakan hukum, kata Tomo, seharusnya bukan hanya pelaksana lapangan, juga pejabat lebih tinggi. Keputusan direktur untuk menanam di suatu areal tentu melalui koordinasi dan konsultasi dengan pimpinan.

****

Foto utama:  Ilustrasi. Kala hutan lindung terjarah jadi kebun sawit. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version